Ngopi Sore
Kenapa Bangga Melihat Anak STM Duel dengan Polisi?
Ada perbedaan mencolok antara jalan para bapak bangsa dan anak-anak STM ini. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, melawan dengan cara terpelajar.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Apakah ada larangan anak usia sekolah berunjuk rasa?
Tentu saja tidak ada. Walau ada Undang Undang terkait batas usia cakap hukum yang menandakan titik peralihan usia anak (dan remaja) menuju dewasa, dalam tiap laku dan peristiwa demokrasi usia tidak menjadi syarat mutlak.
Bapak-bapak bangsa kita, para pemikir hebat di masa lalu, meretas sejarah mereka sejak usia belasan. Rata-rata memulainya dari usia 15-16 tahun. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Semaun, dan masih banyak lagi. Dalam ruang lingkup kecil, Sukarno dan Semaun bahkan sudah menjadi pemimpin pergerakan di usia 17.
Persoalannya, ada perbedaan mencolok antara jalan yang ditempuh para bapak bangsa dan anak-anak STM ini.
Sukarno, juga Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, melawan dengan cara-cara yang terpelajar.
Mereka berpikir. Mereka membaca dan menulis. Esai, pidato, bahkan buku.
Jadi yang mereka lakukan adalah melempar opini, menawarkan pemikiran, bukan melempar batu dan menyulut kerusuhan.
Namun hal yang paling membuat saya tidak habis pikir adalah pandangan terhadap sepak terjang anak-anak ini.
Alih-alih cemas dan prihatin, yang lebih banyak mencuat justru kebanggaan.
Iya, benar, kebanggaan. Beragam tanda pagar bernada memuji melesat-lesat di media sosial.
Lebih ironis, kebanggaan dan pujian ini datang dari kalangan orang-orang berusia lebih tua.
Mereka bertepuk tangan meriah, bahkan memberi semangat dan mendorong-dorong agar anak-anak STM ini, yang rata-rata turun ke jalan masih dengan mengenakan seragam sekolah, lebih kencang lagi melempari polisi.
Mereka, yang sebelumnya berteriak kencang mengutuk tawuran, sekarang malah seakan memberi restu pada anak-anak ini untuk berduel dengan polisi.
Mereka tidak sekadar melegalkan kekerasan.
Mereka memandangnya sebagai perjuangan.
Ayolah, apa yang sedang terjadi pada kita? Sudah sedemikian parahkah kebencian berurat berakar dalam hati kita hingga tega menepikan nalar sedemikian rupa? Ke mana perginya nurani kita? Ke mana perginya para aktivis hak-hak anak, para komisioner perlindungan anak yang kemarin-kemarin setengah mati meributi audisi bulutangkis? Kenapa tidak bersuara lantang? Apakah lantaran potensi terbentuknya generasi tawuran ini tak disponsori pabrik rokok?
Ayolah! Tidakkah kita bisa menyadari betapa berbahayanya situasi ini?
Betapa polisi; yang sejauh ini masih manusia biasa (bukan robot yang diprogram untuk tidak merasakan sakit dan emosi), bisa saja hilang kendali dan balik menyerang?
Seberapa tangguhlah anak-anak itu? Apalah arti batu, mistar besi, galah panjang, obeng, atau sabuk kepala gir motor di hadapan mereka yang memang disiapkan untuk menghadapi ancaman?
Sekali gebrak, dijamin, anak-anak yang sama sekali tak terlatih itu akan terkapar.
Atau jangan-jangan, memang kekacauan semacam ini yang jadi tujuan?
Agar polisi makin dicap represif?
Hari ini sudah ada yang mati di Kendari. Apakah nantinya akan berembus sentimen bahwa pemerintah tak becus menjaga rakyatnya sendiri hingga pantas untuk tak dipercayai lagi? (t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/stm2.jpg)