Breaking News

Ngopi Sore

Homo Koruptorensis di Sekitar Kita

Bertahun pascareformasi, pencuri-pencuri kecil meningkat jadi pencuri besar dan di belakangnya lahir pencuri-pencuri kecil yang lain.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUNNEWS/JEPRIMA
WALI Kota Medan, Dzulmi Eldin (tengah), menaiki tangga di Gedung KPK, Jakarta, saat akan menjalani pemeriksaan, Rabu (16/10). Eldin ditangkap berdasarkan pengembangan OTT yang dilakukan KPK terkait dugaan kasus suap. 

Penjeratan sejumlah pejabat negara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sepekan terakhir, melesatkan sejumlah asumsi. Tentu saja di antaranya ada yang menyinggung perihal Undang Undang (UU) KPK dan polemik yang mengiringinya.

KPK disebut hendak "unjuk kekuatan". Disebut pula hendak "memamerkan" kinerja. Semacam, "lihatlah ini, kalau UU KPK tidak di-Perppu, para pejabat korup seperti ini akan lenggang kangkung."

Namun saya tak hendak membahas ini. Saya cuma mau menceritakan ulang dua kisah. Pertama tentang Si Mamad. Satu nama yang "disederhanakan" Sjuman Djaja dari Ivan Dmitritch Tchervyakov, pegawai pemerintahan Rusia dalam cerita Anton Chekov, The Death of a Government Clerk.

Seperti Ivan Tchervyakov, Mamad adalah pegawai negeri juga. Pegawai kecil bergaji kecil. Gaji yang ia terima tiap akhir bulan jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keseharian keluarganya. Mamad banting tulang untuk menutup lubang ini. Tak cukup juga, dan oleh sebab itulah, suatu hari, dia korupsi.

Setidaknya begitu menurut anggapannya sendiri. Rekan-rekannya sesama pegawai, juga atasannya, beranggapan sebaliknya. Dalam penilaian mereka, Mamad tidak melakukan korupsi. Mereka justru menertawakan Mamad. Menganggapnya bodoh. Terlalu jujur. Boleh jujur, jangan terlalu. Sebab jujur yang keterlaluan, lebih dekat pada kebodohan, kata mereka.

Mamad ikut tertawa. Berusaha membenarkan anggapan kawan-kawan dan atasannya. Sempat ia lega. Namun sebentar saja. Ia kembali didera rasa bersalah. Mamad merasa, tindakannya mengambil setumpuk kertas bekas dari kantor, tanpa sepengetahuan atasan, lalu menjualnya untuk dibelikan beras, memang sebenar-benarnya tindakan korupsi.

Mamad merasa telah mengambil 'yang bukan hak baginya'. Kertas-kertas itu, meski bekas, dan telah menumpuk setengah berdebu seperti benda-benda tak terpakai, tetap merupakan barang milik negara dan hanya negara yang memiliki hak atasnya. Mengambilnya berarti mencuri. Besar atau kecil, mencuri tetap mencuri. Korupsi tetap korupsi.

Tak tahan dikejar-kejar perasaan bersalah, Mamad kembali mendatangi atasannya (yang sebelumnya telah ia datangi dan menertawakannya keras sekali), dan minta dihukum. Tatkala sang atasan menolak, ia kembali datang. Lagi dan lagi.

Siapa yang pernah menonton Si Mamad, film Sjuman Djaja produksi tahun 1973, atau membaca cerita Anton Chekov, tahu bagaimana kisah ini berakhir. Mamad dianggap mengganggu ketenangan dan ketentraman kerja pegawai-pegawai lain dan dipecat dari pekerjaannya. Ia pun menganggur. Ia terpukul, sakit secara fisik dan psikologis, lalu mati, meninggalkan istri dan tujuh anak.

Bagi Mamad, bukan kematian benar yang membuatnya bersedih. Mamad, sehari sebelum kematian, betul-betul tiba pada kesedihan yang paripurna. Kepada istrinya, kepada anak- anaknya, Mamad meminta maaf karena ia terpaksa meninggalkan mereka, sebagai suami dan ayah yang melakukan korupsi.

Tangkapan gambar dari film Si Mamad yang disutradarai Sjuman Djaja.
Tangkapan gambar dari film Si Mamad yang disutradarai Sjuman Djaja. (cinejour.com)

Kisah kedua tentang Lady Hurf, janda kaya di Kota Vichy, Perancis, dan tiga pencuri yang hendak menguras hartanya. Selain tiga pencuri ini; Peterbono, Hector, Gustave, ada dua orang lain yang punya rencana serupa. Bedanya, mereka melakukannya dengan cara lebih elite.

Dua orang ini, Dupont-Dufort Tua dan Dupont-Dufort Muda; ayah dan anak, menyaru sebagai pemilik bank. Dupont-Dufort Tua memanfaatkan anaknya, Dupont-Dufort Muda, yang tampan untuk memikat Eva, keponakan Lady Hurf. Sedangkan keponakan Lady Hurf yang lain, Juliette, untuk tujuan yang sama dipancing Gustave, maling yang juga tak kalah tampan. Juliette jatuh cinta pada Gustave. Demikian pula Eva pada Dupont-Dufort Muda. Dan dalam kekisruhan, Lord Edgard, lelaki kekasih Lady Hurf, berupaya mengambil kesempatan.

Rencana-rencana busuk ini dipapar dengan ciamik oleh Jean Anouilh dalam Le Bal des Voleurs. Tahun 1976, Asrul Sani mengalihbahasakannya ke Indonesia menjadi Pesta Para Pencuri. Kontradiktif dari Mamad, tidak seorang pun dalam lakon ini yang peduli pada kejujuran. Padahal mereka menampilkan diri sebagai orang-orang terhormat. Dalam balutan busana yang serba necis, mereka justru secara terbuka memamerkan ketidakjujuran. Tipu daya. Siasat dan muslihat.

Termasuk Lady Hurf sendiri. Perempuan itu, secara ajaib, malah menikmati kelicikan-kelicikan yang berkelindan di sekitarnya dan berupaya mengendalikannya sedemikian rupa, dengan siasat dan muslihat yang tak kalah aduhai. Ia menikmati tiap-tiap kegagalan muslihat para pencuri.

Walau tak persis-persis amat, Pesta Para Pencuri bisa dikorelasikan dengan Indonesia pascareformasi. Tanggal 21 Mei 1998 menjadi momentum seorang pencuri besar diturunkan dari gelanggang. Momentum berakhirnya dominasi dalam mengambil 'yang bukan hak baginya'.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved