Ngopi Sore
Perkara Nyinyir yang Membunuhmu
Luka di perut Wiranto bisa sembuh cepat. Luka psikologis tidak. Luka justru bisa makin parah. Dan saat sudah tak tertahankan maka ujungnya kematian
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Ada satu kata yang sedang jadi tren, 'nyinyir'. Apakah 'nyinyir' itu? Seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nyinyir memiliki makna 'mengulang-ulang perintah atau permintaan'. Padanannya: 'nyenyeh' atau 'cerewet'.
Sekiranya Anda punya waktu, Anda bisa sejenak berhenti di sini lalu membuka laman KBBI V di internet. Anda akan mendapati contoh kata itu dalam kalimat: "nenekku kadang-kadang nyinyir, bosan aku mendengarnya".
Apakah ini berarti kata 'nyinyir' hanya cocok untuk mengejawantahkan sikap dan perilaku nenek-nenek (atau katakanlah kelompok usia uzur)? Barangkali awalnya dimaksudkan demikian. Terutama apabila sudut pandangnya didekatkan dengan dua kata padanannya tadi.
Sejak lama, orang-orang dari kelompok usia uzur, tidak laki-laki tidak perempuan, memang kerap diasumsikan lekat dengan 'kenyenyehan' atau 'kecerewetan'. Di Medan, kata 'nyinyir' yang dalam hal ini bersepadan dengan 'cerewet', punya sebutan lain: 'repet'. Kata kerjanya, 'merepet'. Dan selain nenek-nenek, pelakunya adalah juga 'mamak- mamak'. Atau dalam istilah Sandiaga Uno yang sempat jadi sangat populer, 'emak-emak'. Contoh kalimatnya: "merepet saja kerja kau kayak mamak-mamak".
Kata 'nyinyir' ini sendiri sesungguhnya belum lama masuk KBBI. Baru pada KKBI edisi V. Pada edisi IV, terutama edisi cetak yang terbit pertama kali tahun 2011, 'nyinyir' belum dicatat sebagai lema. Meski bigitu, kata 'nyinyir' ternyata begitu cepat mengalami pergeseran makna. Setidaknya makna keseharian. Makna yang terbentuk di tengah masyarakat.
Makna itu bukan lagi sekadar 'mengulang-ulang perintah atau permintaan', atau 'nyenyeh' atau 'cerewet'. Makna 'nyinyir' telah bergeser menjadi 'suka (dan/atau doyan) menyindir', bahkan lebih jauh, 'mencela'. Yaitu 'menyindir' atau (dan) 'mencela' secara berulang-ulang. Baik secara langsung atau lisan, maupun dengan tulisan, khususnya yang disampaikan melalui media sosial.
Sebagai wartawan yang sehari-hari menulis dengan KBBI, antara lain, sebagai patron, tentu saja saya masih tetap berpegang pada makna awal. Namun makin ke sini, saya, kok, ya mulai merasa terpengaruh. Terpapar mungkin belum, tapi terpengaruh iya. Saya pelan-pelan mengamini bahwa 'nyinyir' kini bukan lagi cuma 'cerewet'. Levelnya sudah berbeda. Sudah meningkat.
Dalam makna 'cerewet', kata 'nyinyir' berhenti pada sifat yang berangkat dari dalam diri. Bawaan badan yang disebabkan faktor genetik atau usia yang merangkak tua. Namun 'nyinyir' dalam pengertian 'menyindir' atau 'mencela', tidak. Ada dorongan lain untuk melakukannya, terlebih- lebih melakukannya secara konsisten berkesinambungan.
Paling besar tentu saja dorongan perasaan tidak senang. Perasaan benci. Perasaan yang lahir lantaran sebab-sebab tertentu pula. Entah mendongkol. Entah kecewa, entah marah. Pastinya, pada tingkatannya yang paling akut, 'nyinyir' hampir tidak bisa lagi dibedakan dengan 'risak' atau 'rundung' --alih bahasa untuk istilah 'bully'. Pelaku-pelakunya tanpa sadar melakukan penistaan terhadap objek yang jadi sasaran kenyinyiran mereka.
Ambil contoh kasus mutakhir, penusukan terhadap Jenderal (Purnawirawan) Wiranto. Halaman- halaman media sosial bertaburan 'nyinyir' yang bukan 'cerewet'. Melainkan 'nyinyir' yang condong ke 'sindiran' dan 'cercaan', kepada Wiranto, kepada Presiden Jokowi, dan kepada siapa pun yang dianggap berpihak pada keduanya.
Saya tak hendak membahas lebih jauh perihal kenyinyiran terhadap Pak Wiranto ini. Tak ada faedahnya. Pula demikian perihal ribut-ribut isu RUU KPK dan RUU KUHP. Hanya menambah- nambah kepuyengan.
Saya sekadar ingin menyampaikan, sekadar mengutarakan, bahwa sebagaimana halnya di dunia nyata, bully alias risak alias rundung di media sosial memiliki efek yang sama mematikan. Benar-benar mematikan. Dalam arti sesungguhnya. Serangan perisakan di media sosial --disebut dengan istilah cyberbullying-- meninggalkan luka psikologis. Luka yang jauh lebih sulit sembuh ketimbang luka fisik.
Luka tusukan kunai shuriken pada perut Pak Wiranto, misalnya, dengan penanganan dokter-dokter ahli bisa sembuh dalam waktu dua tiga bulan. Bahkan perawatan khusus bisa membuat sekadar bekasnya pun tidak kelihatan lagi. Luka psikologis tidak. Bisa sembuh, tapi bisa juga makin parah. Dan saat sudah tak tertahankan maka ujungnya adalah kematian.
Tidak percaya? Sejenak Anda boleh berhenti lagi di sini. Buka Google dan ketik 'Sulli' di kolom pencarian dan mudah-mudahan Anda akan jadi lebih percaya. Sulli bernama asli Choi Jin Ri. Seorang artis di Korea Selatan. Ia membintangi sejumlah film, baik layar lebar maupun televisi. Juga menyanyi. Pernah tergabung dalam girl band F(x).
Saya ceritakan sedikit tentang Sulli. Kecuali beberapa film layar lebarnya yang aduhai, pada dasarnya saya agak jarang memperhatikan dunia hiburan Korea Selatan. Namun anak saya adalah penggemar segala sesuatu yang datang dari sana. Mulai filmnya, drama layar kacanya, girl band dan boy band-nya, sampai pada acara-acara gosip yang meriah tapi bermutu rendah, yang kalau dikorelasikan ke Indonesia kurang lebih mirip semua acara yang dipandu Uya Kuya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/sulli1.jpg)