Ngopi Sore
Kado Pahit Hari Bumi dan Desan Ungkap Tragedi Air Keras
Nun jauh di seberang Negeri Paman Sam ini, sejumlah orang dari Bumi Pertiwi juga turut menyuarakan hal yang sama.
Penulis: Tulus IT | Editor: Randy P.F Hutagaol
BUMI, planet yang mengitari Matahari dari belakang Venus ini disebut sudah tua.
Berdasarkan penelitian ilmiah tim ahli geokimia Universitas California, Los Angeles (UCLA), bumi setidaknya sudah ada sejak 4,1 miliar tahun silam. Sedangkan penelitian lain menyebut bumi sudah berumur 4,5 miliar tahun. A
da juga yang mengemukakan teori berdasarkan hukum termodinamika, bahwa bumi baru berusia ratusan juta tahun. Pendapat Ini dilontarkan fisikawan William Thomson atau Lord Kelvin pada 1862 silam.
Perkiraan para ilmuan dengan segala bukti-buktinya tersebut belum termasuk perkiraan usia bumi bila dikaji dari sudut pandang kepercayaan dan agama manusia.
Bisa saja berbeda-beda. Namun, yang pasti bumi sudah ada jauh hari sebelum penemuan nan menggemparkan KPK; kasus mega korupsi proyek e-KTP.
Terlepas dari berapapun usianya, bumi hingga detik ini masih menjadi satu-satunya wadah bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Belum ada yang dapat menggantikan posisi itu, meskipun sejumlah penelitian teranyar menggemborkan temuan planet lain yang memiliki unsur menyerupai bumi. Namun yang jelas, mimpi memiliki bumi baru belum dapat diwujudkan manusia sampai kini.
Manusia, mau tak mau, terus didorong agar semakin sadar dengan kondisi ini; bumi sudah tua. Gagasan demi gagasan pun mencuat, hingga timbul ide mengampanyekan aksi konservatif terhadap bumi. Umat manusia diajak lebih peduli dan menghargai bumi dengan segala isinya.
Pergerakan pun memuncak. Gelombang orang turun ke jalanan Amerika Serikat pada 22 April 1970 silam. Aksi ini akhirnya diperingati sebagai Earth Day atau Hari Bumi.
Nun jauh di seberang Negeri Paman Sam ini, sejumlah orang dari Bumi Pertiwi juga turut menyuarakan hal yang sama. Peringatan ini konsisten digelar sejumlah elemen tiap tahunnya.
Berbagai aksi bermunculan jelang dan saat Hari Bumi diperingati pada 22 April. Tahun ini, Peringatan Hari Bumi jatuh pada Sabtu lalu, tepatnya empat hari sebelum seekor Gajah Sumatra liar ditemukan tewas akibat jeratan di areal kebun PT PISS, Dusun Pancasila, Desa Mekar Makmur, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumut.
Atau lima hari sebelum seekor Gajah Sumatra sekarat usai belalainya dipotong di kawasan Dusun Munte, Gampong Ekan, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Gajah betina itu mati meninggalkan bayi mungil pada keesokannya, yakni pada hari yang bersamaan saat ditemukannya Gajah Sumatra malang di Kabupaten Langkat tersebut.
Miris bin ngenes. Sebagian orang merasa campur aduk atas kondisi ini. Sedih, tentu saja. Bukan karena peristiwa ini terjadi jelang Peringatan Hari Bumi. Namun lebih kepada cara kedua gajah tersebut tewas.
Perasaan miris bin ngenes ini tak berhenti di situ. Sebagian orang di negeri tercinta ini bahkan hampir (atau sudah) gila. Sebab, tidak cuma terancam kehilangan anugerah berupa satwa luar biasa, namun juga terancam mengalami degradasi persatuan dan kesatuan dalam bingkai negara. Bangsa ini konsisten diterpa cobaan demi cobaan.
Belum seutuhnya pulih dari cobaan yang satu, muncul cobaan lain. Publik kembali dikejutkan dengan kenyataan lain. Semangat penumpasan korupsi di negeri ini kembali diuji. Novel Baswedan, penyidik KPK untuk kasus korupsi proyek yang disebut-sebut melibatkan sejumlah nama besar itu, disiram air keras tepat di wajahnya. Miris bin ngenes, bukan?
Tulisan ini sama sekali bukan lelucon menyamakan Novel Baswedan dan Gajah Sumatra. Namun sekadar peringatan bahwa dua harta berharga yang dimiliki bangsa ini sedang terancam. Tragedi Novel telah digadang sebagai simbol perjuangan menumpas korupsi saat ini. Sedangkan Gajah Sumatra adalah simbol kekayaan alam Indonesia yang kini sedang di ujung tanduk.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/novel_baswedan_20170412_110351.jpg)