Ibu-ibu Asal Sumut Curhat kepada Ketua KPAI di Jakarta, Suami dan Anak jadi Korban Kekerasan

Mereka menangis ketika mencurahkan isi hati (curhat) kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah

Editor: Jefri Susetio
istimewa
Sejumlah ibu-ibu masyarakat adat menangis ketika mencurahkan isi hati (curhat) kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah. 

Seorang ibu lainnya, Marta Manurung, mewakili Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dari Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun. Marta menyampaikan kisah penculikan keluarganya, Sorbatua Siallagan, kakek 65 tahun, pada 22 Maret 2024.  

Sorbatua Siallagan, selaku tetua adat Komunitas keturunan Ompu Umbak Siallagan diculik oleh orang tidak dikenal, ketika ia sedang berbelanja pupuk pertanian. 

Setelah beberapa jam keluarga menelusuri keberadaannya, diketahui Sorbatua berada di Polda Sumatera Utara. 

Pada  14 Agustus 2024 Sorbatua Siallagan divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun. Ia didakwa menguasai tanah PT TPL, dan membakar hutan.

Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PHW AMAN) Wilayah Tano Batak Jhontoni Tarihoran yang ikut mendampingi warga membenarkan, masyarakat menangis saat mengadu.

“Memang betul, korban menyampaikan dengan menangis, saat mengadu kepada Ketua KPAI,” kata Jhontoni Tarihoran, Selasa (3/9/2024). 

Jhontoni mengatakan, para ibu menangis karena merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Sebab begitu banyak rintangan yang mereka alami saat mempertahkanak hak atas wilayah adat.

Lalu ada juga kekerasan yang dialami orangtuan dan anak-anaknya. Ini tentu mengakibatkan ketakutan atau trauma bagi anak-anak.

“Kita yang mendengar juga sangat sedih. Bukan saja karena mereka menangis, tapi mendengar cerita mereka tentang situasi dan kekerasan yang terjadi rasanya sangat menyedihkan dan membuat kita marah. Walaupun saya tidak meneteskan air mata, mendengar cerita itu sangat sedih,” ujar Jhontoni.  

Ia berharap, aduan dan keluhan masyarakat kepada KPAI, kiranya menjadi bahan pertimbangan bagi  KPAI untuk segera mengambil peran dalam situasi konflik berlarut-larut di masyarakat adat Sihaporas.

Sebab perjuangan mereka bukan hanya tentang tanah adat, tetapi saat ini juga menolak kekerasan dan penghilangan hak anak. Memang berjuang untuk tanah adat, untuk wilayah adat yang tetap lestari yang akan diwariskan sebagai masa depan termasuk masa depan anak-anak.

Sebab  ada juga problema serius yang dihadapi anak-anak. Ada anak menjadi korban kekerasan, yang melihat situasi saat ayahnya ditangkap polisi. 

Jhontoni berujar, “Dan ada juga, anak-anak yang kehilangan ayah karena bapaknya terpenjara. Atau ada anak-anak yang menjadi berjarak dengan bapaknya. Kita bisa bayangkan, anak sekolah, yang semula diantar-jemput bapak ke sekolah, tapi karena ayahnya ditangkap polisi, maka kasihan anak-anaknya tidak mendapat pendampingan saat menjalani pendidikan.” 

Ia meminta agar masyarakat adat yang memperjuangkan tanah leluhur segera dibebaskan. Dan tanah adat sesegera mungkin diakui pemerintah dan diserahkan kepada komunitas masyarakat adat.
 

Tanah Adat Diakui Penjajah Belanda

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved