Ngopi Sore

Homo Koruptorensis di Sekitar Kita

Bertahun pascareformasi, pencuri-pencuri kecil meningkat jadi pencuri besar dan di belakangnya lahir pencuri-pencuri kecil yang lain.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUNNEWS/JEPRIMA
WALI Kota Medan, Dzulmi Eldin (tengah), menaiki tangga di Gedung KPK, Jakarta, saat akan menjalani pemeriksaan, Rabu (16/10). Eldin ditangkap berdasarkan pengembangan OTT yang dilakukan KPK terkait dugaan kasus suap. 

Sebelum tanggal itu, hanya mereka yang berada dalam lingkaran pencuri besar yang bisa ikut mencuri dalam jumlah besar. Mereka yang berada di luar lingkaran hanya bisa mencuri sekadarnya. Mencuri kecil-kecilan. Menyarukannya dengan diksi-diksi semacam 'uang minum' atau 'uang rokok' atau 'uang semir', atau pelincin-pelicin lain, dengan atau tidak mengatasnamakan kata sakti yang pada waktu itu mendengarnya saja sudah bisa bikin dengkul gemetar; 'pembangunan'.

Namun, tanggal itu, kita pun kemudian tahu, adalah juga momentum lahirnya pencuri kecil. Banyak sekali pencuri kecil yang terus bertumbuh dan beranak pinak. Bertahun pascareformasi, pencuri-pencuri kecil meningkat jadi pencuri besar dan di belakangnya lahir pencuri-pencuri kecil yang lain. Membentuk satu spesies baru: Homo Koruptorensis. Manusia Koruptor.

Tahun 2003, di era kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri, KPK dibentuk. Tujuannya tiada lain tiada bukan adalah untuk memutus mata rantai kehidupan Homo Koruptorensis. Membuatnya punah sebenar-benarnya punah serupa Dinosourus atau manusia-manusia kera yang menurut Charles Darwin merupakan cikal-bakal kita.

Enam belas tahun berselang, Homo Koruptorensi ternyata tak punah juga. Sama sekali tidak. Malah makin bertambah-tambah. Homo Koruptorensi sekarang berada lebih dekat di sekitar kita. Seperti dalam Pesta Para Pencuri, mereka bermuslihat secara terang-terangan. Tanpa malu-malu. Mereka korupsi tiap hari. Besar, kecil, disikat tak pandang bulu, membuat siapa pun kini mulai percaya bahwa korupsi di jajaran aparatur pemerintahan --dan pihak-pihak yang berada di lingkaran mereka-- sudah menjadi kelaziman. Tidak korupsi justru keanehan.

WALI Kota Medan, Dzulmi Eldin, tiba di kantor KPK di Jakarta, Rabu (16/10). Eldin ditangkap dalam pengembangan OTT KPK diduga terkait kaus suap.
WALI Kota Medan, Dzulmi Eldin, tiba di kantor KPK di Jakarta, Rabu (16/10). Eldin ditangkap dalam pengembangan OTT KPK diduga terkait kaus suap. (TRIBUNNEWS/JEPRIMA)

Pertanyaannya, mengapa bisa demikian? Bukankah sudah ada KPK? Ratusan orang telah ditangkap karena korupsi. Mereka dicokok, diperiksa berjam-jam, dipamerkan di depan publik dengan balutan busana khusus, lalu dihukum.

Sampai hari ini, penangkapan terus dilakukan. Termasuk dua kepala daerah dalam dua hari terakhir, Bupati Indramayu dan Wali Kota Medan. Apakah penangkapan mereka akan mengakhiri korupsi di negeri ini?

Saya pastikan tidak. Korupsi akan terus terjadi. Apakah lantaran KPK sekarang diributi? Tidak juga. Toh tanpa diributi pun Homo Koruptorensis tak kunjung mati. Lantas kenapa?

Barangkali ini jawabannya. Mamad korupsi, tetapi dia bukan koruptor. Ia mencuri. Namun ia bukan pencuri. Dalam Pesta Para Pencuri, disebut, saat menciptakan seorang pencuri, Tuhan mengambil dari mereka apa yang menjadi penanda seorang manusia jujur, yakni kehormatannya.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved