Breaking News

Ngopi Sore

Pak Gubernur Bilang Festival Danau Toba tak Bermanfaat? Benarkah?

Festival Danau Toba dalam tiga penyelenggaraan terakhir sepi pengunjung lantaran kemasannya sungguh-sungguh ketinggalan zaman. Kuno dan membosankan.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Tribun Medan/Danil Siregar
Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi 

Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi, memang sungguh aduhai. Setidaknya sampai sejauh ini, setelah Anies Baswedan, dialah gubernur yang paling sering menjadi perbincangan di media. Dalam hal ini, tentu saja, dari sisi negatif.

Serupa Anies pula, Edy disoroti lantaran kata-katanya. Namun, Edy kontradiksi Anies. Kata-kata Anies sungguh asoy semlohai. Demikian meliuk-liuk. Kedengaran rumit dan njelimet dalam susunannya yang cermat dan rapi. Pendek kata, selalu terkesan sangat terpelajar. Saking terpelajarnya hingga bikin bingung. Melesat-lesat sampai ke atmosfer Neptunus padahal kalau diperas-peras sebenarnya tak banyak berisi. Orang Medan kata, tipikal Raul; Raja Ulok.

Edy sebaliknya. Nyaris tanpa bunga. Tanpa ancang-ancang preambule. Tanpa pemanis apapun. Dia bicara begitu saja. Ceplas-ceplos. Bahkan seringkali tanpa saringan sama sekali.

Paling anyar soal Festival Danau Toba. Edy bilang acara yang sudah digelar sejak empat dekade lalu ini sebaiknya dihentikan saja lantaran tak ada manfaatnya. Ia hendak mengganti festival ini dengan kegiatan lain. Edy memberi satu contoh, triathlon.

Seketika, kata-kata ini menyulut kemarahan. Media sosial riuh. Siapa yang marah? Pertama, masyarakat budaya. Siapa saja mereka? Untuk menyebut beberapa di antaranya adalah para pelaku dan pecinta seni, serta pemerhati budaya.

Kedua masyarakat adat. Festival Danau Toba yang sebelumnya bernama Pesta Danau Toba memiliki sejarah panjang dan sejarah ini dilahirkan oleh masyarakat adat dari suku-suku yang berada di seputaran Danau Toba; Batak Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak.

Ketiga, kalangan pebisnis pariwisata. Tanpa Festival Danau Toba, mereka akan kehilangan satu di antara momentum terbaik sepanjang tahun.

Pertanyaannya, tepatkah pernyataan Edy Rahmayadi. Tanpa keraguan sedikit pun saya bilang sangat tepat. Festival Danau Toba memang tidak bermanfaat. Terutama apabila berkaca dari setidaknya tiga penyelenggaraan terakhir. Sepi pengunjung dengan acara-acara yang dibikin asal jadi.

Namun tentu saja kesepakatan saya terhadap kata-kata Pak Gubernur terjadi hanya apabila kata-katanya itu masih berkelanjutan. Belum sampai pada 'titik' yang benar-benar titik. Dengan kata lain, masih ada 'tapinya'. Dan karena itu pula, kesepakatan saya masih belum bulat. Masih menggantung. Boleh jadi batal dan berganti tidak setuju kalau ternyata Edy tidak dapat memberikan 'tapi' yang pas.

Sejauh ini, 'tapi' yang disodorkan Edy belum dapat dijadikan jawaban. Festival Danau Toba merupakan festival seni dan budaya. Sedangkan triathlon adalah olah raga. Tidak apple to apple, Pak Gubernur.

Saya tidak menyebut triathlon sebagai ide buruk. Sebaliknya, justru brilian. Triathlon, olah raga gabungan tiga cabang: renang, lari, dan sepeda, memang selalu dapat menghadirkan keramaian.

Sebutlah misalnya Escape from Alcatraz Triathlon atau Zalaris Norseman Extreme Triathlon. Ratusan peserta dari seluruh penjuru dunia datang. Ribuan pula penontonnya. Mungkin malah jutaan sebab kejuaraan ini juga disiarkan ke seluruh penjuru dunia oleh jaringan televisi olah raga terkemuka semacam Fox Sport atau BeINSpot.

Peserta Escape From Alcatraz Triathlon terjun ke laut dalam satu momentum pada kejuaraan ini tahun lalu.
Peserta Escape From Alcatraz Triathlon terjun ke laut dalam satu momentum pada kejuaraan ini tahun lalu. (www.escapealcatraztri.com)

Namun triathlon bukan jawaban atas penilaian ketidakbermanfaatan Festival Danau Toba. Silakan Pak Gubernur merancang kejuaraan Triathlon. Saya percaya, jika dikelola benar secara profesional; terutama dengan modal kondisi alam Danau Toba yang sungguh ciamik, kejuaraan ini bakal melejit cepat dan dapat berdiri sejajar Ironman 70.3 Hawaii, atau bahkan kejuaraan triathlon dengan tingkat kesulitan tertinggi di dunia (4.5/5), Alaskaman Extreme.

Persoalannya, sekali lagi, triathlon adalah olah raga. Sedangkan Festival Danau Toba bernyawakan seni budaya. Keduanya mesti dilihat dari sudut pandang berbeda, dan oleh sebab itu, triathlon tak dapat disodorkan sebagai pengganti Festival Danau Toba.

Lantas bagaimana? Hemat saya, festival ini mesti dipertahankan. Namun di lain sisi harus dirombak secara total, khususnya kemasan.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved