Citizen Reporter
PILGUBSU 2024: Pemilih Cerdas, Pemimpin Berkualitas
Tinggal hitungan hari, tepatnya 27 November, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 digelar.
Mengacu kepada hasil penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024, dari 278 juta lebih populasi penduduk Indonesia sebesar 79,50 persen atau 221,56 juta pengguna internet. Penelitian itu menunjukkan, internet paling banyak digunakan untuk mengakses media sosial, lalu disusul informasi dan berita, serta layanan publik.
Data penelitian juga menunjukkan media sosial yang paling sering diakses oleh warga Indonesia ialah Facebook dengan persentase 64,35 persen, Youtube 50,84 persen, Tiktok 34,36 persen, dan Instagram 29,68 persen. Sedangkan media obrolan (chat) yang paling sering digunakan ialah Whatsapp dengan persentase 97,86 persen, disusul oleh Facebook Messenger 45,66 persen, Instagram Direct Messenger 11,31 persen, dan Telegram 8,70 persen.
Penelitian ini juga menemukan media sosial Facebook, Youtube, Tiktok, Instagram, Twitter paling sering terpapar hoaks dengan persentase 83,11 persen, disusul media obrolan Whatsapp, Facebook Messenger, Instagram Direct Messenger, Telegram 40,45 persen, dan situs berita 15,48 persen. Sedangkan kategori informasi hoaks yang sering ditemui ialah informasi politik sebesar 49,51 persen, disusul infotaiment 30,58 persen, kejahatan 23,01 persen, ekonomi/keuangan 21,06 persen, dan pemerintahan 20,75 persen.
Menyandingkan hasil kedua survey ini, tampak jelas para penyebar hoaks begitu memahami perilaku warganet (netizen). Saat warganet senang beraksi di media sosial, di media sosial pula mereka beraksi. Saat warganet senang bermain di ruang-ruang mengobrol, ke sana pula mereka bermain. Mereka tidak hanya mengemas hoaks dalam bentuk tulisan, tetapi juga gambar/foto dan video, karena mereka tahu warganet selain suka mengobrol dan berkutat di media sosial, juga gemar melihat gambar/foto dan video.
Alhasil, rasionalitas dalam memilih pun hilang. Kehebohan pilkada bukan lagi akibat perdebatan visi-misi maupun program para kandidat, melainkan sensasi semu yang dangkal dan niretika. Hoaks menjadi provokasi yang menyuburkan perasaan sektarian, menjadi bensin memarakkan api kebencian.
Kondisi mencemaskan ini makin diperparah oleh kebiasaan sebagian warganet membagikan informasi yang diterima tanpa lebih dahulu memeriksa kebenarannya. Jangankan memeriksa kebenarannya, tidak sedikit pula warganet belum membaca tuntas informasi yang dibagikannya.
Kerawanan ini tentu harus disikapi. Dan pemilih yang cerdas sudah tentu memiliki kecakapan digital dan nalar kritis sehingga hoaks tidak berdaya menyebarkan hasut dan provokasi.
Politik Uang
Sama dengan hoaks, praktik politik uang juga gangguan serius dan kejahatan pada demokrasi. Kejahatan ini bukan saja bisa dilakukan oleh kandidat selaku “pembeli” suara dan pemilih yang “menjual” suara. Penyelenggara (KPU maupun Bawaslu) dari berbagai tingkatan juga berpotensi terjerumus, yakni dengan memanipulasi hasil perolehan suara dan membuat keputusan yang berpihak. Tidak hanya itu, pihak partai politik juga rentan “bermain” politik uang dalam tahapan pencalonan atau yang dikenal dengan istilah “uang perahu” atau “mahar politik”.
Politik uang membuat pilkada menjadi pasar haram. Di pasar ini terjadi jual-beli suara antara pemilih dengan pihak kandidat. Ada pemilih yang menunggu datang pembeli suara. Ada juga pemilih yang proaktif mencari pembeli suara. Ini kenyataan, tidak bisa dibantah. Sebagian besar masyarakat di pedesaan, terutama dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah, berharap pihak kandidat yang membeli pilihannya. Pemilih itu akan merasa tidak beruntung jika tak ada tim kandidat membeli suaranya.
Begitu mengerikan daya rusak politik uang. Kejahatan ini membuat pemilih tidak lagi rasional dalam memilih, tidak lagi melihat jejak rekam, kinerja, maupun program yang ditawarkan para kandidat. Pilihan tergantung kepada uang yang djanjikan atau diberikan kandidat. Partisipasi pemilih bukan lagi partisipasi yang sadar, cerdas, jujur, dan bertanggung jawab.
Bagi kandidat, politik uang membuat mereka merasa tidak perlu lagi punya gagasan, punya visi-misi maupun program yang tepat dan dapat direalisasi. Yang penting bisa bagi-bagi uang dan memegang komitmen pemilih untuk memilihnya pada hari pemungutan suara. Kandidat lebih konsentrasi memperbesar modal agar bisa melancarkan politik uang.
Selain mencederai demokrasi, praktik politik uang ini berisiko melahirkan kepala daerah yang rentan terjebak tindak pidana korupsi. Hal ini juga dinyatakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak saat peluncuran Roadshow Bus KPK 2024 di Surabaya pada 13 Juni 2024 (https://www.tempo.co/pemilu/saat-kpk-ajak-masyarakat-tolak-pemberian-uang-di-pilkada-lewat-roadshow-bus-49192). Dia mengatakan, pemberian sesuatu dari calon kepala daerah kepada rakyat saat pemilihan adalah awal dari suatu tindak pidana yang akan dilakukan di kemudian hari. Ketika terpilih, yang bersangkutan akan mengupayakan bagaimana caranya mengembalikan uang yang sudah dia keluarkan. Mengamati kasus tindak pidana korupsi yang sering terjadi, tambahnya, kepala daerah terpilih sering kali meminta kewajiban setoran kepada setiap organisasi perangkat daerah (OPD). "Kalau mau jadi Kepala OPD, tapi begini, harus bayar berapa dulu, nah…," ujarnya memberi contoh.
Hal ini juga dinyatakan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief sebagaimana dilangsir Situs Pusat Edukasi Antikorupsi aclc.kpk.go.id, 17 Februari 2023 (https://aclc.kpk.go.id/aksi-infmasi/Eksplorasi/20230217-waspadai-bahaya-politik-uang-induk-dari-korupsi). Dia mengatakan, figur yang terpilih karena korupsi politik ini juga akan mendorong terjadi korupsi di sektor-sektor yang lain. Ini terjadi karena figur tersebut mengumpulkan uang “balik modal” yang dikeluarkannya selama kampanye.
Pemilih cerdas tentu tidak boleh lengah dan terlena dengan godaan politik uang. Harus ada upaya untuk mencegah praktik politik uang ini tidak leluasa menganiaya demokrasi. Diam, membiarkan kejahatan ini terus berlangsung sama dengan menyuburkan korupsi dan menghancurkan kepercayaan kepada sistem demokrasi.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Debat-Pilgub-Sumut-_Debat-Ketiga-Pilgub-Sumut-2024.jpg)