Ngopi Sore

Aleppo, Twitter Bana al-Abed, dan Peluru dari Mevlut Altintas

Perang besar tidak selalu berawal dari titik nol. Seringkali justru melesat dari tempias persoalan lain.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
AFP PHOTO/HURRYET/HASIM KILIC
PENEMBAKAN Duta Besar Rusia di Ankara, Turki, Selasa (20/12/2016) 

USIANYA baru genap sampai di angka tujuh. Usia yang sudah barang tentu masih sangat jauh dari matang. Usia yang belum memungkinkan untuk berpikir jauh dan dalam, terlebih-lebih menyangkut politik, agama, dan silang-sengkarut perkelindanannya.

Tapi Bana al-Abed mungkin jadi kekecualian. Katakan sajalah begitu. Dia bocah tujuh tahun yang istimewa, sebab bukan cuma piawai berbahasa Inggris, tetapi juga terbilang hebat dalam menuangkan pemikiran melalui Twitter. Hal yang terbilang agak langka di negara yang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Di Indonesia, misalnya. Berapa banyak bocah tujuh tahun yang memiliki akun Twitter dan menulis kicauannya dalam bahasa Inggris?

Bana al-Abed barangkali memang istimewa. Kemampuan berbahasa Inggris diperolehnya dari Fatemah, ibunya, seorang guru di sekolah yang gedungnya sekarang sudah rata dengan tanah. Fatemah yang membuat Bana lancar berbahasa Inggris, lisan maupun tulisan. Konon, dia telah mengajar Bana sejak bocah itu masih empat tahun.

Lalu bagaimana dengan kemampuan menuangkan pemikiran? Terlepas dari kecurigaan bahwa Bana mendapat bantuan, entah dari ibunya entah dari kerabatnya, apa yang dipapar, apa yang dikabarkan lewat akun @AlabedBana merupakan satu di antara alternatif pilihan untuk mengetahui dan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di Aleppo, kota di Suriah yang kini menjadi medan perang yang serba berdarah-darah, dari sisi berbeda.

New York Times menyebutnya sebagai Proof of Life in a War Zone, bukti kehidupan di zona perang.
I am very afraid I will die tonight. This bombs will kill me now, tulis Bana Alabed pada 3 Oktober 2016.
Cuitan ini dilengkapi gambar yang menunjukkan Bana al-Abed berdiri di belakang bingkai jendela, menatap ke kejauhan, barangkali ke arah puing-puing bangunan yang luluh-lantak dihantam bom. Dia meletakkan kedua tangan di pipi. Ekspresi ketakutan, atau keterkejutan, khas anak-anak. Mirip pose Macaulay Culkin di poster film Home Alone.

Pada 4 Oktober 2016, cuitan melesat lagi dari akun Bana. Sleeping as you can hear the bombs fall, I will tweet tomorrow if we are alive. Di belakang dua rangkai kalimat ini tertera nama Fatemah.

Kolumnis New York Times, Nicholas Kristof, yang mewawancarai Fatemah lewat pos-el, mendapati keterangan bahwa tidak seluruh cuitan ditulis oleh Bana al-Abed. Tiap kalimat yang diikuti nama Fatemah adalah cuitan yang berasal darinya. Fatemah menggunakan akun @AlabedBana yang dibuatnya tahun lalu.

alepppoooo1
BANA al-Abed

Bana dan keluarganya hidup di satu tempat di bagian timur Aleppo yang berada di bawah penguasaan kelompok yang oleh pemerintah rezim Bashar al Assad disebut sebagai pemberontak. Perang berlangsung dengan sengit, dan Bana (juga lewat Fatemah), mengabarkan perkembangan bentrok setiap hari.

Selain Bana, Fatemah tinggal bersama suami dan dua anaknya yang lain, Mohamed dan Noor yang masing-masing masih lima dan tiga tahun.

Pada 7 Desember 2016, Bana al-Abed dan Fatemah sama-sama menulis. Hello my friends, how are you? I am fine. I am getting better without medicine with too much bombing. I miss you, sebut Bana. Fasilitas waktu Twitter merekam cuitan ini dilayangkan pukul 07.11.

Dua jam kemudian, tepatnya 10.28, ganti Fatemah melempat cuit. Our house and area fall to the army. We are trapped under bombs that didn't stop since last night.

Gambaran yang mengerikan. Terlepas dari kecurigaan lain yang berkembang perihal kesan "pembiaran" pemakaian sambungan intenet dan media sosial oleh kedua belah yang bertikai (satu hal yang jelas sangat aneh untuk tidak menyebutnya sebagai anomali perang), sekali lagi, gambaran yang diketengahkan Bana dan Fatemah sungguh mengerikan.

Kota yang hancur. Gedung-gedung yang roboh. Nyawa yang melayang. Keluarga yang tercerai berai. Dan ini semua hanya karena perebutan kekuasaan? Ataukah ada sebab lain? Seperti ditulis Goenawan Mohamad dalam Misalkan Kita di Sarajevo, satu persaksian perihal perang saudara yang meluluhlantakkan Yugoslavia jadi remah-remah roti: keyakinan dipasak di atas mihrab dan lumbung gandum?

alepppoooo2

Perang besar tidak selalu berawal dari titik nol. Seringkali justru melesat dari tempias persoalan lain. Sebagaimana Yugoslavia, perang di Suriah juga perang antar saudara dan bergerak dari sengketa kelompok.

Menyebut perang di Suriah sebagai upaya pemerintah meredam kelompok pemberontak adalah penyederhanaan masalah. Sebab pada dasarnya, gejolak Suriah disulut oleh banyak kelompok yang memiliki banyak kepentingan pula.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved