Catatan Sepak Bola
Football’s Coming Home Menggema Lagi, Inggris Cuma Perlu Bermain Sedikit Lebih Baik
Tidak ada lagi masalah dengan kekompakan. Sekarang kami sudah jauh lebih sadar bahwa kami berada di sini hanya untuk Inggris.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Randy P.F Hutagaol
KAMIS pagi, 10 Juli 2024, satu gambar masuk ke time line pesan media sosial saya. Foto gedung bertingkat dua, sepertinya toko, dengan papan nama bertuliskan ‘England Bakery’. Keterangan fotonya singkat, ‘tinggal kenangan’. Perlu waktu sepuluh menit, mungkin 15 menit, bagi saya untuk paham, lalu ngakak sampai guling-guling.
TENTU saja orang-orang di Inggris memproduksi dan mengonsumsi roti. Namun tidak ada ‘England Bakery’ di dunia. Yang ada ‘Holland Bakery’. Dan per-hari kamis itu, ‘Holland Bakery’ tinggal kenangan, digantikan ‘England Bakery’.
Penyebabnya, tiada lain tiada bukan adalah kekalahan Belanda dari Inggris beberapa jam sebelumnya di semi final Euro 2024. Kekalahan yang tragis. Di Kota Dortmund, di Stadion BVB, Inggris memastikan tiket ke final lewat lesakan Ollie Watkins di menit 91 yang mengubah skor menjadi 2-1. Inggris tertinggal lebih dulu. Xavi Simons menggetarkan jala gawang Inggris yang dikawal Jordan Pickford. Sebelas menit berselang, Harry Kane ganti mencetak gol melalui titik putih, berangkat dari pelanggaran yang begitu “light”.
‘England Bakery’ terang adalah lelucon. Namun di lain sisi, ia juga merupakan sebangsa harapan. Iya, setelah nelangsa dari pertandingan ke pertandingan, tersungut-sungut sembari menertawakan diri sendiri, sekarang suporter-suporter Inggris kembali ke “setelan pabrik”. Kalimat heroik ‘football’s coming home’ menggema lagi.
Inggris terakhir kali menjadi kampiun kejuaraan besar sepak bola pada tahun 1966, dan sejak itu mereka, yang mendaku sebagai “nenek moyang” olah raga ini, tak pernah putus menyuarakan kalimat tersebut. Namun kegagalan yang berganti kegagalan, pelan-pelan membuat tendensi ‘football’s coming home’ bergeser; dari kebanggaan menjadi harapan, yang makin ke sini malah makin menjelmakan pesimisme. Seperti yang terjadi saat Inggris memastikan lolos ke Jerman 2024. Kalimat ‘football’s going home’, oleh sejumlah media di negeri itu, justru dituliskan dengan diakhiri tanda tanya (?).
Tak ada lagi keyakinan, dan Inggris memang tampil penuh keragu-raguan. Padahal skuat mereka bertabur bintang di semua lini, kecuali barangkali di bawah mistar, yang sejak era David Seaman tidak pernah lagi melahirkan penjaga gawang kelas premium. Di luar kiper, pemain-pemain Inggris menjadi bintang-bintang utama di klub masing-masing, termasuk Kane di Bayern Munchen dan Jude Bellingham di Real Madrid.
Namun The Three Lions –julukan Tim Nasional Inggris– tak pernah betul-betul bisa menunjukkan performa bagus. Serba ragu dan serba tanggung, berantakan, amburadul, tapi selalu beruntung dan oleh sebab itu menjengkelkan. Boring England, sebut suporter-suporter Inggris dalam nyanyian mereka. Meme-meme yang menunjukkan sejumlah suporter menonton dengan terkantuk-kantuk beredar luas di media sosial.
Apa yang salah dengan Inggris? Di era 1990-an sampai awal 2000-an, Inggris pernah punya skuat yang mengkilap. Khususnya di line tengah. Di Euro 1996, misalnya. Mengusung skema 4-4-2, pelatih Inggris kala itu, Terry Vanebles menempatkan Darren Anderton dan Steve McManaman untuk mengapit Paul Ince dan Paul Gascoigne. Di depan mereka, duet maut, Alan Shearer dan Teddy Sheringham.
Ini belum seberapa. Di Piala Dunia 2002 dan Euro 2006, Inggris punya banyak gelandang hebat, dan kombinasi mana pun yang diturunkan tetap merupakan kombinasi sangat solid. Ada David Beckham, Paul Scholes, Frank Lampard, Steven Gerrard, Owen Hargreaves, Michael Carrick. Masih ada pula nama-nama seperti Joe Cole, Nicky Butt, Kieron Dyer, Theo Walcott, atau Aaron Lennon.
Materi begini, kita tahu, tidak memberikan apa-apa untuk Inggris. Belakangan terungkap penyebabnya adalah rivalitas klub yang memunculkan friksi sangat tajam dan terbawa-bawa sampai ke tim nasional. Pemain terpecah ke dalam kubu-kubu. Di ruang makan mereka duduk terpisah-pisah, tidak saling mengobrol. Celaka dua belas, di lapangan, ingatan perihal persaingan dan duel-duel sengit membuat pemain Liverpool tidak ingin mengoper bola ke pemain Manchester United, pemain Arsenal enggan menutup ruang yang ditinggalkan pemain Chelsea, dan seterusnya dan seterusnya. Friksi, membuat kebintangan individu pemain sekadar tampak sebagai cahaya yang berpendar-pendar dari jauh.
Bagaimana sekarang? Apakah masih terjadi? Gareth Southgate bilang tidak. Southgate menjadi bagian dari skuat-skuat Inggris yang serba cemerlang tapi bernasib serba malang itu. Dari Euro 1996 sampai Piala Dunia 2002. Ia bahkan jadi biang kekalahan di Euro 1996. Eksekusinya yang digagalkan kiper Jerman Andreas Kopke di babak adu penalti membuat Inggris harus menangis di rumah sendiri. Tiga puluh tahun sejak kemenangan dramatis dari lawan yang sama, di tempat yang sama, football’s tidak juga coming home.
Southgate menulis esai berjudul ‘Dear England’ untuk The Players Tribun pada 8 Juni 2021. Bilangnya, kepada para pemain Tim Nasional Inggris selalu dikatakannya bahwa ketika mereka sudah sampai pada titik sebagai pemain pilihan negara, ketika sudah mengenakan seragam The Three Lions, mereka harus memberikan segenap kemampuan untuk menghadirkan momentum yang akan diingat selamanya oleh tiap-tiap orang di Inggris.
“Tidak ada lagi masalah dengan kekompakan. Sekarang kami sudah jauh lebih sadar bahwa kami berada di sini hanya untuk Inggris. Tidak ada lagi warna lain.”
Jika demikian lantas apa masalahnya? Seantero Inggris, kecuali mungkin FA, percaya biang keladinya adalah Southgate sendiri. Lebih persis, kapasitas dan kualitasnya sebagai pelatih. Mestinya, dengan skuat semeriah ini, Inggris bisa bermain memukau.
Namun di sisi yang lain, di saat yang hampir pula bersamaan, mereka yang percaya ini juga melesatkan pembelaan. Southgate boleh jadi memang kurang cakap dan miskin taktik, tapi ia telah menyelesaikan masalah terbesar tim nasional. Southgate, lewat cara dan pendekatannya, mampu meyakinkan para pemain bintang yang begitu melambung dengan keegoistisan masing-masing, untuk tunduk pada satu komando dan benar-benar bermain untuk Inggris.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Inggris_England_Euro-2024.jpg)