Demonstrasi, Cermin Krisis Keterwakilan dan Harapan

DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat kini lebih dipandang sebagai perpanjangan tangan elite partai dan pemilik modal daripada kepentingan masyarakat.

TRIBUN MEDAN/HO
PEGIAT HAM dan Demokrasi, Kristian Redison Simarmata. 

Oleh: Kristian Redison Simarmata (Pegiat HAM dan Demokrasi)

DEMONSTRASI yang mengguncang Gedung DPR, sejatinya merupakan cermin rapuhnya kualitas demokrasi. Gerakan turun ke jalan bukan hanya menyalurkan aspirasi, tetapi menegaskan bahwa ruang-ruang representasi formal yang seharusnya menjadi saluran aspirasi gagal menjalankan fungsinya

DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat kini lebih dipandang sebagai perpanjangan tangan elite partai dan pemilik modal daripada kepentingan masyarakat. Pandangan yang lahir akibat minimnya tindakan dan kebijakan DPR yang dapat dirasakan masyarakat. Fenomena demonstrasi sekaligus memperlihatkan kegagalan partai politik menjalankan tugas dasarnya, sebagai kanal demokrasi, partai seharusnya melakukan pendidikan politik, rekrutmen kader berkualitas dan memperjuangkan kepentingan rakyat 

Namun yang terjadi adalah partai berubah menjadi kendaraan transaksional yang hanya hidup menjelang Pemilu. Rekrutmen politik bahkan tidak lagi bertumpu pada kualitas gagasan, kapasitas kepemimpinan atau rekam jejak integritas 

Penentuan calon legislatif maupun calon kepala daerah sering didasarkan pada seberapa besar modal finansial dan akses politik yang dimiliki. Akibatnya, parlemen dan eksekutif dipenuhi oleh figur yang minim kapasitas dan hanya mahir memainkan logika transaksi.

Baca juga: PULUHAN Pelajar Ikut Aksi Demonstrasi di Depan Kantor DPRD Sumut, Bawa Karton Bertuliskan Tuntutan

Cermin Krisis Keterwakilan dan Harapan dari DPR 

Kekecewaan publik terhadap parlemen dan partai politik semakin diperkuat oleh krisis ekonomi yang menghimpit kehidupan sehari-hari. Inflasi tahunan pada Juli 2025 mencapai 2,37 persen dengan harga bahan pokok seperti beras naik 4,14 % secara tahunan dan 2,71 secara bulanan per Juli 2025. Di saat yang sama, harga BBM jenis Pertalite bertahan di Rp10.000 per liter. Sementara upah riil pekerja nyaris stagnan, kurs rupiah yang tertekan pada kisaran Rp16.200 per dolar AS menambah beban masyarakat 

Bandingkan dengan periode Presiden BJ Habibie yang mampu menurunkan kurs dari Rp 17.000 ke Rp 6.500 per dolar AS hanya dalam 18 bulan (1998–1999). Fakta ini menunjukkan bahwa manajemen ekonomi saat ini gagal memberikan rasa aman dan kepastian.

Kondisi lapangan kerja juga jauh dari harapan. Data BPS Februari 2025 mencatat tingkat pengangguran terbuka masih 4,8 % atau 7,6 juta orang, sementara jumlah pekerja informal terus meningkat hingga mencapai 59,4?ri total angkatan kerja

Bidang kesehatan dan pendidikan yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan manusia, diwarnai persoalan biaya UKT perguruan tinggi negeri yang naik di setiap tahun ajaran baru. Sementara itu, akses kesehatan masih dibebani dengan defisit BPJS Kesehatan yang pada 2024 mencapai Rp 7,14 triliun.

Kualitas birokrasi sebagai wajah negara juga tidak lebih baik. Laporan Ombudsman RI 2024 menunjukkan peningkatan 28 % pengaduan masyarakat daripada tahun sebelumnya terkait pelayanan publik. Didominasi sektor pertanahan, pendidikan, dan kesehatan, alarm birokrasi masih jauh dari prinsip efektif, efisien, dan berintegritas, meski reformasi birokrasi sudah digaungkan lebih dari 20 tahun.

Di tengah situasi diatas, masyarakat merasa tidak memiliki suara politik yang menyuarakan kegelisahannya di parlemen. Maka demonstrasi bermunculan sebagai ekspresi frustrasi, karena ruang representasi formal kehilangan fungsinya dengan publik, jauh dari janji rutinitas lima tahunan yang berjanji menghadirkan suara rakyat di parlemen

Situasi ini diperparah dengan banyaknya aktivis reformasi dalam 20 tahun terakhir berada di lingkaran kekuasaan tanpa memberi kontribusi berarti terhadap penyelesaian masalah. Malah dominan ikut larut dalam pragmatisme politik, melupakan idealisme yang dahulu disuarakan

Politik akhirnya kehilangan hakikatnya sebagai jalan untuk memperjuangkan kebaikan bersama. Konstitusi yang seharusnya menjadi pedoman tertinggi untuk mewujudkan kemanusian yang beradab dan berkeadilan sosial, justru bertransformasi sebagai pengkhianatan moral dan intelektual 

Asumsi masyarakat ketika melihat fakta Undang-undang yang dilahirkan dan disahkan lebih sering melayani kepentingan investasi besar ketimbang melindungi hak warga negara, serta hajatan Pemilu dan Pilkada. Elite politik berlomba-lomba menegosiasikan posisi, berganti koalisi, bahkan mengorbankan prinsip dan dasar partai tanpa beban. 

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved