Ngopi Sore

Ya Allah, Tuhan YME, Kenapa Pers Kami Kacau Begini

Keamburadulan dan kekacauan harus segera diakhiri sebelum mengakibatkan kehancuran intelektual yang jauh lebih parah.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
KOMPAS.COM

Atas dasar inilah, saya kira, Dewan Pers bergerak melakukan penertiban. Keamburadulan dan kekacauan harus segera diakhiri sebelum mengakibatkan kehancuran intelektual yang jauh lebih parah.

PRESIDEN Joko Widodo (tengah) didampingi Ketua PWI Pusat Margiono (kedua kanan), Ketua Dewan Pers Yoseph Adhi Prasetyo (kedua kiri), Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara (kanan), dan Gubernur Maluku Said Assagaff (kiri), memukul tifa sebagai tanda peresmian puncak Hari Pers Nasional 2017 di Ambon, Maluku, Kamis (9/2). Dalam sambutannya, Presiden Joko Widodo berharap media arus utama (mainstream) bisa meluruskan pemberitaan yang
PRESIDEN Joko Widodo (tengah) didampingi Ketua PWI Pusat Margiono (kedua kanan), Ketua Dewan Pers Yoseph Adhi Prasetyo (kedua kiri), Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara (kanan), dan Gubernur Maluku Said Assagaff (kiri), memukul tifa sebagai tanda peresmian puncak Hari Pers Nasional 2017 di Ambon, Maluku, Kamis (9/2). Dalam sambutannya, Presiden Joko Widodo berharap media arus utama (mainstream) bisa meluruskan pemberitaan yang "bengkok", terkait maraknya berita palsu atau hoax.

Persoalannya, apakah verifikasi, yang lantas ditindaklanjuti dengan pemberian barcode, merupakan cara penertiban yang paling efektif? Atau mungkin pertanyaan ini bisa diganti. Apakah ada cara lain untuk melakukan penertiban terhadap media-media yang tidak memenuhi standar dan etika jurnalistik?

Edukasi pembaca kelihatannya menjadi jalan keluar yang akan lebih bisa diterima. Namun kita juga sudah terlanjur tahu bahwa langkah ini nyaris mustahil dilakukan di Indonesia. Setidaknya untuk sekarang. Tingginya kepercayaan terhadap berita-berita palsu, berita-berita propaganda yang menyesatkan dan menjerumuskan, hanya bisa terjadi lantaran satu perkara, yakni kemalasan membaca.

Dengan membaca, seyogianya tiap-tiap berita yang terbit di media, baik cetak maupun elektronik maupun dalam jaringan, tidak serta-merta dikunyah lalu ditelan. Semestinya dilakukan tinjau ulang dengan cermat dan teliti lebih dulu. Melakukan telaah dan pembandingan-pembandingan terhadap informasi dan literatur-literatur lain. Langkah-langkah ini diabaikan. Bahkan tidak sedikit yang berkesimpulan dan kemudian menyebarkan tautan-tautan berita di media-media dalam jaringan hanya dengan membaca judulnya tanpa tahu isi beritanya.

Dewan Pers agaknya juga memandang kecenderungan menyedihkan ini. Edukasi pembaca barangkali memang merupakan langkah terbaik, namun tidak bisa diharapkan dapat berhasil dalam waktu dekat. Harus dilakukan dengan sabar, pelan-pelan. Padahal di lain sisi, keamburadulan dan kekacauan pers Indonesia sudah sampai pada titik genting.

Maka dengan verifikasi, mungkin, Dewan Pers berharap, media-media akan tersaring dan dengan sendirinya terseleksi. Mana yang kompeten dan layak baca, layak tonton dan layak dengar, mana yang tidak.

Tapi begitulah, kita pun sudah sama-sama tahu, betapa keamburadulan dan kekacauan ini sepertinya memang belum akan berakhir dalam waktu dekat. Bukan terkait langkah Dewan Pers yang masih jauh dari sempurna --terutama terkait mekanisme kerja dalam melakukan verifikasi yang terbilang lamban. Melainkan karena persoalan yang mendasar sekali.

Upaya penertiban oleh Dewan Pers justru mengundang protes dan perisakan bagi mereka. Mengatasnamakan kebebasan pers, para pemrotes dan perisak yang rata-rata merasa menjadi korban, menuding Dewan Pers sebagai antek pemerintah.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved