Breaking News

Liputan Khusus

PHK Terjadi Dimana-mana saat Pandemi, Ada yang Jadi Tukang Bakso, Ojek dan Kuli Demi Bertahan Hidup

Gelombang PHK terjadi dimana-mana saat pandemi. Banyak karyawan dan pekerja yang harus banting stir demi bertahan hidup di masa kritis sekarang ini

Editor: Array A Argus
TRIBUN MEDAN/GOLKAS WISELY
Ismail Fadlan Siregar (31) yang bekerja sebagai sopir ojek online sedang mencari pelanggan di Kawasan Industri Medan (KIM), kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan, Sumatera Utara, Sabtu (14/8/2021). (TRIBUN MEDAN/GOKLAS WISELY). 

Keduanya merasa jualan keripik peyek hanya membutuhkan modal sedikit dengan pasar yang bisa dijangkau.

Mereka memutuskan untuk berjualan keripik peyek sebulan lalu. Biasanya Nurlela dan Andi berjualan di sekitar daerah Jalan Palangkaraya, Jalan Sukaramai, Lapangan Merdeka, dan di daerah keramaian lainnya.

Keduanya biasa naik sepeda motor ke lokasi jualan, kemudian memarkirkannya.

Lalu, mereka jalan kaki mengecer keripik peyek ke toko-toko, warung, dan orang-orang yang melintas atau sedang nongkrong.

Mereka mulai berjualan pukul 10.00 WIB-17.00 WIB.

Penghasilan kotornya sekitar Rp 150 ribu per hari. Satu hari mampu menghabiskan 50 bungkus kripik peyek.

"Tidak kurang, melainkan dicukupkan. Setidaknya kita berjuang untuk tetap bisa menghidupi keluarga. Mengeluh juga tidak ada gunanya," ujarnya.

Nurlela berpesan kepada para pekerja yang bernasib serupa dengannya agar tetap semangat menjalani hidup.

Kecewa atau kesal terhadap keadaan tidak akan membawa rezeki. Kerja keras dan tetap berusaha serta tetap berdoa menjadi kunci yang sampai saat ini dipegangnya agar tetap semangat mencari uang.

"Meski sulit, tapi kalau dibarengi doa dan usaha pasti diberi jalan. Jangan kita malu bekerja apapun yang penting bisa mempertahankan hidup dan halal," katanya.
Bersifat Polistis

Cerita lainnya datang dari Agus Utomo (33), yang juga terkena PHK.

Sebelumnya ia bekerja di salah satu perusahaan di Jalan Pulau Sumatera, Kota Bangun, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan.

Di perusahaan itu, ia bekerja untuk memoles bahan mentah menjadi produk yang akhirnya berupa keramik.

Sudah 9,5 tahun lamanya ia bekerja di perusahaan tersebut. Tepat 15 Mei 2020, ia kena PHK.

Alasan perusahan, kala itu, menurutnya, bersifat politis.

Pasalnya, ia kena PHK tak lama setelah menggelar demonstrasi perihal dugaan adanya penghapusan jam lembur di perusahaan tersebut.

Terakhir ia bersama kawannya, yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia atau FSPMI sekitar 300 orang akhirnya kena PHK secara bertahap.

Mendapat kabar buruk itu, hatinya sangat pilu, dan terpukul.

Ia sempat merasa gamang. Ia sangat cemas untuk bisa mendapat pekerjaan setelah kena PHK.

Terlebih pada masa pandemi Covid-19, yang disadarinya sangat minim tersedia lapangan pekerjaan.

Belum lagi kabar yang ia dapat perusahaan di berbagai daerah banyak melakukan PHK terhadap karyawan.

Semakin ciut hatinya. Terlebih saat memikirkan bagaimana membiayai dua anaknya, satu masih duduk di sekolah dasar, dan satu lagi berumur tiga tahun.

Saat itu, ia sangat kesal. Pasalnya, sudah 9,5 tahun ia bekerja di perusahaan tersebut.

Istrinya, ketika mendengar kabar Agus berhenti bekerja, tidak dapat berkomentar panjang.

Ia hanya pasrah dan menangis suaminya tidak lagi bekerja.

"Sedih kalilah istriku. Sempatlah sekitar lima bulan aku menganggur. Tidak tahu mau kerja apa. Terpaksa uang pesangon yang kudapat kujadikan biaya hidup sehari-hari. Itu pun kurang, makanya kami ngutang sana sini," ujarnya dengan mata berkaca - kaca.

Ia sangat merasakan perubahan setelah tak bekerja lagi. Ketika bekerja sekitar Rp 3,4 juta selalu ia dapat per bulan. Itulah yang ia gunakan untuk membiayai keluarganya.

Lima bulan berselang, ia akhirnya memutuskan untuk berdagang sembari kerja serabutan.

Ia membeli wadah untuk jualan bakso bakar.

Ide itu, katanya, berkat inisiatif istrinya yang setiap Lebaran berjualan mi sop.

Terlintas dalam benaknya untuk berjualan bakso bakar yang dibuat istrinya.

Awal-awal berjualan ia masih sangat canggung. Dahulu bekerja di pabrik, kini Agus harus berjualan keliling mencari pelanggan.

"Waktu itu masih malu-malulah mau mencari pelanggan. Biasanya saya jualan pagi ke daerah Wallet, sekolahan dan tempat pembuangan akhir," katanya.

Agus menceritakan, ada kemampuan yang sebelumnya tidak didapatnya.

Seperti mengikat bungkusan bakso bakar yang ternyata tidaklah gampang.

"Ya, sempat itu, karena saya nggak tahu membungkusnya, jadi pelanggan yang membungkus sendiri. Itulah lucunya sampai mereka ketawa-ketawa. Aku pun tertawa jugalah," ucapnya.

Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Agus mulai menikmati pekerjaan barunya tersebut.

Meski penghasilannya tidak sebanding dengan pekerjaan lamanya, ia tetap bersyukur masih bisa kerja.

Per hari, pendapatan kotornya sekitar Rp 300 ribu.

Uang itulah kemudian dicampur dengan pendapatan istrinya, yang kini rutin berjualan mi sop sebagai penopang ekonomi keluarga.

Biasanya Agus jualan pukul 07.00 WIB-18.00 WIB. Kadang kala jualannya tidak habis.

Apalagi pada masa pandemi, katanya, tidak terlalu sering orang membeli jajanan.

Agus mengungkapkan kadang pendapatan dari berjualan kurang.

Ia juga kadang bekerja sebagai tukang botot dan kuli bangunan.

"Sejak SD aku sudah pernah jadi tukang botot. Makanya sempatlah jadi tukang botot lagi aku. Tapi, karena kata istri bau dan bisa menyebarkan virus sekarang engga lagi. Kalau kuli bangunan, ya sesekali kalau dapat proyek," ungkapnya.

Kalau menjadi kuli bangunan, katanya, bisa mendapat Rp 100 ribu per hari.

Terpukul

Ismail Fadlan Siregar (31) juga bernasib serupa dengan Nurlela, Andi, dan Agus.

Ia juga kena PHK. Warga Kecamatan Jalan Boxit Lingkungan 1 A, Medan Deli ini sudah 11 tahun bekerja di perusahaan tersebut.

Kini ia sudah beralih pekerjaan menjadi sopir ojek online. Ia sering mengambil pelanggan di Kawasan Industri Medan (KIM), kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan.

Ayah dua anak ini mengaku, sangat terpukul.

Bahkan, ia stres dan bingung mencari uang setelah kena PHK.

"Pokoknya kalau suasana hati waktu itu hancur leburlah. Perusahaan pun kayak suka-sukanya aja. Tapi itulah kenyataan. Bingung dan engga tahu mau ke mana," ujarnya.

Istrinya pun hanya bisa bungkam dan meneteskan air mata mendapati suaminya tidak lagi bekerja.

Padahal anaknya masih kecil dan membutuhkan biaya sehari-hari yang cukup besar.

Akhirnya sampai saat ini ia memilih menjadi tukang ojek.

Sehari pendapatannya Rp 60 ribu jauh di bawah . gajinya saat bekerja di perusahaan Rp 3,4 juta per bulan.

Ia kadang mengutang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Apalagi waktu anaknya yang berumur dua tahun sempat sakit.

Tak jarang ia pun kerja serabutan. Seperti jadi kuli bongkar muat di perusahaan, dan membersihkan parit kalau diajak pihak lingkungan di sekitar rumahnya.

"Kalau bertumpu hanya dari ojek ini tidak sangguplah. Apalagi pada masa pandemi Covid-19 ini kan banyak pelajar dan mahasiswa yang pulang kampung. Padahal itu pasar kami di sini," sebutnya.

Namun, ia tetap bersyukur. Pendapatannya akhir-akhir ini sudah mencukupi untuk kebutuhan hidup.

Meski tidak bisa menabung, setidaknya sampai saat ini ia masih bisa membiayai kebutuhan keluarganya.

Ismail juga berpesan kepada para pekerja yang kena PHK agar tidak menyerah.

Menurutnya di mana ada usaha, di situ ada jalan.

Tetap berserah kepada Allah dan menjalani hidup dengan kerja keras, maka rezeki akan tetap mengalir.

Sebab, menurutnya, putus asa terhadap keadaan hanya sia-sia.

"Kiranya seluruh pekerja yang kena PHK tetap semangat. Sebab, bagaimanapun inilah kondisi kita saat ini. Satu-satunya jalan, tetap berdoa dan terus berusaha agar keluarga tetap makan," katanya.(cr8)

Sumber: Tribun Medan
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved