Breaking News

Ngopi Sore

Buzzer Teriak Buzzer Padahal Sama-sama Buzzer

Buzzer pada dasarnya merupakan istilah dalam aktivitas jual-beli. Istilah aslinya 'buzz marketing'. Istilah lain, 'grass-root marketing'.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
facebook.com
media sosial buzzer 

Buku ini kemudian tercatat sebagai buku dengan angka penjualan terbesar (sekaligus tercepat) sepanjang sejarah perbukuan di muka bumi. Dalam hitungan 24 jam ludes 11 juta eksemplar di Amerika Serikat dan Inggris saja. Setahun beredar, total penjualan mendekati angka 100 juta dan masih terus bertambah sampai sekarang.

Bagaimana Harry Potter and The Deathly Hallows bisa sedahsyat ini, berkorelasi kuat dengan buzz marketing. Bahkan para buzzer yang jumlahnya ribuan di seluruh penjuru dunia sudah mulai bekerja sejak JK Rowling, penulis Harry Potter, mengumumkan bahwa ia akan mengakhiri petualangan penyihir ini di seri ketujuh.

Buzzer-buzzer fokus pada sedikitnya tujuh poin yang belum terjawab di enam seri sebelumnya. Terutama mengenai dua perkara: 'apakah Lord Voldemort akhirnya bisa dikalahkan?', dan kedua, 'apakah Harry Potter akan mati?'.

Dua pertanyaan ini didengungkan terus menerus dan makin kencang setelah JK Rowling mengabarkan buku yang ditulisnya sudah selesai. Sampai di sini, pihak penerbit menurunkan siasat baru yang tak kalah ciamik. Mereka membuat aturan mengenai spoiler. Sampai bawa-bawa hukum segala. Siapapun yang memberi spoiler bisa diseret ke muka pengadilan dan dijebloskan ke penjara. Tentu saja, di sini buzzer-buzzer juga ikut bekerja.

Efek buzz yang tercipta pun sungguh "mengerikan". Di hari rilis, antrean panjang terbentuk di depan toko-toko buku. Bahkan tidak sedikit yang mendirikan tenda, menginap di depan toko, sekadar untuk memastikan bisa berada di antrean terdepan, dan menjadi orang pertama yang mendapat jawaban pertanyaan-pertanyaan itu.

media sosial
media sosial (facebook.com)

Secara resmi, nama buzzer mulai dikenal lebih luas lalu digunakan sebagai istilah umum sejak aplikasi-aplikasi media sosial, terutama Facebook dan Twitter, merajai internet.

Tidak seperti sebelumnya, di era internet, era siber, tiap orang bisa menjadi buzzer. Tatkala seseorang memiliki akun media sosial, maka saat itu juga dia telah menjadi buzzer. Minimal untuk dirinya sendiri. Minimal untuk membangun citra sebagai sosok berpengaruh bagi teman atau pengikut-pengikutnya.

Dalam hal ini, tentu, tidak ada bayaran. Selain untuk diri sendiri, buzzer tanpa bayaran ini juga bisa didapati pada fans pahlawan olahraga, klub olahraga, bintang film, penyanyi, bahkan politisi. Para buzzer bekerja sukarela demi menaikkan pamor idolanya.

Begitulah keberadaan Facebook, Twitter, menyusul kemudian Instagram dan aplikasi-aplikasi berbasis percakapan macam WhatsApp, Line, Facebook Massenger, atau Telegram, membuat kerja buzzer jadi makin efektif. Di lain sisi, kecenderungan ini membuat pelaku makin kreatif. Mereka membuka jasa untuk membantu mendongkrak pamor. Tak terkecuali dalam politik.

Pemilu Amerika Serikat sejak John F Kennedy sampai George Walker Bush Jr sebenarnya juga menggunakan buzzer --dengan namanya yang lain: rainmaker. Namun baru pada pertarungan Barrack Obama versus John McCain di tahun 2008 buzzer mendapat panggung utama. Periode kedua Obama, dilanjutkan duel Donald Trump dan Hillary Clonton, buzzer menjelma pemain yang sangat penting, pemain penentu. Sebangsa quarterback dalam formasi American Football.

Di Indonesia situasinya tidak berbeda. Sejak Jokowi kontra Fauzi Bowo di Pilkada Jakarta tahun 2012, buzzer tak bisa lagi dianggap sebagai pemain samping. Mereka naik kelas, memegang peranan besar dalam menjangkau pemilik suara potensial terbesar, yaitu kelompok pemilih muda yang rata-rata memang lebih melek teknologi dibanding kelompok pemilih berusia lebih tua.

Sampai di sini, tidak ada yang salah dengan buzzer. Mereka tetap menjalankan fungsi kerja sebagaimana digariskan; sebagai tenaga promosi.

Namun, sejak Pemilu Presiden 2014 dan memuncak pada Pilkada Jakarta 2018 dan Pemilu Presiden 2019, buzzer makin tercerabut dari akarnya. Buzzer tidak lagi menjalankan fungsi buzzer, dan oleh sebab itu, sebutan untuk mereka sejatinya telah berubah. Tak dapat lagi disebut buzzer.

Mereka tidak lagi sekadar jadi pendengung. Tidak lagi sekadar jual kecap. Mereka telah melangkah jauh merencanakan isu, mengemas dan menggelontorkan isu, bahkan membelokkan dan menjungkirbalikkan isu. Mereka secara sadar menjalankan fungsi kerja spin doctors.

Demokrasi melahirkan banyak kotoran, banyak sampah, dan satu di antaranya adalah spin doctors. Secara harfiah, frasa spin doctors sebenarnya identik dengan public relation. Pengertian yang positif, bahkan dalam fungsinya di panggung politik.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved