TRIBUNWIKI

DERETAN Bangunan Cagar Budaya di Kota Medan, Titi Gantung hingga Kantor Pos

Beberapa bangunan cagar budaya di Kota Medan yang masih berdiri tegak dan terjaga hingga saat ini.

Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Ayu Prasandi
HO
Bangunan Cagar Budaya di Kota Medan 

Di sayap kiri dan kanan gerbang terdapat ruangan bertingkat untuk kantor.

Di timur terdapat bangunan kecil berkubah untuk tempat wudhu. Di bagian barat terdapat menara setinggi 70 meter dengn 135 anak tangga.

Bangunan induk terletak 29 meter dari gerbang, masjid dengan luas 874 m2 yang dikelilingi oleh parit dengan ukuran 50x50 cm.

Bangunan-bangunan tersebut berada di dalam areal masjid seluas 13.200 m2.

Tempat wudhu lelaki merupakan bangunan lama juga berbentuk sama dengan masjid yaitu oktagonal dengan panjang setiap sisinya 3.4 m dengan atap kubah bawah setingi hampir 14 meter.

Sedangkan tempat wudhu perempuan merupakan bangunan tambahan terletak bersisian dengan tempat wudhu lelaki.

Di sebelah barat laut terdapat bangunan menara setinggi 70 meter.

Tangga menuju atas menara terbuat dari batu batu hingga lantai 2 kemudian dilanjutkan dengan material kayu.

6. Tjong A Fie

Rumah Tjong A Fie, di Jalan Jenderal Ahmad Yani No.105, Kesawan, Medan Bararat, Kota Medan, hari Senin, (8/4/2019)
Rumah Tjong A Fie, di Jalan Jenderal Ahmad Yani No.105, Kesawan, Medan Bararat, Kota Medan, hari Senin, (8/4/2019) (TRIBUN MEDAN/AQMARUL AKHYAR)

Tjong A Fie merupakan seorang perantau yang tiba di Kota Medan pada tahun 1875.

Tjong A Fie dikenal dengan penguasa kaya raya yang memiliki banyak tanah perkebunan di Kota Medan

Tjong A Fie juga dikenal sebagai sosok yang paling berpengaruh dalam pembangunan Kota Medan.

Hal tersebut terlihat dari beberapa jasanya dalam usaha mengembangkan Kota Medan seperti menyumbangkan menara lonceng untuk Gedung Balai Kota Medan yang lama.

Kemudian pembangunan Istana Maimoon, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto, Kuil Buddha di Brayan, Kuil Hindu untuk warga India, Batavia Bank, Deli Bank, Jembatan Kebajikan di Jalan Zainul Arifin.

Tjong A Fie juga mendirikan rumah sakit Tionghoa pertama di Medan bernama Tjie On Jie Jan

Pada tahun 1990, Tjong A Fie membangun kediamannya yang terletak di berada di Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, dengan luas 6.000 meter yang memiliki dua lantai dan 35 kamar. 

Saat ini, kediamannya tersebut telah dijadikan cagar budaya dan resmi dibuka untuk umum pada 18 Juni 2009 sekaligus memperingati hari ulang tahunnya yang ke 150 tahun yang diberi nama Tjong A Fie Mansion. 

Setiap harinya pengunjung tempat wisata sejarah ini tidak pernah sepi pengunjung apalagi pada saat momen perayaan tahun baru imlek. 

7. Istana Maimun

Sejumlah warga berwisata ke Istana Maimun di Kota Medan, Senin (1/5/2023). Wisata cagar budaya peninggalan Kesultanan Deli tersebut menjadi pilihan warga untuk memanfaatkan libur bersama keluarga.
Sejumlah warga berwisata ke Istana Maimun di Kota Medan, Senin (1/5/2023). Wisata cagar budaya peninggalan Kesultanan Deli tersebut menjadi pilihan warga untuk memanfaatkan libur bersama keluarga. (TRIBUN MEDAN/DANIL SIREGAR)

Istana Maimun yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, Kota Medan ini, merupakan tempat bersejarah yang hingga kini masih berdiri dan dijadikan objek wisata.

Istana Maimun merupakan istana peninggalan kerajaan Deli yang dipimpin Sultan Al Rasyid Perkasa Alamsyah pada tahun 1973. 

Istana Maimun sempat ditempati oleh 4 Sultan Melayu yang memerintah saat itu.

Baca juga: 2.471 Warga Binaan Lapas dan Rutan Dapat Remisi Natal

Dari beberapa sumber yang dihimpun Tribun Medan, Istana ini dibangun pada tahun 1988.

Untuk arsitektur Istana yakni TH Van Erp.

Ia bekerja juga sebagai Konijnlijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), atau tentara Kerajaan Hindia-Belanda. 

Untuk desain bangunannya yaknj perpaduan antara Indonesia, Persia, dan Eropa. 

Nuansa Melayu dan Islam jelas terlihat di bangunan yang terletak di Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun ini.

Nah hingga kini Sultan Deli XIV yakni Seripeduka Sultan Deli XIV, Tuanku Sultan Mahmud Lamantjiji Perkasa Alam.

Beliau kini menempa pendidikan Magister di salah satu kampus yang berada di pulau Jawa.

Beberapa hari lalu, Seripeduka Sultan Deli XIV, Tuanku Sultan Mahmud Lamantjiji Perkasa Alam melaksanakan pemberian gelar adat kepada keluarga kerabat Kesultanan.

Sebanyak 20 orang keluarga mendapat gelar adat dari Sultan Deli.

Hingga kini, Istana Maimun dijadikan objek wisata kota. Di istana Maimun sendiri kita bisa melihat bagaimana barang-barang kesultanan dahulu, sejarah bahkan mendengar kisahnya.

Di samping Istana Maimun sendiri terdapat pecahan meriam puntung yang konon dahulunya ia merupakan sosok seorang wanita yakni putri hijau.

Berdasarkan informasi dari juru kunci lokasi tersebut Maslela bru Tarigan, pecahan meriam ini merupakan bagian dari meriam yang ada di halaman Istana Maimun, Medan.

Dirinya menyebutkan, awal mula meriam puntung ini bermula dari cerita Putri Hijau yang terlahir Desa Seberaya, dekat hulu Sungai Petani (Sungai Deli).

Dalam cerita itu disebutkan Sang Puteri memiliki dua saudara kembar, Mambang Yazid dan Mambang Khayali.

Mambang Yazid dapat menjelma menjadi seekor naga yang disebut Ular Simangombus. 

Sedangkan Mambang Khayali bisa berubah menjadi meriam yang kemudian dikenal dengan sebutan Meriam Puntung.

"Jadi si putri ini mau dilamar sama anak raja, tapi si putri minta syarat sama anak raja harus memberi makan salah satu turangnya (saudaranya) hati lembu setiap hari. Tapi kan lama kelamaan jadi habis, karena itu dia pergi ke Hamparan Perak," ujar Maslela.

Dirinya mengungkapkan, setibanya di Hamparan Perak sang putripun dijemput oleh seorang pria kerajaan yang berasal dari Aceh.

Melihat sang kecantikan sang putri, pria tersebut langsung jatuh hati dan ingin mempersuntingnya.

Namun sayang, lamaran itu ditolak oleh sang putri, kemudian Sultan Aceh pun murka.

Ia merasa diri dan kerajaannya dihina, kemudian menurunkan bala tentara dan membombardir Kesultanan Deli.

"Sultan Aceh itu yang jemput putri, tapi enggak mau dia. Terus dibikinnya peluru dari emas sama perak, saudara si putri (Mambang Khayali) juga berubah menjadi meriam nembaki orang Aceh itu juga," ungkapnya.

Pada saat pertempuran keduanya, Mambang Khayali terus melontarkan mortar ke pasukan Aceh.

Lama kelamaan meriam itu menjadi panas, kemudian meledak dan terpecah.

Menurut informasi, sebagian besar meriam tersebut terlontar ke Labuhan Deli dan kini telah disimpan di Istana Maimoon.

Sedangkan bagian lainnya yang berupa moncong meriam, tercampak ke Desa Sukanalu.

"Kalau cerita dari nenek-nenek kami katanya si meriam itu haus, tapi tunggu sebentar lagi karena sudah akan menang. Tapi karena terus dipaksa akhirnya pecah meriamnya," katanya.

Ada satu kebiasaan bagi pengunjung yang datang. Mereka biasanya diminta untuk mengangkat meriam itu.

Masyarakat percaya, hanya orang yang tulus saja yang bisa mengangkat meriam ini.

(Cr26/tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter

Sumber: Tribun Medan
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved