Ibu-ibu Asal Sumut Curhat kepada Ketua KPAI di Jakarta, Suami dan Anak jadi Korban Kekerasan

Mereka menangis ketika mencurahkan isi hati (curhat) kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah

Editor: Jefri Susetio
istimewa
Sejumlah ibu-ibu masyarakat adat menangis ketika mencurahkan isi hati (curhat) kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah. 

Sejumlah ibu-ibu dari kawasan Danau Toba, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, keluarga korban kriminalisasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) bertolak ke Jakarta.

Mereka mengadu kepada sejumlah kementerian/lembaga negara dan keagamaan, untuk mencari keadilan atas tanah adat warisan leluhur selama 11 generasi, selama beratus tahun. 

Selain mendatangi KPAI, mereka juga mengadu ke Komnas HAM, kemudian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Dan mereka akan tetap berada di Jakarta untuk menuntut keadilan.

Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) mengatakan, tanah nenek moyaknya sudah ditempati sejak kurang lebih 220 tahun silam. 

Menurut Mangitua, mereka mengelola tanah adat leluhur. Tanah Sihaporas bahkan, telah diakui penjajah Belanda. Terbukti dengan terbitnya peta Enclave 1916 (29 tahun sebelum Indonesia merdeka). 

Mereka bukan penggarap tanah. Terdapat 6 orang tetua desa Sihaporas juga menjadi pejuang Kemerdekaan RI. Ayahnya, Yahya Ambarita mendapat piagam legiun Veteran RI dari Menteri Pertahanan LB Moerdani tahun 1989.  

Masih menurut Mangitua, pengolahan tanah Sihaporas memang dilakukan secara adat. Setiap kegiatan, mulai membuka lahan sampai panen, dilakukan dan diwarnai tradisi adat yang kental. 

Misalnya, membuka lahan disebut ‘manoto’, menggelar doa untuk meminta berkat dan permisi kepada Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Mahakuasa), juga semacam pemberitahuan kepada alam semesta, bahwa akan dimulai menebang pohon.

Ketika hendak bercocok tanam padi darat (huma), dilakukan tradisi ‘manjuluk’.  Saat padi bunting, dilaksanakan tradisi ‘manganjab’, yaitu ritual bersama-sama di perhumaan. Dilaksanakan doa mohon kesuburan dan keberhasilan panen. 

Acara menganjap juga diwarnai tradisi ‘marsibak’, mengolah bahan makanan berbahan jagung, dicampur dedaunan untuk permentasi. 

Rangkaian selanjutnya, ‘robu juma’ (pantang berladang) selama tiga hari, ‘robu harangan’ (pantang ke hutan) tiga hari, dan pada hari ke-7 dilakukan manangsang robu (buka pantang) yang diisi kegiatan doa, lanjut berburu ke hutan.

Saat panen, dikenal dilakukan ‘sipahalima’. Pemotongan bulir padi, didahului mengumpulkan tujuh gulungan buliran padi, lalu disimpan di bubungan gubuk. Setelah selesai panen, diadakan pesta dan doa bersama.

Selain itu, warga juga hidup dengan tradisi ritual doa adat. Terdapat tujuh macam doa, mulai skala besar yang diikuti musik tradisional gondang, sembelih persembahan atau sesaji, hingga penggunaan air suci yag bersumber dari balik batu.

Penggunaan ‘rudang’ atau bahan-bahan bebugaan dari perldanagn dan hutan. Tradisi terbesar adalah ‘Patarias Debata Mulajadi Nabolon’, yakni pesta adat denagn durasi non-stop tiga hari dua malam, menggunakan alat musik gondang Toba.

Mendengar keterangan ibu-ibu, para keluarga korban kriminalisasi PT TPL,  Ketua KPAI Ai Maryati Solihah  menyayangkan kejadian kekerasan oleh jajaran Polres Simalungun terhadap anak-anak. 

Sumber: Tribun Medan
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved