Tribun Wiki

Pemena, Agama Pertama Suku Karo

Bagi masyarakat di Sumatra Utara, suku Karo adalah bagian dari kebudayaan masyarakat dan satu diantara suku-suku lainnya

Editor: Array A Argus
INTERNET
Ilustrasi suku Karo 

Paling banyak hanya sekitar 800-an orang saja.

Baca juga: Kenapa Yahudi Membenci Islam? Biarawati Umat Kristen Diludahi

Meskipun populasinya terus menipis, kepercayaan Pemena, yang dipercaya merupakan turunan langsung dari Senata Dharma Agama Hindu di India ini, masih menghiasi beberapa wilayah di Kabupaten Karo, Kabupaten Deliserdang hingga Kabupaten Langkat.

Bahkan tak sedikit juga yang sudah pindah ke Kota Medan dan masih memeluk kepercayaan yang sama.

Indikasinya, di beberapa jambur (balai pertemuan masyarakat Karo) di Kota Medan, sesekali masih ditemui perayaan pernikahan anak kecil yang biasa disebut ‘Cabur Bulung’.

Ritual pernikahan ini persis sama seperti pernikahan orang dewasa lainnya.

Baca juga: Polres Toba Jaga Warga Beragama Parmalim Merayakan Hari Besar ^Pameleon Bolon Sipahalima^

Namun si anak kecil tidak akan benar-benar menikah karena Cabur Bulung hanya dilakukan bukan untuk berketurunan.

Melainkan untuk pengobatan penyakit dan ritual permohonan maaf.

Pengalaman pahit di pesta demokrasi, yaitu Pemilu, juga menjadi pelajaran bagi penganut kepercayaan Pemena ini.

Ada beberapa partai di wilayah Sumatera Utara yang mengklaim akan mempedulikan dan memperjuangkan nasib penganut kepercayaan minoritas.

Tapi alih-alih menepati janji, masuk ke dalam partai politik untuk memperjuangkan nasib mereka saja pun tak dibolehkan.

Seharusnya dengan menganut kepercayaan tradisional tak lantas membuat mereka merasa berbeda dengan orang lain.

Kalau sudah begini, pemimpin ke depan harus benar-benar mampu meyakinkan pemeluk agama/kepercayaan minoritas mereka tetap mendapatkan porsi serupa dengan masyarakat lainnya.

Budayawan dan Antropolog Karo, Juara R Ginting, mengakui lahirnya Pemena di masa silam memang tak lepas dari sebuah proses politik.

“Ya memang seperti itu. Dulu ketuanya itu almarhum Jasa Tarigan. Sekarang tidak tahu lagi bagaimana nasib komunitas mereka. Jumlahnya mungkin ada ratusan,” kata pria yang kini sedang menetap di Belanda ini.

Ia memperlihatkan salahsatu artikelnya dalam buku yang dicetak terbatas, Hinduism Modern Indonesia.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved