Ngopi Sore
Mau ke Mana AHY Setelah Nyungsep di Jakarta?
Pencapaian AHY memprihatinkan. Kalah jauh dari Ahok dan Anies. Nyungsep sebenar-benarnya nyungsep. Persentase suaranya tidak sampai 20 persen.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
SAYA sungguh tidak senang atas hasil Pilkada Jakarta. Setidaknya berdasarkan hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei, proses pemilihan Gubernur Jakarta ini mesti dilanjutkan ke putaran kedua. Dua dari tiga pasangan calon akan kembali bertarung.
Sungguh saya memang tidak senang. Saya tadinya sangat berharap Pilkada Jakarta tuntas dalam satu putaran. Entah itu Ahok atawa Anies sama saja. Terpenting satu putaran. Ahok jadi gubernur atau Anies jadi gubernur, terserah, terpenting dengan begitu enyahlah segenap kegaduhan yang serba memusingkan dan seringkali menerbitkan kejengkelan.
Harapan ini kandas. Ahok mendapatkan suara terbanyak namun tidak mencapai angka 50% + 1. Anies mengekor di belakangnya, dan medan tarung pun bergejolak lagi. Tak terkecuali, tentu saja, di media sosial.
Pentolan-pentolan tim hore-hore, suporter garis keras maupun suporter ecek-ecek yang gemar ribut sekadar untuk menunjukkan eksistensi supaya dianggap keren, telah saling "baku pukul".
Serangan-serangan ke kubu lawan dilesatkan nyaris tak putus. Saling adu status, adu komentar, adu tautan, ini bahkan terus berlangsung saat klub-klub besar di Eropa memainkan pertandingan di Liga Champions. Mereka tak memerdulikan kedigdayaan Real Madrid atas Napoli. Mereka cuek saja menyikapi pembantaian Arsenal oleh Bayern Munchen. Mau dibilang apa. Mungkin mereka memang tidak suka sepakbola. Atau mungkin suka, namun bagi mereka, setidaknya untuk saat ini, tiada perkara yang lebih menarik (dan lebih penting?) selain Pilkada Jakarta.
Saya suka sepakbola dan atas ketidaksenangan tadi saya menganggap Pilkada Jakarta tidak lagi penting. Sejak awal pun pada dasarnya tidak terlalu penting. Saya tinggal di Medan dan hasil Pilkada Jakarta tak akan membawa pengaruh bagi kehidupan saya di kota ini. Akan tetapi, sebagai warga negara yang membayar pajak, meski tidak dapat memilih, saya tetap punya hak untuk tahu dan berpendapat.
Sekarang saya sudah tahu dan sudah banyak berpendapat dan Pilkada Jakarta akhirnya berlanjut ke putaran kedua dan bagi saya itu sudah tidak lagi menarik. Ahok atau Anies sama saja. Di luar sepak terjang para petarung di media sosial yang sungguh mati tidak ada gunanya kecuali cuma menambah-nambah kebisingan dan keruwetan, mesin-mesin partai kedua kubu akan bergerak.
PDI Pejuangan + Golkar + Hanura versus Gerindra + PKS. Entah secara terang-terangan atau dalam senyap. Lobi-lobi akan terjadi. Aksi saling menyeberang akan terjadi. Namun ini tidak akan berpengaruh banyak. Seandainya PKB + PPP + PAN menyeberang ke salah satu atau berbagi ke kedua kubu, tidak akan berpengaruh banyak. Kerja mesin partai mereka tidak terlalu menggigit.
Masih ada Habib Rizieq Shihab, memang. Masih ada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memang. Dan juga Antasari Azhar dan Anas Urbaningrum yang pasti akan semakin sering bernyanyi. Bukankah ini menarik? Bagi saya tetap tidak.
Bagi saya, seriuh dan sekacau apapun Pilkada Jakarta di putaran kedua sebenarnya berkutat di lingkaran yang itu-itu saja. Lingkaran yang seolah-olah kabur, seakan-akan misterius, padahal terang-benderang.
Jadi begitulah, untuk kali keempat saya bilang, Pilkada Jakarta sudah tidak lagi menarik. Kecuali untuk satu hal, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), calon yang kalah itu.
Kiprah AHY di Pilkada Jakarta memang sungguh aduhai. Sampai sebelum mendaftarkan diri sebagai calon gubernur, dia adalah tentara berpangkat Mayor dengan rentetan prestasi yang tidak main-main. Dia diganjar Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik Akademi Militer tahun 2000. Penerima medali ini rata-rata akan mencapai jabatan tertinggi di ketentaraan. Setidak-tidaknya mulus menjadi jenderal.
AHY mengorbankan potensi ini demi kursi gubernur yang masih jauh dari pasti. Dengan kata lain, langkahnya bisa disetarakan dengan berjudi. Langkah untung-untungan. Dan kita tahu, bukan untung yang diraihnya. Pencapaian AHY memprihatinkan. Kalah jauh dari Ahok dan Anies. Nyungsep sebenar-benarnya nyungsep. Suara yang diraihnya tidak sampai 20 persen.
Sampai di sini banyak yang lantas mengambil kesimpulan bahwa karier politik AHY sudah tamat. Bahkan ada yang mengemukakan lelucon, menyetarakan AHY dengan Norman Kamaru, polisi yang jago mendendangkan lagu India itu. Norman yang kebelet jadi artis, terlena oleh popularitasnya yang melejit dalam sekejap, lantas memilih berhenti jadi polisi.
Pilihannya keliru. Publik ternyata hanya menyukai Norman sebagai polisi yang bernyanyi. Bukan Norman sebagai artis. Maka dengan cepat pula kariernya redup, lalu gelap sama sekali, dan sekarang dia mencari nafkah dengan berjualan Bubur Manado.
AHY jelas tidak mungkin berjualan bubur. Dia kaya raya. Uang simpanannya milyaran. Bapaknya, SBY, juga kaya raya. Bapaknya punya partai yang bisa diwariskan kepadanya. Sebagai putera mahkota, purnawirawan mayor dan punya banyak kelas master dari luar negeri, AHY jelas lebih berpeluang menduduki jabatan ketua umum ketimbang adiknya, Eddie Baskoro.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/ahy2_20170216_170855.jpg)