Ngopi Sore
Percuma Lapor Polisi, Pertanda Rakyat Makin Kecewa
Sudah kelewat banyak keanehan yang mengemuka dari penyelesaian berbagai kasus selama ini, terutama yang melibatkan individu atau kelompak rakyat kecil
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
ADA satu anekdot, yang lantaran kerap didengar sejak puluhan tahun lalu, kadar kelucuannya sudah surut jauh. Ia tidak lagi mampu meledakkan tawa. Paling-paling senyuman. Itu pun sekadar sunggingan kecil.
Anekdot itu: jika kehilangan kambing, tak usah lapor polisi karena justru akan kehilangan sapi.
Tahun 1979, Iwan Fals melepas album 'Canda dalam Nada' yang antara lain memuat lagu berjudul 'Kisah Sepeda Motorku'. Diceritakan dalam lagu, seorang laki-laki kehilangan sepeda motor dan pergi melapor ke kantor polisi. Laki-laki ini diterima dengan setengah hati oleh seorang juru periksa berpangkat kopral, yang setelah mencatat laporan kemudian memintanya pulang sembari menunggu kabar sampai satu bulan ke depan.
Tunggu punya tunggu, sampai waktu dijanjikan tiba, tetap tidak ada kabar dari 'Bapak Kopral'. Maka dia pun berinisiatif datang lagi ke kantor polisi untuk menanyakan perihal sepeda motornya.
Sesampainya di sana, alangkah terkejutnya lelaki itu saat mendapati sepeda motor tersebut ada di garasi kantor. Namun aih-alih senang dia justru gusar lantaran kondisi sepeda motornya nyaris telanjang.
Sudah tak beraki, sudah tak berlampu, tutup tangki hilang kaca spion kok melayang...
Saat ditanya, Bapak Kopral bilang bahwa saat ditemukan keadaannya memang sudah demikian. Memang sudah tak beraki, memang sudah tak berlampu, tutup tangki hilang dan juga tanpa spion.
Antara marah dan sedih dan mungkin setengah putus asa, lelaki pelapor bertanya apakah sepeda motornya bisa dia bawa pulang. Bapak Kopral menjawab lugas: 'O, tentu, asal engkau tahu diri. Mbok, ya, terima kasih'.
Lagu ini menjadi versi lain dari anekdot pertama tadi. Hilang kambing jadi hilang sapi. Hilang motor, ditemukan dalam kondisi nyaris tak berbentuk, tapi masih juga diminta untuk berterima masih. Tentu, orang paling goblok sedunia pun paham apa yang dimaksud dengan kata 'tahu diri' dan 'terima kasih' ini. Istilah lainnya "biaya administrasi", atau – yang lebih brengsek– "tanda kekeluargaan".
Begitu pun, meski bikin dongkol sampai ke ulu hati, anekdot-anekdot ini menunjukkan bahwa –paling tidak– pelapor tak kembali dengan tangan kosong. Kambing ditemukan. Sepeda motor ditemukan. Dengan kata lain, pengaduan mereka diterima dan diproses dan bahkan dituntaskan. Perkara puas atau tak puas atas hasilnya, setimpal tak setimpal, itu perkara lain.
Namun yang terjadi hari-hari belakangan ini berbeda. Bagi Anda yang membuka media sosial tidak sekadar untuk mencari tahu perkembangan misteri kehamilan pedangdut Lesti Kejora, maka tentu Anda tak asing pada tanda pagar (tagar) #PercumaLaporPolisi. Percuma, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki dua makna. Pertama, cuma-cuma alias gratis. Kedua, tidak ada gunanya, alias sia-sia belaka --dan oleh sebab itu lebih baik tak usah dilakukan.
Demikianlah tagar mulai mencuat dan kemudian bercokol di jajaran papan atas daftar pencarian di laman microbloging Twitter (kemudian menyebar pula dengan cepat di Facebook dan TikTok), setelah laman Project Multatuli mengalami down, tidak dapat diakses diduga akibat mendapatkan "serangan siber".
Siapa penyerangnya? Sejauh ini belum diketahui. Namun serangan terjadi hanya beberapa jam setelah mereka menayangkan rangkaian berita yang diberi kepala judul 'Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Hentikan Penyidikan'.
Ini berita dari Luwu Timur, Sulawesi Selatan, tentang (dugaan) kasus asusila yang dilakukan seorang laki-laki terhadap tiga bocah perempuan yang saat kejadian semuanya masih berusia di bawah 10 tahun. Lelaki ini ayah kandung mereka. Dia pegawai negeri sipil yang bekerja di satu instansi pemerintahan.
Kasus terungkap setelah anak yang sulung mengadu kepada Lidya (bukan nama sebenarnya), ibu mereka. Lidya mengasuh mereka bertiga setelah bercerai dengan lelaki itu. Namun meski bercerai, sebagaimana putusan pengadilan, lelaki tersebut dalam kurun-kurun waktu tertentu tetap bisa berkunjung (termasuk mengantar ke sekolah atau membawa pelesiran), dan diduga, pada momentum-momentum inilah peristiwa asusila terjadi.
Lidya syok mendengar pengakuan si sulung. Apalagi, kedua anaknya yang lain juga mengemukakan pengakuan serupa. Di berita di sebut, Lidya sempat jatuh terduduk. Kedua kakinya serasa tak bertulang. Ia menangis histeris. Marah, sedih, sekaligus bingung. Malam harinya, saat menemani mereka tidur, sembari menatap wajah anak-anaknya Lidya terus berurai air mata.
Ia lantas mengadu ke Kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dinas Sosial Luwu. Hasilnya nihil. Kepala Bidang Pelayanan, disebut dalam berita, malah mencoba "memfasilitasi" Lidya dengan mantan suaminya itu. Kantor ini juga melakukan pemeriksaan terhadap ketiga anak Lidya dan sampai pada tiga kesimpulan yakni 'tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma', 'hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis', dan 'keadaan fisik dan mental dalam keadaan sehat'.
Lidya kemudian mengadu ke Polres Luwu Timur pada 9 Oktober 2019. Hasilnya? Sama saja. Dua bulan berselang, penyelidikan dihentikan. Lidya bahkan balik dituding melakukan fitnah karena mendendam akibat perceraian. Ia juga, berdasarkan wawancara dengan psikolog yang disediakan polisi, disebut mengalami gangguan kejiwaan: 'memiliki gejala-gejala waham bersifat sistematis yang mengarah kepada gangguan waham menetap'.
Project Multatuli secara detail mewawancara Lidya, dan beberapa jam setelah tayang, laman mereka tidak bisa lagi diakses –walau beberapa jam berselang bisa kembali dipulihkan.
Apakah lantaran judul dan isi berita ini menyinggung-nyinggung (dan menyudutkan!) institusi kepolisian? Mungkin saja. Pastinya, setelah pengelola Project Multatuli kehilangan kendali atas lamannya, berita yang mereka tayangkan itu justru menyebar makin masif. Media-media mainstream yang punya basis pembaca lebih besar dan lebih luas jangkauan sebarannya secara nasional, atas izin Project Multatuli, ramai-ramai ikut memberitakan. Bahkan tak berhenti di situ, pada tiap-tiap unggahan mereka, tagar #PercumaLaporPolisi ikut pula disematkan.
Entah gerah dan merasa terganggu atas "pergerakan" ini, polisi angkat bicara. Bilang mereka, itu kasus lama, kasus tahun 2019 dan telah diselesaikan. Penyelesaiannya, ya, seperti telah dipapar panjang lebar dalam berita: laporan tidak diterima lantaran tak ada bukti. Tak saksi dan pelapor sendiri ditengarai melancarkan fitnah karena mendendam akibat perceraian dan mengalami gangguan kejiwaan.
Siapa yang bisa lebih dipercaya? Polisi, atau Lidya? Begitu kencang dan masifnya lesatan tagar rasa-rasanya sudah menjawab. Dan terlepas dari kasusnya sendiri, dukungan terhadap tagar secara umum juga menunjukkan betapa kekecewaan terhadap penanganan hukum di negeri ini sudah sampai ke titik nadir. Telah memuncak lantas pecah.
Bahasa dan pandangan hukum memang berbeda dari bahasa dan pandangan awam. Namun sudah kelewat banyak keanehan yang mengemuka dari penyelesaian berbagai penanganan kasus selama ini. Terutama sekali kasus-kasus yang melibatkan individu atau kelompok rakyat yang tidak punya akses politik dan –terlebih-lebih– kekuatan ekonomi.
Nyaris bersamaan dengan mencuatnya kembali kasus di Luwu Timur, dari Kota Medan, Sumatra Utara, seorang pedagang pasar, perempuan, yang dipukuli dan diinjak-injak preman anggota Organisasi Kepemudaan, dijadikan tersangka atas tudingan melakukan tindak pidana penganiayaan. Preman ini sudah jadi tersangka, tapi polisi juga memproses pengaduannya, yang merasa teraniaya lantaran saat memukuli dan menginjak-injak korban mendapatkan balasan berupa cakaran pada bagian tangan.
Sontoloyo! (t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/ilustrasi-luwu.jpg)