Breaking News

Ngopi Sore

Siapa Mau Jadi Seperti Kevin Sanjaya?

Komisi yang melindungi anak justru menjungkirbalikkan mimpi anak? Tidakkah ini ironis? Dipandang dari kaca mata yang lugu tentu begitu.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
kompas.com
PARA pemenang audisi beasiswa bulu tangkis PB Djarum berpose usai gelaran audisi final. 

The Minions, The Daddies; julukan bagi pasangan ganda putra Hendra Setiawan dan Muhammad Ahsan, juga tentunya Jonatan 'Jojo' Christie yang tampan dan kerap membintangi iklan, telah menjelma contoh-contoh ideal kesuksesan. Di mata anak-anak Indonesia generasi terkini, mereka sama sekali tak kalah pamor, tak kalah keren, dibanding para anggota boy band Korea atau aktor-aktor film produksi Marvel.

Kevin juga alumnus audisi PB Djarum. Kalau Kevin bisa maka anak-anak lain pun pasti bisa. Demikian premisnya.

Namun hari-hari belakangan, segala bayang-bayang mimpi mendadak harus direvisi. Kevin Sanjaya mendadak menjauh. Mimpi untuk menjadi sepertinya mendadak jadi terasa kelewat tinggi. Terutama bagi anak-anak semacam Sayyed atau Satrio. Mimpi mereka terbentur tembok yang diberdirikan dengan penuh wibawa oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tembok yang didasari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Komisi yang melindungi anak justru menjungkirbalikkan mimpi anak? Tidakkah ini ironis? Dipandang dari kaca mata yang lugu tentu begitu. Namun orang-orang pintar di KPAI, dan orang-orang yang mendukung mereka, punya dasar pertimbangan berbeda. Menurut mereka, audisi yang dilakukan PB Djarum merupakan bentuk ekspoitasi anak sekaligus kampanye rokok terselubung.

Benarkah demikian? Tentu, sekali lagi, apabila dipandang dari kaca mata yang lugu, tidak akan kelihatan seperti itu. Anak-anak seperti Sayyed dan Satrio, sampai Thanos insyaf dan jadi anggota Blackpink sekali pun tidak akan pernah merasa terekspoitasi. Satrio tiga tahun bolak-balik dari Siak ke Kudus atas kemauannya sendiri. Dia datang untuk menjemput mimpi itu. Dia mengenakan kaus bertuliskan PB Djarum di bagian dada tanpa perasaan terteror. Sebaliknya, malah bangga, dan berharap dapat mengenakannya lebih lama.

Namun sekali lagi, KPAI, dan orang-orang yang mendukung mereka, punya pandangan lain. Mereka bersikeras menyebut audisi sebagai ekspoitasi anak. Dalam hal ini dilakukan oleh PT Djarum, produsen rokok terbesar sekaligus terlaris di Indonesia. Djarum, kata mereka, memaksa anak (tanpa disadari oleh anak; dan mungkin juga orang tuanya?) untuk mengkampanyekan, atau mengiklankan produk mereka, lantaran bentuk huruf 'Djarum' di baju yang dikenakan para peserta audisi, identik dengan huruf yang terdapat pada produk.

Sampai di sini, tentu menarik untuk mengetengahkan pembanding. Audisi olah raga tidak hanya dilakukan oleh Djarum pada bulu tangkis. Di sepak bola, audisi-audisi serupa dilakukan oleh bermacam perusahaan. Mulai dari susu, minuman serbuk energi, sampai biskuit. Dan sebagaimana audisi PB Djarum, seluruh peserta audisi tersebut juga mengenakan baju atau kostum yang memampangkan nama produk.

Melipir ke luar ranah olah raga, di beberapa stasiun televisi, terdapat program pencarian bakat anak. Mulai dari bakat menyanyi, akting, komedi, hingga da'i. Dan persis pula audisi-audisi olah raga, para peserta audisi pada program-program tersebut (yang tak jarang berlangsung sampai lewat tengah malam; waktu bagi anak-anak untuk tidur) bukan saja mengenakan busana-busana yang disediakan sponsor, lebih jauh juga menawar-nawarkan produk dalam bentuk iklan komersil.

Pertanyaannya, apakah yang seperti ini juga dikategorikan eksploitasi? Apakah KPAI pernah menyoroti dan menyempritnya?

Sepengetahuan saya tidak. Sepengetahuan saya audisi-audisi ini tetap berjalan tanpa usikan. Kenapa? Barangkali karena titik tolak persoalan pada dasarnya bukan terletak pada audisi dan eksploitasinya, melainkan produk yang menjadi sponsornya.

Ahli Hukum dan lawyer, Muhammad Joni, menyebut basis argumentasinya adalah rokok bukan produk normal, melainkan zat adiktif dan carsinogenik. Oleh sebab itu dilakukan kontrol --pengendalian penggunaan. "Begitu norma dan frasa FCTC. Keliru membandingkan rokok dengan jeruk atau air mineral," katanya.

Terma dan norma eksploitasi itu, sebut Joni, dilawan dalam semua instrumen HAM internasional utama. Malah CRC pasal 36 melarang eksploitasi dalam segala bentuk lain-lainnya. "Termasuk social exploitation olahraga."

Persoalan memang jadi pelik. Ibarat terperangkap dalam situasi maju kena mundur kena. Bagai makan buah simalakama; dimakan mati ibu tak dimakan mati bapak.

Namun satu hal perlu digarisbawahi. Rokok memang sudah menjadi barang terlarang dalam olah raga. Bukan cuma di Indonesia. Dan ini bukan kebijakan baru. Jadi dari sisi sikap hukum, KPAI benar. Masalahnya, dan ini yang selalu jadi persoalan besar kita di Indonesia, penerapan sikap hukum yang tegas kerap berbanding terbalik dengan solusi. Regulasi diterapkan. Larangan diberlakukan. Celakanya, tanpa solusi.

Tatkala Australia dan Perancis mulai memberlakukan larangan produsen rokok (dan belakangan juga minuman keras) masuk ke dalam semua cabang olah raga (dari amatir sampai profesional), mereka sudah punya solusi jitu. Tak sempat muncul pertanyaan setelah tidak lagi ada suntikan dana dari rokok dan minuman keras, uang dari mana yang akan digunakan untuk menutupi pembiayaan, lantaran mereka sudah benar-benar menyiapkannya.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved