Ngopi Sore

Syahwat Berkuasa dan Politik Malin Kundang

Masyarakat kita membenci pengkhianat dan tak pernah mentolerir perilaku Malin Kundang. Orang-orang seperti ini akan dijatuhkan ke comberan.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
AFP PHOTO/BAY ISMOYO
SWAFOTO - Seorang laki-laki melakukan swafoto di depan poster bergambar Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo yang belakangan makin santer disebut-sebut sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) yang akan diusung Koalisi Indonesia Maju bersama Prabowo Subianto pada Pilpres 2024. 

Kolonel Aureliano Buendia berbicara kepada kawan lamanya, seorang bekas pejuang yang menjadi politisi dan bergabung dengan partai penguasa: "sebenarnya kita dulu lebih baik, berjuang untuk sesuatu yang tidak kita mengerti betul tapi paham bahwa itu memang ada artinya, ketimbang kamu sekarang, berjuang untuk sesuatu yang kamu tahu tidak ada artinya sama sekali."

Kalimat di atas sudah barang tentu fiktif. Tidak ada kolonel bernama Aureliano Buendía di dunia. Kolonel ini cuma bikin-bikinan Gabriel Garcia Marquez, penulis Kolombia, sebagai tokoh novelnya 'Cien Anos de Soledad' atau 'One Hundred Years of Solitude' (dialihbahasakan ke Indonesia menjadi 'Seratus Tahun Kesunyian').

Namun kalimat Aureliano ini, generasi ketujuh dalam pohon silsilah Keluarga Buendia yang hidup turun-temurun di Kota Mocondo, tetap menohok, dan tohokannya terasa kian kencang tiap kali ada lelucon politik. Seperti di Indonesia sekarang.

Iya, apa boleh buat. Silang sengkarut politik nasional menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, wa bil khusus Pemilu Presiden (Pilpres), memang sudah jatuh jadi lelucon. Padahal tadinya seru sekali. Ada pergeseran-pergeseran dukungan. Ada penyeberangan-penyeberangan. Yang tak terduga maupun yang sudah sejak mula pergerakannya sudah terbaca, tapi tetap menarik.

Beginilah politik yang bertahun-tahun lalu disebut Otto von Bismarck, kanselir pertama Jerman, sebagai 'the art of possible'. Politik adalah seni kemungkinan. Dengan kata lain, di dalam politik, hal yang paling tidak mungkin terjadi sekali pun bisa terjadi, dan ini biasanya akan memunculkan ketakjuban.

Idiom Otto von Bismarck sekarang menjelma kenyataan di Indonesia. Siapa menyangka seorang Gibran Rakabuming Raka bisa melesat, menyingkirkan politisi-politisi senior, tokoh-tokoh papan atas dengan reputasi besar dan rekam jejak panjang, untuk berkontestasi dalam Pilpres 2024. Minggu, 22 Oktober 2023, Prabowo Subianto bersama para ketua umum partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), mengumumkan namanya sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres). Ia akan bertarung bersama Prabowo yang maju untuk kali keempat (dua kali sebagai calon presiden dan sekali wakil presiden).

Semestinya kemustahilan Gibran memunculkan ketakjuban. Ternyata tidak. Iya, memang betul ada ketakjuban, tapi konteksnya berbeda. Bukan takjub yang kemudian menyeruakkan perasaan senang dan berbahagia, melainkan takjub yang justru menghadirkan kekesalan dan bahkan kegeraman dan kemarahan.

Keberadaan Gibran di samping Prabowo dipandang sebagai representasi dari upaya untuk melanggengkan syahwat berkuasa. Syahwat siapa? Tentunya orang-orang yang sekarang sedang berada di seputaran lingkaran dalam pusat kekuasaan.

Bantahan mengemuka, tapi kecurigaan memang sudah terlalu besar, dan di lain sisi terlalu jelas pula. Bahkan upaya untuk memuluskan langkah Gibran menuju kontestasi bukan saja terlalu terang, lebih jauh juga boleh dikata terlalu kasar.

Sebutlah "utak-atik" regulasi di Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK sungguh aduhai. Batas usia tidak diubah, tetap 40 tahun, tapi kata ‘kecuali’ yang diselipkan dalam putusan secara nyata telah mengacak-acak peta politik Tanah Air.

Iya, MK mengetuk palu: tetap tidak boleh ada calon presiden dan wakil presiden yang berusia di bawah 40 tahun, kecuali bagi mereka yang sudah punya pengalaman sebagai kepala pemerintahan, kabinet, atau anggota legislatif.

Persoalannya, tak ada rincian perihal durasi pengalaman ini. Katakanlah, misalnya, mereka yang dicalonkan harus berpengalaman setidak-tidaknya genap satu periode [empat atau lima tahun]. Hanya disebut 'pengalaman'. Alhasil, Gibran yang tadinya tak memenuhi syarat dari sisi usia, jadi memenuhi syarat lantaran saat ini menjabat Wali Kota Solo Surakarta. Walau belum tuntas satu periode, jabatan ini membuatnya terhitung berpengalaman.

Sampai di sini muncul pertanyaan, apakah Gibran salah? Apakah Presiden Jokowi salah? Ada setidaknya dua pendapat. Pertama, kecurigaan memang besar, tapi yang paling patut untuk dipersalahkan bukan Presiden Jokowi, terlebih-lebih Gibran, melainkan produk undang-undang pemilunya sendiri, yang amat sangat lemah hingga dapat “diobrak-abrik” dengan begitu mudahnya.

Pendapat ini sempat menguat. Namun perkembangan-perkembangan berikutnya membuat kecurigaan terus membesar dan makin mengarah kepada orang-orang di seputaran lingkaran dalam pusat kekuasaan tadi. Tak terkecuali Presiden Jokowi. Utak-atiknya terlalu kentara.

Apakah ini salah? Politics is the art of possible, kata Otto von Bismark. The attainable. Kemustahilan yang mungkin tercapai. Dalam politik, kawan jadi lawan dan lawan jadi kawan adalah perkara biasa belaka. Berpolitik jangan baperan, jangan membawa-bawa perasaan, jangan merajuk apalagi ngamuk.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved