Ngopi Sore
Pak Gubernur Bilang Festival Danau Toba tak Bermanfaat? Benarkah?
Festival Danau Toba dalam tiga penyelenggaraan terakhir sepi pengunjung lantaran kemasannya sungguh-sungguh ketinggalan zaman. Kuno dan membosankan.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Festival Danau Toba dalam tiga penyelenggaraan terakhir sepi pengunjung lantaran kemasannya sungguh-sungguh ketinggalan zaman. Kuno dan membosankan.
Apakah orang-orang yang ditugaskan merancang festival ini memang sebenar-benarnya tak memiliki kreativitas dan inovasi? Saya curiga demikian. Mungkin malah tak punya kesungguhan. Tak serius. Sekadar kerja lepas rodi saja. Sekadar agar dana yang sudah dianggarkan ada bentuknya. Tidak jadi temuan BPK yang bisa menyeret campur tangan KPK.
Lebih celaka, acara-acara yang begitu-begitu saja, jauh dari kata menarik, bahkan terkesan asal ada ini, makin senyap lantaran tak pula dibarengi promosi yang cukup.
Rio Carnival digelar selama lima hari pada 21-26 Februari, dan Pemerintah Kota Rio de Jeneiro, Brasil, telah menggeber promosi sejak pertengahan tahun. Pula demikian OktoberFest di Bavaria, Jerman. Januari baru akan memasuki pekan ketiga, tapi promosi acara ini sudah gencar dilakukan. Tiket-tiket sudah bisa dibeli.
Festival Danau Toba? Ah, jangankan promosi besar-besaran. Untuk sekadar sampai pada level kecil-kecilan saja pun belum. Bayangkan, pada penyelenggaraan tahun lalu, umbul-umbul acara bahkan baru mulai dipasang dua hari sebelum hari H. Itu pun di seputaran Parapat dan Samosir. Tidak banyak jejak Festival Danau Toba di kota-kota sekitarnya. Tidak di Siantar, di Raya, di Tarutung, Balige, atau Doloksanggul.
Di Medan? Kedengaran-kedengaran jambu. Antara dengar dan tidak. Sayup-sayup saja. Sampai acara digelar, berlangsung, dan kemudian berakhir, tetap sayup. Alih-alih kabar-kabar baik dan menarik yang memancing rasa penasaran, kabar yang lebih banyak mencuat justru keburukan- keburukan. Suara-suara ketidakpuasan. Tak terkecuali yang datang dari pihak-pihak partisipan. Di media sosial, cibiran dan ejekan mendominasi. Bagaimana bisa menyedot turis jika panggung-panggung hiburannya saja kalah mentereng dibanding panggung dangdut pantura.
Jadi begitulah, Pak Gubernur. Saya kira persoalannya terletak di sini. Festival Danau Toba secara umum masih punya potensi besar.
Tiap tahun di bulan Agustus jutaan orang datang ke Kota Bunol, Valencia, hanya untuk lempar-lemparan tomat. Tiap tahun di bulan April, jutaan orang datang ke Thailand cuma untuk berbasah-basah disiram air dalam Festival Songkran. Sapporo dan Harbin Snow Festival yang melulu es juga disesaki wisatawan.
Danau Toba lebih segala-galanya. Alamnya tak tertandingi. Indah sekaligus ajaib. Budaya dan seninya luar biasa.
Anda tak perlu membunuh dan mengubur festival ini lantaran buruk dan serba kampungan dalam beberapa penyelenggarannya yang terakhir, Pak. Sebab jika mau; serius dan rela sedikit lebih berendah hati untuk membuka diri, Anda dapat membuatnya jadi jauh lebih menarik.
Saya kira kita belum kekurangan orang-orang kreatif untuk mengeksplorasi berbagai kekayaan dan kelebihan Danau Toba, lalu mengemas festivalnya jadi acara kelas dunia.(t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/fdt3.jpg)