Ngopi Sore
Bangun, Dong, Lupus!
Lupus datang dari keluarga sederhana di Jakarta. Boleh dibilang menengah menjurus ke bawah. Tinggal di satu gang, bersama ibu dan adiknya, Lulu.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Kira-kira satu tahun kemudian, saat saya dibawa ayah saya ke toko buku, saya melihat satu tumpukan buku kecil (seukuran buku saku). Judulnya, Tangkaplah Daku Kau Kujitak. Ada gambar Lupus yang khas di sampulnya. Tentu saja saya membelinya, dan setelah saya baca, ternyata merupakan kumpulan dari episode-episode awal Lupus yang sebelumnya dimuat di Hai.
Berselang bulan, dengan judul yang sama Lupus diangkat ke layar lebar. Karakter Lupus diperankan idola remaja kala itu, Ryan Hidayat.
Lupus pun tak terbendung dan melejit menjadi ikon pop. Satu-satunya pesaing adalah Boy, karakter utama dalam Catatan Si Boy, film yang dirilis hampir bersamaan dengan Tangkaplah Daku Kau Kujitak. Keduanya berjalan berseiringan di rel berbeda.
Boy, dengan kata lain, menjadi pembanding yang sepadan. Boy yang kaya-raya dan bisa mendapatkan segalanya tanpa perlu bekerja adalah antitesis Lupus yang sekadar untuk mendapatkan tambahan uang saku, plus "tiket" menuju “ranah pergaulan”, harus bekerja menjadi wartawan dan fotografer lepas di majalah remaja.
Tahun berganti, era bergeser, kecenderungan dan kebiasaan-kebiasaan berubah. Namun nama Lupus tetap melekat, dan barangkali saja akan tetap begitu meski pada hari ini, Rabu, 9 Maret 2022, penciptanya Hilman Hariwijaya, meninggal dunia.
Terima kasih telah mewarnai –dan jangan-jangan mengarahkan– hidup saya dan entah berapa juta remaja Indonesia 1980-an dan 1990-an.
Tenang di sana, Mas Lupus. Salam untuk Gusur yang sudah pergi duluan.(t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/lupus-3.jpg)