Ngopi Sore

Kenapa Rocky Gerung Berani Sekali Memaki Presiden?

Rocky Gerung kembali bikin ramai. Kali ini, ia dianggap menghina presiden. Apakah kali ini ia akan terkerat, atau seperti sebelumnya lolos lagi?

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
warta kota/henry lopulalan
Foto dokumentasi Rocky Gerung usai memenuhi panggilan kepolisian di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, 4 Desember 2018, terkait berita bohong penganiayaan Ratna Sarumpaet. Rocky Gerung saat ini kembali menjadi sorotan usai dianggap melakukan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo. 


KOMENTATOR politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia dan akhirat, Rocky Gerung kembali menjadi sorotan. Rocky, dalam satu acara; saat tampil sebagai pembicara di forum buruh Aliansi Aksi Sejuta Buruh pada 29 Juli di Kota Bekasi, memaki Presiden [Joko Widodo a.k.a Jokowi] dengan sebutan 'bajingan', 'tolol' dan 'pengecut' saat membahas perihal Ibu Kota Nusantara (IKN).

Atas kata-kata ini Rocky dikecam. Sejumlah pihak melaporkannya ke polisi dengan tudingan melakukan penghinaan, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian. Pasal yang hendak dijeratkan kepada Rocky adalah UU ITE dan Pasal 156 KUHP.

Namun sampai sejauh ini, pelaporan-pelaporan belum ada yang diteruskan dengan tindakan hukum oleh pihak berwenang. Polisi menolak laporan lantaran alasan tidak memenuhi unsur.

Baik, sementara tepikan dulu perihal ini. Hukum seringkali kelewat membingungkan; nisbiah, hingga –seringkali pula– dijadikan celah oleh mereka yang paham untuk lepas dari jeratan.

Rocky Gerung satu di antaranya. Sulit menghitung berapa banyak sudah kata-kata keras menjurus kasar, bahkan kotor, melesat dari mulutnya [tak terkecuali yang berkaitpaut dengan agama] tapi sampai detik ini ia selalu lolos dari penanganan hukum. Rocky selalu punya jawaban. Selalu punya kilah. Langkahnya sungguh canggih. Ia menari menandak-nanda dalam jarak yang dekat sekali dengan pisau hukum dan tidak pernah tergores.

Kali ini pun mungkin begitu. Rocky, dalam argumentasinya pascapernyataannya melecutkan heboh, menyebut kata ‘bajingan’, ‘tolol’, dan ‘pengecut’, merupakan kata-kata biasa saja. Bukan bentuk makian. Dan kalau pun dianggap begitu, dia tidak memaksudkannya untuk Jokowi sebagai manusia, bahkan menurutnya sama sekali tak berkorelasi dengan Jokowi, melainkan menyasar presiden sebagai lembaga negara.

Manusia, bilang Rocky, memiliki martabat dan oleh sebab itu punya hak untuk marah apabila merasa dimaki. Sebaliknya presiden adalah lembaga eksekutif yang memiliki fungsi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, hingga tidak memiliki martabat selayaknya martabat manusia. Presiden tidak boleh marah ketika mendapatkan kritik. Sekali pun kritik ini sangat pedas.

"Saya dilaporkan? Siapa yang laporin? Pak Jokowi? Pasti Pak Jokowi enggak akan laporin. Karena ini bukan delik kejahatan, ini delik aduan. Ini Jokowi juga ngerti, ini relawannya ngapain sih kok ngelaporin, dia aja enggak laporin kok," kata Rocky.

Tangkapan layar youtube saat Rocky Gerung berbicara dalam acara forum buruh Aliansi Aksi Sejuta Buruh, 29 Juli 2023
Tangkapan layar youtube saat Rocky Gerung berbicara dalam acara forum buruh Aliansi Aksi Sejuta Buruh, 29 Juli 2023 (youtube)

Para pelapor tak sepandangan. Mereka menganggap kata-kata Rocky tidak dapat dilepaskan dari Jokowi sebagai pribadi. Sebab dalam rangkaian kalimatnya, Rocky menyertakan nama 'Jokowi'.

Seperti ini lengkapnya: "Begitu Jokowi kehilangan kekuasaan dia jadi rakyat biasa, nggak ada yang peduli nanti. Tapi ambisi Jokowi adalah pertahankan legacy. Dia masih ke Cina nawarin IKN. Masih mondar-mandir dari ke koalisi ke koalisi lain, cari kejelasan nasibnya. Dia pikirin nasibnya sendiri, dia nggak pikirin kita. Itu bajingan yang tolol. Kalau dia bajingan pintar, dia mau terima berdebat dengan Jumhur Hidayat, tapi bajingan tolol sekaligus pengecut. Bajingan tapi pengecut."

Mari kita tilik lebih dalam. Pertama kilah Rocky bahwa kata 'bajingan', 'tolol', dan 'pengecut' merupakan kata biasa saja. Bukan kata makian. Dia merunutkan kata 'bajingan' ini jauh ke zaman Kerajaan Majapahit, menyebut kata itu memiliki makna 'orang yang dicintai Tuhan'. Makna lain, bajingan adalah kusir gerobak sapi.

Rocky benar sekali. Dalam literatur-literatur Jawa Kuno, kata 'bajingan' memang benar merujuk pada kusir gerobak sapi. Paparannya bisa dibaca di buku Perancangan Buku Nilai Sejarah Dan Filosofi Mataram Islam Pada Gerobak Sapi oleh Desanti Arumingtyas Dyanningrat, publikasi tahun 2018. Bahkan ada penjelasan bahwa 'bajingan' pada dasarnya adalah singkatan dari 'bagusing jiwo angen-angening pangeran’, yang artinya 'orang baik yang dicintai Tuhan'.

Namun Rocky menepikan satu perkara penting yakni pergeseran makna. Banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia yang mengalami pergeseran makna dari makna awalnya. Termasuk 'bajingan'. Multatuli dalam buku Max Havelaar (terbit 1860) menulis: "Nak, jika mereka memberitahumu bahwa aku adalah bajingan yang tidak memiliki keberanian melakukan keadilan, bahwa banyak ibu yang meninggal karena kesalahanku…"

Kalimat Multatuli jelas mengindikasikan kata 'bajingan' bukan lagi bermakna 'orang baik yang dicintai Tuhan'. Kata 'bajingan' telah disiratkan bertendensi negatif, dan makin ke sini, memang makin kuat ke arah negatif. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatatnya dalam dua pemahaman yaitu (1) penjahat; pencopet, dan (2) kurang ajar (kata makian).

Sampai di sini, apakah Rocky Gerung bisa berkeras tetap menggunakan pemaknaan lama? Tentu tidak. Sekarang bukan lagi zaman Majapahit. Bajingan sebagai 'orang baik yang dicintai Tuhan' tak dapat digunakan lantaran dalam keseharian orang-orang Indonesia di mana pun (bukan hanya di Jawa), bajingan sekarang adalah penjahat, pencopet, dan/atau orang kurang ajar.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved