Catatan Sepak Bola

Sepatu Toni dan Cerita tentang Kesetiaan

Tetap ada yang terasa terguris di hati ketika tersiar kabar Toni Kroos akan pergi. Bukan hanya dari Bernabeau tapi juga dari sepak bola

|
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Randy P.F Hutagaol
www.footyheadlines.com
Sepatu Toni Kroos dan Cerita tentang Kesetiaan. 

Di era sepak bola modern yang makin jatuh dalam kendali industri, pemain datang dan pergi menjadi peristiwa yang biasa saja. Terlebih-lebih di klub seperti Real Madrid, klub terbesar dan satu di antara yang paling kaya di dunia.

Suporter Real Madrid selama bertahun-tahun telah belajar menahan diri untuk tidak terlalu euforia atas kedatangan pemain bintang. Cristiano Ronaldo datang, Gareth Bale datang, dan sebentar lagi –jika tak ada sesuatu dan lain hal yang extraordinaryKylian Mbappe datang, para Madrididistas, sebutan untuk suporter Real Madrid, menyambutnya dengan kegembiraan yang wajar.

Pun tatkala ada yang meninggalkan Santiago Bernebeau. Tidak ada kesedihan yang berlebihan, apalagi berlarut-larut. Padahal mereka yang pergi itu bukan sembarang juga. Ronaldo [kedua-dua Ronaldo; CR7 dan R9], Karim Benzema, Raul Gonzales Blanco, atau sebutlah Zinedine Zidane, Roberto Carlos, Fernando Hiero, Emilio Butragueno, Hugo Sanchez, dan masih banyak lagi.

Toni Kroos.
Toni Kroos. (www.footyheadlines.com)

Namun tetap ada yang terasa terguris di hati ketika tersiar kabar Toni Kroos akan pergi. Bukan hanya dari Bernabeau tapi juga dari sepak bola. Iya, Kroos memilih pensiun, dalam usia 34. Usia yang sesungguhnya masih “muda”.

Memang, ukuran ini tidak universal. Banyak pesepak bola yang telah melawati masa “prime” saat usianya menginjak kepala tiga: sentuhan hilang, kekuatan hilang, stamina melorot drastis. Pendek kata, secara kualitas sudah tak lagi memungkinkan untuk bersaing di level atas.

Bagaimana Kroos? Poin-poin ini barangkali bisa menjawab. Musim 2023/2024, Kroos masih memainkan peran sentral di lini tengah Real Madrid. Dia memang tidak lagi selalu berduet dengan Luka Modric di lini tengah, tapi justru di sini letak keistimewaannya.

Carlo Ancelotti memasangnya berganti-ganti dengan Eduardo Camavinga, Aurelien Tchouameni, Federico Valverde, bahkan Dani Ceballos dan Arda Guler, dan semuanya perfom. Real Madrid menuntaskan 37 laga, tersisa satu, dengan torehan 29 kemenangan, tujuh imbang dan hanya satu kali menelan kekalahan.

Performanya di Liga Champions juga masih galak. Real Madrid, sekali lagi, akan berlaga di partai puncak. Tanggal 2 Juni nanti, di Stadion Wembley, mereka akan berhadapan dengan Borussia Dortmund. Los Blancos –julukan Real Madrid – akan memburu tropi ke 15. Bagi Kroos, jika menang, tropi di London menjadi tropi keenam –lima bersama Madrid dan satu kala merumput bersama Bayern Munchen.

Namun Kroos memutuskan berhenti. Ia berhenti bermain sepak bola saat tidak seorang pun Santiago Bernabeau meragukan dirinya. Tidak Carlo Ancelotti. Tidak juga Florentino Perez. Sang Presiden bahkan dikabarkan siap menyodorkan kontrak baru kepadanya.

Kroos mengabaikan itu. Dia bergeming. Dia tetap memutuskan berhenti. Dia berhenti saat Julian Nagelsmann, Pelatih Kepala Tim Nasional Jerman, masih mengakui kemampuannya dan secara terbuka memintanya kembali berkostum tim nasional. Kroos pernah mengumumkan pensiun dari Der Panzer –julukan skuat Tim Nasional Jerman– pada tahun 2022 untuk memberi jalan kepada gelandang-gelandang yang lebih muda.

Nagelsmann punya pandangan lain. Seperti di Madrid, gelandang-gelandang muda Jerman butuh panutan di lapangan, butuh pemimpin, dan di mata Nagelsmann, tidak ada panutan dan pemimpin yang lebih baik dari Toni Kroos.

Sampai di sini muncul pertanyaan, kenapa Kroos memutuskan berhenti? Tentu saja hanya Kroos yang bisa menjawab. Namun, setidaknya dari beragam wawancara terkait ini, bisa diduga bahwa dia memang merasa sudah sampai pada batas pencarian. Kroos barangkali sudah merasa cukup, sudah mendapatkan semuanya, dan tidak menginginkan lebih banyak lagi. Tak perlu apa-apa lagi.

Aneh? Untuk orang lain mungkin aneh, tapi rasa-rasanya tidak bagi Kroos. Banyak berita, banyak cerita, yang bisa membuat kesimpulan ini jadi meyakinkan. Satu di antara yang paling sohor adalah cerita perihal sepatu. Cerita yang membuat Kroos kemudian termaklumkan sebagai orang yang sederhana, sekaligus setia.

Satu siang, akhir Mei 2014, Toni Kroos datang ke ruangan CEO Bayern Munchen, Karl-Heinz Rummenigge untuk membicarakan isu yang santer berkembang sejak beberapa bulan sebelumnya. Kroos disebut-sebut tidak puas dengan gaji yang ia terima, yang dianggapnya terlalu rendah. Kala itu, Bayern membayarnya 4 juta euro per-tahun. Jumlah ini dua kali lipat lebih kecil dari gaji Thiago Alcantara, dan hanya 1/3 dari pendapatan Mario Goetze yang baru direkrut dari Dortmund di awal musim.

Kroos merasa dirinya layak disejajarkan dengan pemain-pemain Munchen lain. Philipp Lahm dan Bastian Schweinsteiger masing-masing bergaji 10 juta euro per-tahun, Arjen Robben 7 juta euro, sedangkan Franck Ribery, sama seperti Goetze, mendapat bayaran 12 juta euro.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved