Ngopi Sore

Buzzer Teriak Buzzer Padahal Sama-sama Buzzer

Buzzer pada dasarnya merupakan istilah dalam aktivitas jual-beli. Istilah aslinya 'buzz marketing'. Istilah lain, 'grass-root marketing'.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
facebook.com
media sosial buzzer 

Sekonyong-konyong buzzer jadi sorotan. Di mana-mana, di dunia nyata dan jagat maya, dari ruang-ruang ber-AC sampai warung-warung kopi yang berdiri di tepi parit, orang-orang bicara buzzer. Sorotan mengarah ke Istana Negara. Buzzer istana, sebutannya.

Tentu saja tendensi sebutan ini nyelekit. Buzzer dipandang sebagai hal yang nista. Dan lantaran berkaitpaut dengan istana, yang sudah barang tentu berkenaan pula dengan Presiden Jokowi, maka tingkat kenistaannya jadi berlipat beberapa kali.

Buzzer sekonyong-konyong dicap pendosa. Dicap penjahat. Mahluk-mahluk yang dilaknat Tuhan dan karenanya telah dijamin tempatnya di neraka.

Padahal buzzer tidaklah seserius itu. Mari kita lihat. Pelan-pelan, seksama, tenang, dan kalau boleh dengan kepala yang dingin dan hati yang dingin. Ketepikan sejenak syak wasangka serta curiga.

Buzzer pada dasarnya merupakan istilah dalam aktivitas jual-beli. Istilah aslinya 'buzz marketing'. Istilah lain,  'grass-root marketing'. Yaitu upaya untuk menciptakan situasi atau kondisi tertentu agar layanan, perusahaan, atau produk yang akan diresmikan atau dilepas ke pasaran dapat menarik perhatian calon-calon konsumen. Pelakunya disebut buzzer, dan tolok ukur keberhasilan kerja mereka adalah sejauh mana efek buzz (buzz effect) dapat tercipta.

Apakah efek buzz? Seturut namanya, 'buzz', efek buzz kurang lebih bermakna efek dengung. Seperti sayap lebah atau lalat. Suara-suara yang mengganggu telinga. Bagaimana pekerjaan mereka dapat mengusik, memunculkan kehebohan, yang selanjutnya dapat mempengaruhi orang lain untuk mengubah pendirian.

Saya ambilkan dua contoh. Dua cerita. Pertama tentang Lucky Strike. Iya, benar, ini merek rokok, dan meski pun ini merek luar, bukan produk lokal yang selain tembakau juga berbahan dasar cengkeh dan kayu manis, pagi-pagi saya merasa harus minta maaf pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Saya sama sekali tidak bermaksud membuat anak-anak Indonesia terpapar rokok. Saya cuma mau menunjukkan bagaimana para buzzer bekerja.

Persisnya, buzzer dari tahun 1934, kurang lebih 35 tahun sebelum teknologi internet pertama kali dicetuskan. Atau sekitar 56 tahun sebelum dunia diperkenalkan pada apa yang sekarang kita akrabi sebagai 'www'; world wide web.

Setelah menjual produk selama setengah abad, pada awal 1930, American Tobacco Company (ATC) mencoba melirik pasar baru untuk Lucky Strike. Pasar perempuan pekerja kantoran; kelompok menengah ke atas. Namun terobosan mereka gagal, dan selidik punya selidik, penyebabnya tiada lain adalah warna hijau pada kemasannya tidak disukai lantaran bukan warna yang sedang jadi tren di panggung mode saat itu.

Alih-alih mundur, ATC justru mengambil langkah raksasa. Alih-alih mengubah warna kemasan produk, mereka malah memaksa mengubah ketidaksukaan tadi. Caranya?

ATC dan Lucky Strike melakukan "revolusi warna". Mereka membuka "biro warna" yang kerjanya antara lain memastikan warna hijau masuk ke semua lini kehidupan masyarakat menengah ke atas Amerika Serikat. Mereka, misalnya, menyelenggarakan berbagai acara yang menciptakan konsentrasi massa dan merekayasa sedemikian rupa agar warna hijau dominan di sana. Baik warna set dekorasi maupun dress code. Mereka juga menggelar atau mensponsori berbagai pertunjukan mode.

Para buzzer yang bekerja untuk ATC, juga menjadikan diri mereka sebagai iklan berjalan. Mereka menyebar ke pusat-pusat keramaian. Berpenampilan semenarik mungkin, semencolok mungkin dalam balutan busana berwarna hijau. Tentunya sembari mengisap Lucky Strike.

Akhir 1934, pekerjaan ini menuai hasil. Lucky Strike menjadi rokok favorit para perempuan Amerika Serikat. Grafik penjualan produk meningkat pesat hingga 300 persen.

Cara kerja yang sama dilakukan ATC saat mengubah warna kotak hijau tua menjadi putih bergaris merah pada tahun 1942. Ketika itu, mereka memanfaatkan perang sebagai isu utama.

Cerita kedua datang dari Inggris di tahun 2007. Persisnya bulan Januari. Enam bulan jelang penerbitan Harry Potter and The Deathly Hallows, buku ketujuh sekaligus seri terakhir penyihir Harry Potter.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved