Ngopi Sore

Inara Rusli, Komedi, dan Penghargaan Konyol Negeri +62

Penghargaan adalah perwujudan pengakuan dan semestinya diterima dengan senang. Dalam kasus Inara Rusli, yang terjadi kebalikannya. Senyumnya canggung.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
instagram
PENGHARGAAN - Inara Rusli saat menerima penghargaan dari satu stasiun televisi di Jakarta, kemarin. Inara menerima penghargaan terkait kehidupan asmaranya yang menghebohkan. 

INARA Rusli diundang menghadiri acara penghargaan yang digelar satu stasiun televisi swasta dan ia terperanjat tatkala diumumkan sebagai pemenang. Iya, sungguh sangat wajar, sebab orang waras manapun juga akan merasakan hal serupa.

Inara barangkali saja memang masih waras. Berselang detik setelah menunjukkan gestur layaknya orang terkejut, ia naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan itu. Air mukanya kelihatan kaku –walau dipaksakan untuk tersenyum. Inara kemudian mengucapkan kalimat pendek yang menyiratkan kebingungan.

"Sejujurnya aku nggak tahu harus sedih atau senang."

Penghargaan galibnya diterima dengan perasaan senang. Secara hakikat, penghargaan adalah perwujudan pengakuan. Namun dalam kasus Inara, pengakuan ini justru menjadi nisbiah. Malam itu, Minggu 2 Juli 2023, di atas panggung megah bertabur cahaya lampu berkilauan, ia didapuk sebagai pemenang kategori 'Kehidupan Tersilet' dan 'Asmara Tersilet'.

Alahai... Siapa pun yang mengikuti silang-sengkarut panggung hiburan Tanah Air pasti tahu siapa Inara Rusli. Mereka yang sedikit lebih intens mengikuti akan tahu bahwa perempuan ini pernah tergabung dalam grup vokal atawa girlband bernama Bexxa. Mereka yang sekadar saja, yang lebih sedang pada perkara-perkara berbau gosipi, mengenalnya sebagai istri Virgoun Putra Tambunan, vokalis band Last Child.

Inara, setelah keluar dari Bexxa, nyaris tidak pernah muncul ke permukaan. Ia menghilang dari keramaian panggung hiburan. Ia jadi ibu rumah tangga, memposisikan diri betul-betul sebagai perempuan rumahan, mengenakan cadar, sampai terbetik kabar rumah tangganya dengan Virgoun goyah lantaran dugaan sikap tidak setia sang suami.

Riak-riak kemudian menjelmakan “huru-hara”. Bukan cuma Inara dan Virgoun yang saling lempar opini, orang-orang yang berada di pihak mereka, keluarga dan bukan keluarga, ikut turun meramaikan gelanggang. Ramai dan riuh sekali, dan nyaris semuanya, dilesatkan sebagai konsumsi publik. Termasuk momentum ketika Inara memutuskan untuk melepas cadar demi alasan dirinya mesti mencari nafkah untuk anak-anaknya.

Momentum saat Inara Rusli melepaskan cadar yang ia kenakan dalam satu konferensi pers di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Momentum saat Inara Rusli melepaskan cadar yang ia kenakan dalam satu konferensi pers di Jakarta, beberapa waktu lalu. (tribunnews)

Tentu saja keputusan Inara ini tidak boleh disalahkan. Terus memakai atau melepas cadar, lalu tampil dan beredar di berbagai panggung dan mendapatkan popularitas [termasuk barangkali yang berkaitpaut dengan finansial], merupakan hak dia sepenuhnya, siapa pun tidak berhak mencampuri.

Begitu juga sikap-sikap Virgoun, sikap-sikap keluarga dan orang-orang yang mendukungnya. Pendek kata, gunjang-ganjing rumah tangga mereka adalah urusan mereka sendiri.

Sampai di sini tidak ada yang aneh. Keanehan baru muncul tatkala atas segenap silang sengkarut jungkir balik kekisruhan rumah tangganya ini Inara Rusli justru mendapatkan penghargaan kategori 'Kehidupan Tersilet' dan 'Asmara Tersilet'.

Pertanyaannya, dasar atau tolok ukur macam apa dari kehidupan dan asmara Inara yang membuatnya terpilih sebagai "pemenang"?

Saya tidak tahu. Namun paling tidak kita bisa membuat perbandingan. Dalam hal ini, "kemenangan" Inara berbeda dibanding kemenangan Eric Clapton pada Grammy Award 1993. Clapton memenangkan tiga penghargaan (Best Pop Vocal Performance Male, Song of the Year, dan Record of the Year) untuk lagu berjudul Tears in Heaven.

Ini lagu yang sangat personal. Pada 20 Maret 1991, anak Clapton yang berusia empat tahun, Conor, meninggal dunia setelah terjatuh dari lantai 53 satu apartemen di New York, Amerika Serikat.

Clapton dihantam kesedihan mendalam yang membuatnya menyepi selama lima bulan. Ia bekerja kembali setelah diminta Lili Fini Zanuck, Gary Daigler, dan Richard D. Zanuck untuk menggarap musik di film yang mereka produksi, Rush. Lagu Tears in Heaven yang berkisah perihal kehilangannya atas Conor muncul di film ini.

Dalam beberapa wawancara, Clapton mengatakan dia membuat Tears in Heaven untuk dirinya sendiri. "Saya menjadikannya pelarian untuk sedikit mengurangi kesedihan. Saya sungguh merasa kehilangan. Saya tidak tahu kenapa kemudian saya memberikannya untuk film (Rush). Saya tidak pernah berharap lagu ini disukai orang," katanya.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved