Ngopi Sore

Kado Pahit Hari Bumi dan Desan Ungkap Tragedi Air Keras

Nun jauh di seberang Negeri Paman Sam ini, sejumlah orang dari Bumi Pertiwi juga turut menyuarakan hal yang sama.

Penulis: Tulus IT | Editor: Randy P.F Hutagaol
IST/KOLASE TRIBUNWOW
Kapolda Metro Jaya Irjen Mochammad Iriawan saat menjenguk penyidik KPK Novel Baswedan di Rumah Sakit Mitra, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (11/4/2017). Insert kanan luka akibat air keras di wajah Novel. 

Anak negeri harus sadar; kejahatan korupsi sudah fasih terorganisir. Anak negeri harus sadar; Gajah Sumatra sudah di ambang punah.

Jumlah Gajah Sumatra atau Elephas Maximus Sumatrensis diperkirakan tak lebih dari 3.000 ekor atau 2.800 ekor pada 2007. Kemudian ditemukan menyusut jadi sekitar 1.800 ekor pada 2014.

Kondisi ini harus menjadi perhatian. Tak hanya bagi orang Indonesia, namun semua umat manusia. Satu lagi spesies hewan cerdas sedang terancam punah dari muka bumi. Spesies yang semestinya mendapatkan kesempatan hidup yang sama di bumi. Planet tua yang bukan sepenuhnya milik umat manusia.

Pokok persoalan sudah jauh-jauh hari diperhitungkan sekaligus diperingatkan. Di mana-mana nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dibuat. Perjanjian bersama pun terus diteken. Berbagai kampanye cinta lingkungan dan satwa juga terus nyaring seliweran. Tak lupa donasi tentunya tetap mengalir deras dari penjuru arah, baik dari dalam maupun luar negeri. Baik langsung melalui pemerintah, maupun melalui pintu dan jendela lain.

Namun fakta berbicara. Hingga kini, segala upaya itu belum berhasil mengubah keadaan. Penggerusan terhadap habitat Gajah Sumatra dan satwa langka lainnya terus berlangsung.

Lantas siapa yang salah?

Pemerintah dengan segala regulasi yang belum benar? Atau regulasinya yang belum dijalankan dengan benar? Bagaimana dengan penegakkan hukumnya? Atau perusahaan perkebunan? Manusianya? Atau mungkin Gajahnya?

Untuk kenyataan pertama, mencari siapa yang salah tentu bukan solusi. Tapi, apakah kita harus berdiam diri setelah berhasil menghadiahkan kado pahit buat dunia pada peringatan Hari Bumi ini?

Pemerintah, masyarakat, termasuk saya, layak merenung dan berbuat. Jangan lagi menutup mata dan berpura tuli; luas hutan yang ditetapkan melalui peraturan menteri tidak seutuhnya sama dengan kenyataan di lapangan. Upaya perlindungan kawasan hutan masih sangat minim. Terbukti dengan sedikitnya personel polisi hutan dan petugas penjaga kawasan hutan.

Kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah acap kali tidak sepenuhnya mendukung upaya konservatif, baik perlindungan maupun pelestarian hutan. Tak jarang masyarakat perbatasan hutan menghadapi konflik dengan gajah liar.

Ada kepentingan yang jauh lebih besar; meraup keuntungan dari sektor perkebunan. Penggerusan kawasan perbatasan hutan tak terbendung. Mafia di mana-mana, dari kelas teri sampai kelas jumbo ada di sini. Negara ini seperti tak berdaya menghadapi persoalan hutan.

Beralih ke kenyataan kedua. Pihak penegak hukum dituntut berani mengungkap siapa dalangnya. Penegak hukum juga ditunggu bersikap arif dan bijaksana tanpa tersentuh intervensi pihak yang hendak melawan dan melemahkan lembaga anti rasuah ini.

Anak negeri sudah muak. Anak negeri tak akan lupa drama nan apik yang menjungkirbalikkan semangat anti korupsi; mulai Antasari Azhar hingga Abraham Samad.

Anak negeri menunggu tegaknya keadilan. Itu harus. Harus diwujudkan bila pihak penegak hukum tak ingin terus ditertawai dan dicemooh seperti badut yang membantah gagal melestarikan Gajah Sumatra, seperti perwira yang menganggap penyiraman air keras sebatas perkara bisnis online shop.

Nanda F. Batubara

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved