Ngopi Sore

Bangun, Dong, Lupus!

Lupus datang dari keluarga sederhana di Jakarta. Boleh dibilang menengah menjurus ke bawah. Tinggal di satu gang, bersama ibu dan adiknya, Lulu.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
instagram
LUPUS saat pertama kali muncul di Majalah Hai tahun 1986 yang kemudian dicetak menjadi buku 

SATU hari di pertengahan tahun 1986 ayah saya membawa pulang satu majalah yang berbeda dari biasanya. Bukan Bobo atau Ananda, melainkan Hai.

Sejak dua tahun sebelumnya, ayah saya memang rutin membelikan buku bacaan. Minimal satu saban bulan, dan pilihannya adalah Bobo dan Ananda, atau juga Kuncung. Pertimbangannya, bacaan berbentuk majalah ini memang diperuntukkan bagi anak-anak usia SD. Adapun Hai, juga berbentuk majalah, adalah bacaan bagi remaja.

Bobo-nya habis, kata ayah saya waktu itu beralasan. Apa boleh buat. Saya membuka Hai dengan agak malas. Tidak ada Bobo Sang Kelinci dan keluarganya, tidak ada Pak Janggut yang punya buntalan ajaib, tidak ada Bona Gajah Kecil Berbelalai Panjang dan sahabatnya Rongrong, tidak ada Oki dan Nirmala peri yang jelita.

Pada lembaran-lembaran Hai saya mendapati ulasan perihal band-band dan penyanyi yang –kala itu sama sekali– tidak saya kenal, sinopsis film bioskop (nasional dan barat), video VHS/PAL (format sebelum digeser tren Laser Disc dan belakangan CD/VCD/DVD), serta film atau serial televisi yang tayang di satu-satunya stasiun, TVRI.

Di lembaran lain ada komik, cerita pendek dan novelet, baik dalam bentuk lepas atau serial alias cerita bersambung.

Inilah awal perkenalan saya dengan Lupus. Mula-mula saya tertarik pada gambarnya: sosok remaja laki-laki, siswa SMA (berbaju seragam putih dengan celana panjang) berambut semi gondrong yang menggelembungkan balon (belakangan saya baru tahu gelembung itu permen karet) di mulutnya.

Lalu, pelan-pelan saya bergerak dari paragraf ke paragraf dan merasa makin suka.

Lupus datang dari keluarga sederhana di Jakarta. Boleh dibilang menengah menjurus ke bawah. Tinggal di satu gang, di satu rumah yang tidak terlalu besar bersama ibu dan adik perempuannya, Lulu. Ayah Lupus sudah tiada dan ibunya mencari nafkah dengan berjualan makanan katering.

Sebagai anak-anak yang bahkan belum genap berusia 11, di satu desa kecil berjarak kurang lebih 20 kilometer atau sekitar 30 menit perjalanan dengan motor ke Praya, ibu kota Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), saya –dan kemudian sejumlah kawan saya– dengan cepat jatuh cinta pada Lupus dan "gerombolannya" yang hampir semuanya sama tengil dan ajaib: Gusur, Boim, Anto, Nyit-Nyit, dan Fifi Alone.

Kami tidak pernah tahu seperti apa rupa Slipi, atau Matraman, atau Palmerah, atau semua nama daerah yang disebut dalam cerita ini. Kami hanya tahu Jakarta lewat gambar-gambar Monas dan Taman Mini di TVRI.

Namun cerita-cerita tentang keseharian mereka, keseharian anak-anak remaja di jantung ibu kota, entah bagaimana membuat kami merasa terwakili –walau kala itu seumur-umur, di Lombok, kami tidak pernah melihat seorang pun yang berdiri bergelantungan di bus kota.

Lalu dari mana rasa terwakili itu datang? Barangkali lantaran ceritanya yang tidak berlebih-lebihan. Cerita yang biasa-bisa saja.

Lupus tidak pernah digambarkan sebagai remaja yang sempurna: tampan, rajin, pintar, dan selalu patuh. Sebaliknya, dia seperti remaja kebanyakan belaka. Remaja yang sering diserang rasa malas hingga kerap berpura-pura molor agar terlambat ke sekolah.

Siasat Lupus ini kemudian menjadi satu di antara kekhasan, yang mencuat lewat teriakan bernada kesal dari Lulu: "bangun, dong, Lupus! Ayo, bangun!"

Cerita seputar sekolah juga sangat menarik. Persoalan di kelas dengan sesama siswa atau guru digambarkan begitu luwes dan tanpa ada beban untuk kelihatan sok bijak. Pun persoalan-persoalan di tongkrongan. Pendek kata, semua yang terjadi di Lupus juga bisa kami alami.

Kira-kira satu tahun kemudian, saat saya dibawa ayah saya ke toko buku, saya melihat satu tumpukan buku kecil (seukuran buku saku). Judulnya, Tangkaplah Daku Kau Kujitak. Ada gambar Lupus yang khas di sampulnya. Tentu saja saya membelinya, dan setelah saya baca, ternyata merupakan kumpulan dari episode-episode awal Lupus yang sebelumnya dimuat di Hai.

Berselang bulan, dengan judul yang sama Lupus diangkat ke layar lebar. Karakter Lupus diperankan idola remaja kala itu, Ryan Hidayat.

Lupus setelah diangkat di film
Lupus setelah diangkat di film (instagram)

Lupus pun tak terbendung dan melejit menjadi ikon pop. Satu-satunya pesaing adalah Boy, karakter utama dalam Catatan Si Boy, film yang dirilis hampir bersamaan dengan Tangkaplah Daku Kau Kujitak. Keduanya berjalan berseiringan di rel berbeda.

Boy, dengan kata lain, menjadi pembanding yang sepadan. Boy yang kaya-raya dan bisa mendapatkan segalanya tanpa perlu bekerja adalah antitesis Lupus yang sekadar untuk mendapatkan tambahan uang saku, plus "tiket" menuju “ranah pergaulan”, harus bekerja menjadi wartawan dan fotografer lepas di majalah remaja.

Tahun berganti, era bergeser, kecenderungan dan kebiasaan-kebiasaan berubah. Namun nama Lupus tetap melekat, dan barangkali saja akan tetap begitu meski pada hari ini, Rabu, 9 Maret 2022, penciptanya Hilman Hariwijaya, meninggal dunia.

Terima kasih telah mewarnai –dan jangan-jangan mengarahkan– hidup saya dan entah berapa juta remaja Indonesia 1980-an dan 1990-an.

Tenang di sana, Mas Lupus. Salam untuk Gusur yang sudah pergi duluan.(t agus khaidir)

HILMAN Hariwijaya, penulis dan pencipta karakter Lupus
HILMAN Hariwijaya, penulis dan pencipta karakter Lupus (dok.hai)
Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved