In memoriam Bacharuddin Jusuf Habibie
Belajar Mencintai dari Habibie
Takdir kemudian menyeretnya ke politik. Namun justru dari ruang yang tak diinginkannya inilah nama Habibie dicatat dengan tinta yang lebih berkilau.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Habibie turun dari kursi kepresidenan dengan tenang dan terhormat. Satu kisah baru politik nasional setelah berpuluh tahun lamanya cuma berkutat dari muram ke muram lantaran terbelenggu keotoriteran. Habibie eksit dengan bagus sekali, memberi jalan kepada KH Abdurrahman Wahid, penerusnya yang kemudian membuat banyak gebrakan hebat; gebrakan yang juga mengambil tempat tersendiri dalam sejarah.
"Cinta itu keikhlasan. Tak ada paksaan atau pun rasa pelampiasan," kata Habibie dalam satu wawancara di televisi, beberapa tahun kemudian. Satu pelajaran perihal cinta dan mencintai yang telah tiba pada tingkatan makrifat. Cinta yang ikhlas, hingga dengan demikian, tidak perlu ada dendam.
Sebagai presiden yang dijatuhkan, Habibie tetap besar. Dia beredar di mana-mana dan orang- orang tetap memperlakukannya dengan penuh hormat. Dia menjadi tempat bertanya bagi siapa saja, termasuk para presiden. Dia menjadi tokoh di atas tokoh. Seorang empu. Seorang begawan. Bapak Bangsa.
Bacharuddin Jusuf Habibie, 11 September 2019 petang, bertepatan dengan azan Maghrib, meninggal dunia. Dia meninggalkan cintanya untuk Indonesia, menjemput cintanya yang lain; cintanya pada Ainun.
Sejak Ainun meninggal dunia sembilan tahun lalu, Habibie telah memesan sepetak tanah di sisi makamnya. Mereka kini bersama dalam keabadian menuju Surga Tuhan. Dan kita boleh mengiringinya dengan senyuman.(t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/habibie3.jpg)