Sumut Terkini

Stigma Hambat Difabel dan ODHIV Dapat Kerja

Marilyn Lie, dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia mengatakan, penyandang disabilitas adalah subyek berdaya dan bukan obyek yang dianggap beban

Editor: Jefri Susetio
TRIBUNMEDAN/JEFRI SUSETIO
BURUH TAK PERNAH TUNGGAL: Perempuan Hari Ini berkolaborasi dengan Tribun Medan menggelar podcast. Pada podcast ini mengundang tiga narasumber yakni Merilyn Lie, dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Pardiansyah dari Kumpulan Orang-orang Sehati (KOOS) Medan dan Edukator dan Penulis Nurul Nayla Azmi Dalimunthe. Adapun host pada acara ini, Lusty Ro Manna Malau dari Perempuan Hari Ini. 

Maka dari itu, tunanetra masih banyak berjualan kerupuk sedangkan yang tuli memilih buka salon. Mereka menekuni bekerja di sektor informal hanya semata untuk berkreasi sendiri. 

"Daripada orang disabilitas susah cari kerja, mereka lebih bagus kreasi sendiri," ujarnya.  

Perlu Perjanjian Kerja 

Semakin meluasnya praktik sistem kerja kontrak dan keengganan industri mengurangi ketergantungan pada staf kontrak lainnya mengancam posisi tawar dan kesejahteraan pekerja. 

Bahkan, pekerja cenderung tidak memperoleh hak-haknya sebagai buruh. 

Maka dari itu, perjanjian kerja harus disepekati bersama antara karyawan dan perusahaan atau pemberi kerja.

Perjanjian kerja memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 

"Jadi sebelum meneken perjanjian kerja, karyawan harus memperhatikan betul kontrak kerjanya. Apa yang menjadi hak, dan kewajiban buruh. Banyak kejadian di lapangan banyak buruh tidak mengetahui apa aja haknya," ujar Edukator dan Penulis, Nurul Nayla Azmi Dalimunthe saat berbincang di podcast Perempuan Hari Ini Bersama Tribun-Medan.com belum lama ini. 

Nayla menuturkan, tidak sedikit kejadian, buruh yang hendak izin cuti saja ketakutan. Bahkan, perusahaan mempertanyakan izin cuti dari buruh. 

Padahal cuti adalah hak yang tidak perlu dipertanyakan dan ditakuti. 

"Kalau sudah tertulis hak dan kewajiban bisa lebih aman dalam bekerja," katanya. 

Tidak hanya itu, ia menyebutkan perlindungan para pekerja khususnya perempuan dari ancaman kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja dinilai mendesak. 

Apalagi, tidak sedikit perempuan pekerja sudah menjadi korban kekerasan fisik, verbal hingga seksual. 

Baginya, ruang aman pada lingkungan kerja adalah setiap orang dengan ragam gender merasa nyaman dalam bekerja. Artinya, tidak ada normalisasi candaan seksis yang merendahkan perempuan. 

"Misalnya dalam sebuah pabrik didominasi laki-laki suka terjadi kekerasan seksual yang dinormalisasi. Banyak yang tidak paham sebelum terjadi ruda paksa, sebelum disentuh, tidak ada yang luka belum kekerasan seksual. Bahkan, candaan seksis dinormalisasikan," ujarnya saat podcast bersama Tribun-Medan.com belum lama ini. 

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved