Ngopi Sore
56 Tahun, Tetap Nge-Rock, Pak Jokowi
Makin ke sini, kebencian terhadap Jokowi makin mirip kebencian terhadap Gus Dur, yang kemudian menjatuhkannya.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TUJUH Presiden Indonesia dan rasa-rasanya memang tidak ada yang menjalani hari-hari seruwet Joko Widodo. Soekarno memang dijatuhkan, lantas mati dalam pengasingan yang menyakitkan. Akan tetapi, keruwetan seperti ini dijalani Soekarno setelah dia menjabat presiden selama 20 tahun.
Di awal-awal menjabat, Soekarno adalah pujaan yang dicinta dengan segenap jiwa raga. Nyaris tak ada yang menaruh benci padanya.
Baca: Pekerja Jalan Kaget Memukul-mukul Benda Keras, Hal Tak Terduga Ditemukan di Dalam Tanah
Pula demikian Soeharto. Sepuluh tahun pertama merupakan masa-masa bulan madu yang serba indah. Mulai ada onak duri di sepuluh tahun kedua, semakin banyak pada sepuluh tahun ketiga dan dia baru ambruk saat mencoba memperpanjang nafas kekuasaan untuk periode sepuluh tahun keempat. Hanya dua tahun berjalan, rakyat Indonesia terlanjur bosan, muak, dan marah kepadanya.
Habibie barangkali tidak perlu dihitung lantaran sejak awal naiknya dia ke kursi presiden terlanjur diiringi syakwasangka dan curiga. Habibie dianggap sebagai perpanjangan tangan Soeharto --meski pada kenyataannya tidak begitu. Sehingga meski dia berhasil menyelamatkan negeri ini dari kehancuran, pidato pertanggungjawabannya yang memukau (kecuali pada bagian lepasnya Timor Timur), tetap saja disambut ejekan yang sungguh konyol lantaran terlalu kekanak-kanakan.
Baca: Gubernur Bengkulu Tersangka, KPK Sebut Aparat Pengawas Daerah Lemah Tak Berdaya
Gus Dur? Dia naik ke kursi presiden dengan iringan takbir yang menggema bersahut-sahutan di gedung parlemen. Amien Rais secara gemilang berhasil menggalang kekuatan poros tengah untuk menghempang laju kencang Megawati Soekarnoputri.
Namun gema takbir surut cepat. Gus Dur dianggap terlalu "nyeleneh" sebagai presiden, dan Amien Rais juga yang berada di jajaran paling depan untuk menjatuhkannya. Persis syair lagu pop menye-menye tahun 1980 an, kau yang mulai kau yang mengakhiri...
Baca: Ini Tanda-tanda Datangnya Malam Lailatul Qadar yang Bisa Dirasakan Manusia
Lalu berturut-turut naik Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tak banyak yang bisa dicatat dari Megawati. Lebih tepatnya, dari sisi prestasi. Dibanding empat pendahulunya, dia adalah presiden "terselo". Beberapa kebijakan yang diterbitkannya justru melesatkan kejengkalan. Maka, sama sekali tidak mengherankan jika kemudian dia kalah telak dari SBY dalam pemilihan presiden berikutnya.
SBY memerintah dua periode dan selamat sampai akhir masa jabatan. Namun kecenderungan yang dialami presiden-presiden pendahulunya tetap terulang. Manis di awal sepat di akhir. SBY sempat digadang sebagai Satrio Piningit. Sosok penyelamat bangsa yang berabad sebelumnya diramalkan Jayabaya.
Baca: Niat Berhenti Merokok, Setahun Pasutri Ini bisa Beli Motor Baru dari Uang Rokok Suami
SBY yang berwibawa tampan perkasa. SBY yang jago berbicara. SBY yang mampu menyatukan kekuatan-kekuatan politik tanah air.
Sampai berlalu satu periode dan harapan akan Satrio Piningit semakin jauh. Tentu saja SBY bekerja. Namun, realisasi pekerjaannya tak berbanding lurus dengan harapan yang serba meletup-letup tadi. Celakanya, realisasi sekadar ini makin lesap oleh berbagai sikap SBY yang seringkali kelewat sensitif terhadap hal-hal yang semestinya tidak terlalu penting dan perlu dia sikapi.
Bahwa kemudian SBY terpilih lagi, rasa-rasanya semata karena rakyat memang tak punya pilihan lain. Pilihan yang tersedia, Megawati dan Jusuf Kalla, sama sekali tak lebih baik dari SBY --untuk tidak menyebut lebih buruk.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/jokowi-ultah_20170621_183046.jpg)