Berita Simalungun Terkini

Sidang Kasus Sorbatua Siallagan, Pengacara: Penyelesaian Harusnya Hukum Administratif bukan Pidana

Sidang Dugaan Pengerusakan Hutan oleh Terdakwa Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan kembali digelar.

Penulis: Alija Magribi | Editor: Randy P.F Hutagaol
TRIBUN MEDAN/HO
Sidang kasus dugaan pengerusakan hutan atas terdakwa Ketua Komunitas Adat Siallagan, Sorbatua Siallagan pada Senin (15/7/2024). 

TRIBUN-MEDAN.com, SIANTAR - Sidang Dugaan Pengerusakan Hutan oleh Terdakwa Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan kembali dilanjutkan pada 15 Juli 2024 di PN Simalungun. Persidangan mengagendakan tiga acara sekaligus yaitu keterangan ahli dari Jaksa Penuntut Umum, Keterangan Terdakwa dan keterangan ahli Terdakwa.

Terdakwa melalui Penasihat hukumnya menghadirkan tiga orang ahli yakni: Dr.Ahmad Sofyan, S.H.M.A.(ahli hukum Pidana dari Binus University Jakarta), Yance Arizona, S.H.M.H.M.A.(ahli hukum tata negara dan hak-hak masyarakat adat dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) dan Aldya Saputra (Ahli Pemetaan Wilayah Adat dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

Dalam persidangan, ahli Jaksa Penuntut Umum atas nama Widjayadi Bagus Margono yang menjabat di Biro Hukum dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak dapat hadir langsung di depan persidangan untuk memberikan keterangannya, oleh karena itu Jaksa Penuntut Umum meminta agar keterangan ahli tersebut dibacakan dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Terkait hal ini Penasihat Hukum Terdakwa menyatakan keberatan kerena jika keterangan ahli tersebut hanya dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum Terdakwa tidak dapat menggali keterangan tersebut lebih dalam.

Akan tetapi Majelis Hakim, mengabulkan permintaan Jaksa Penuntut Umum untuk membacakan keterangan ahli tersebut.

Sorbatua Siallagan dalam persidangan hari ini memberikan keterangan. Beliau menyampaikan bahwa dirinya tidak pernah menduduki hutan. Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menguasai wilayah yang menjadi tanah Adat mereka secara turun temurun sejak tahun 1700an, namun wilayah Adat tersebut diklaim sepihak oleh Negara dengan memberikan izin konsesi kepada PT. Indorayon yang kemudian berganti nama menjadi PT. TPL.

Ahli Ahmad Sofyan, menerangkan bahwa Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menerapkan UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tidak tepat digunakan sebagai dasar mendakwa.

"Alasannya, karena Undang-Undang 11 Tahun 2020 telah dinyatakan MK Inkonstitusional bersyarat dan telah dicabut oleh Perppu 2 Tahun 2022 dan Perppu 2 Tahun 2022 ditetapkan Pemerintah menjadi UU No.6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja," kata Ahmad Sofyan.

Menurut Sofyan, UU No. 11 Tahun 2020 tidak dapat diterapkan untuk mendakwa Sorbatua Siallagan karena asas hukum Undang-Undang yang baru mengenyampingkan Undang-Undang yang lama. Dengan demikian, ujar Sofyan, yang berlaku saat ini adalah UU No. 6 Tahun 2023.

"Ada konflik yang seharusnya tidak masuk dalam ranah pidana. Sengketa harus diselesaikan tidak dalam ranah pidana dengan menangkap ketua komunitas masyarakat adat," ujarnya.

Adapun ahli Yance Arizona menyebutkan bahwa konflik tanah antara TPL dan Masyarakat Adat terjadi karena negara mengabaikan hak-hak masyarakat Adat, berdasarkan putusan MK 35 Tahun 2012 yang menegaskan bahwa Hutan Adat Bukan Hutan Negara.

Dengan demikian, kata Yance, negara seharusnya hadir untuk menyelesaikan konflik antara Masyarakat Adat dengan PT. TPL. Untuk kawasan Danau Toba yang berkonflik dengan PT. TPL, Menteri KLHK telah menerbitkan 5 SK Penetapan Hutan Adat dan mengeluarkan dari wilayah konsesi PT. TPL.

Kondisi saat ini, Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah mengajukan permohonan kepada KLHK agar wilayah Adat mereka dikeluarkan dari Konsesi PT TPL. Permohonan tersebut telah diproses oleh KLHK dengan menerbitkan SK No 352/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021 tentang Langkah-Langkah Penyelesaian Permasalahan Hutan Adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkungan Danau Toba, yang mana konflik masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL menjadi prioritas penyelesaian dan berada di urutan pertama.

"Seharusnya pendekatan penyelesaian yang dilakukan adalah Hukum Administrasi bukan Hukum pidana," kata Yance

Selanjutnya Yance menjelaskan bahwa jika ternyata kemudian hari ada penetapan hutan Adat dari KLHK, sementara Sorbatua Siallagan telah mendapatkan sanksi pidana, maka pengadilan telah menghukum orang yang tidak bersalah.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved