PDI Perjuangan Sumut

Rapidin, Anggota DPR RI Soroti Pengalihan Fungsi Lahan Hutan Tele ke PT JCO: Kembalikan ke Rakyat

Langkah Pemkab Samosir yang menyambut kedatangan Direktur PT JCO, Johnny Andrean, dan perwakilan Dewan Ekonomi Nasional, Van Basten Panjaitan.

|
Editor: Arjuna Bakkara
IST
Kondisi perbukitan Samosir, tepatnya di Hutan Tele, Rabu (24/7/2019) silam. Banyak gelondongan kayu berserakan. Lokasi tersebut merupakan tempat Tim Gakkum KemenLHK mendapatkan temuan penebangan hutan secara massif di Desa Hariara Pittu, Kecamatan Harian, Samosir pada Jumat (10/5/2019) lalu. 

TRIBUN-MEDAN.COM, SAMOSIR – Langkah Pemkab Samosir yang menyambut kedatangan Direktur PT JCO, Johnny Andrean, dan perwakilan Dewan Ekonomi Nasional, Van Basten Panjaitan, pada Rabu (4/6/2025), mendapat sorotan dari Anggota Komisi XIII DPR RI, Drs. Rapidin Simbolon, MM.

Menurut Rapidin, di balik penyambutan dan jargon pertumbuhan ekonomi, terselip aroma kebijakan yang berpotensi menyingkirkan hak-hak masyarakat dan membuka kembali luka lama Samosir seperti konflik agraria, perampasan tanah adat, dan kerusakan ekologis di Hutan Tele.

“Kawasan yang kini disebut sebagai ‘Zona Investasi Kawasan Pertanian Terpadu’ seluas 536 hektare di Desa Hariara Pintu, Kecamatan Harian, sejatinya bukan tanah kosong tak bertuan,” ujar Rapidin, Selasa (10/6/2025).

Rapidin, yang juga menjabat sebagai Bupati Samosir periode 2016–2020, menuturkan bahwa lokasi tersebut adalah bagian dari kawasan ulayat yang telah lama diperjuangkan masyarakat adat di Tele.

Tahun 2021, padahal Bupati Samosir telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 128 yang mengakui eksistensi wilayah adat tersebut.

Baca Selanjutnya: Detik detik rapidin simbolon ngamuk adukan penebangan pohon kepada menteri luhut pandjaitan

Namun, sejarah itu tampaknya cepat dilupakan. Dalam proyek ini, PT JCO direncanakan membudidayakan kopi di atas 200 hektare lahan, sementara status legal atas tanah tersebut masih menuai tanda tanya besar.

“Ini pengkhianatan terhadap proses reforma agraria yang sudah kami mulai,” kata Rapidin.

“Tanah itu seharusnya kembali ke rakyat, bukan ke investor,” tegasnya lagi.

Rapidin menilai kebijakan Pemkab Samosir telah mengesampingkan hak masyarakat dan membuka pintu bagi eksploitasi berkedok investasi.

Ia juga mengingatkan bahwa kawasan Tele bukan sekadar lahan, melainkan wilayah sakral yang menyimpan belasan situs perkampungan Batak kuno, salah satunya Sitamborboha di Baniara, yang kini rusak akibat izin yang direkomendasikan oleh Pemerintah Daerah Samosir.

Rapidin menegaskan, sejak tahun 1990-an, Hutan Tele telah menjadi ladang empuk bagi perambahan dan alih fungsi lahan secara ilegal.

Tahun 2000, kawasan yang sebelumnya berstatus hutan lindung diubah menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), ironisnya tanpa persetujuan resmi dari Kementerian Kehutanan.

Perubahan status ini memicu maraknya pemukiman liar, pertanian ilegal, hingga jual beli tanah oleh pihak-pihak yang mengklaim memiliki kuasa, termasuk pejabat yang kemudian terseret kasus korupsi.

"Nama-nama seperti Sahala Tampubolon, Mangindar Simbolon, hingga Bolusson Pasaribu sempat menghiasi daftar hitam penegak hukum karena keterlibatan mereka dalam permainan tanah di Samosir," ujarnya.

Rapidin menduga, di bawah nama baru “investasi pertanian”, pola lama sedang diulang kembali kini dikemas dalam retorika pembangunan.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved