Ngopi Sore
Percuma Lapor Polisi, Pertanda Rakyat Makin Kecewa
Sudah kelewat banyak keanehan yang mengemuka dari penyelesaian berbagai kasus selama ini, terutama yang melibatkan individu atau kelompak rakyat kecil
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Lidya syok mendengar pengakuan si sulung. Apalagi, kedua anaknya yang lain juga mengemukakan pengakuan serupa. Di berita di sebut, Lidya sempat jatuh terduduk. Kedua kakinya serasa tak bertulang. Ia menangis histeris. Marah, sedih, sekaligus bingung. Malam harinya, saat menemani mereka tidur, sembari menatap wajah anak-anaknya Lidya terus berurai air mata.
Ia lantas mengadu ke Kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dinas Sosial Luwu. Hasilnya nihil. Kepala Bidang Pelayanan, disebut dalam berita, malah mencoba "memfasilitasi" Lidya dengan mantan suaminya itu. Kantor ini juga melakukan pemeriksaan terhadap ketiga anak Lidya dan sampai pada tiga kesimpulan yakni 'tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma', 'hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis', dan 'keadaan fisik dan mental dalam keadaan sehat'.
Lidya kemudian mengadu ke Polres Luwu Timur pada 9 Oktober 2019. Hasilnya? Sama saja. Dua bulan berselang, penyelidikan dihentikan. Lidya bahkan balik dituding melakukan fitnah karena mendendam akibat perceraian. Ia juga, berdasarkan wawancara dengan psikolog yang disediakan polisi, disebut mengalami gangguan kejiwaan: 'memiliki gejala-gejala waham bersifat sistematis yang mengarah kepada gangguan waham menetap'.
Project Multatuli secara detail mewawancara Lidya, dan beberapa jam setelah tayang, laman mereka tidak bisa lagi diakses –walau beberapa jam berselang bisa kembali dipulihkan.
Apakah lantaran judul dan isi berita ini menyinggung-nyinggung (dan menyudutkan!) institusi kepolisian? Mungkin saja. Pastinya, setelah pengelola Project Multatuli kehilangan kendali atas lamannya, berita yang mereka tayangkan itu justru menyebar makin masif. Media-media mainstream yang punya basis pembaca lebih besar dan lebih luas jangkauan sebarannya secara nasional, atas izin Project Multatuli, ramai-ramai ikut memberitakan. Bahkan tak berhenti di situ, pada tiap-tiap unggahan mereka, tagar #PercumaLaporPolisi ikut pula disematkan.
Entah gerah dan merasa terganggu atas "pergerakan" ini, polisi angkat bicara. Bilang mereka, itu kasus lama, kasus tahun 2019 dan telah diselesaikan. Penyelesaiannya, ya, seperti telah dipapar panjang lebar dalam berita: laporan tidak diterima lantaran tak ada bukti. Tak saksi dan pelapor sendiri ditengarai melancarkan fitnah karena mendendam akibat perceraian dan mengalami gangguan kejiwaan.
Siapa yang bisa lebih dipercaya? Polisi, atau Lidya? Begitu kencang dan masifnya lesatan tagar rasa-rasanya sudah menjawab. Dan terlepas dari kasusnya sendiri, dukungan terhadap tagar secara umum juga menunjukkan betapa kekecewaan terhadap penanganan hukum di negeri ini sudah sampai ke titik nadir. Telah memuncak lantas pecah.
Bahasa dan pandangan hukum memang berbeda dari bahasa dan pandangan awam. Namun sudah kelewat banyak keanehan yang mengemuka dari penyelesaian berbagai penanganan kasus selama ini. Terutama sekali kasus-kasus yang melibatkan individu atau kelompok rakyat yang tidak punya akses politik dan –terlebih-lebih– kekuatan ekonomi.
Nyaris bersamaan dengan mencuatnya kembali kasus di Luwu Timur, dari Kota Medan, Sumatra Utara, seorang pedagang pasar, perempuan, yang dipukuli dan diinjak-injak preman anggota Organisasi Kepemudaan, dijadikan tersangka atas tudingan melakukan tindak pidana penganiayaan. Preman ini sudah jadi tersangka, tapi polisi juga memproses pengaduannya, yang merasa teraniaya lantaran saat memukuli dan menginjak-injak korban mendapatkan balasan berupa cakaran pada bagian tangan.
Sontoloyo! (t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/ilustrasi-luwu.jpg)