Guru Merdeka Mengajar Berani Bertanya: Apa yang Perlu Saya Perbaiki di Kelas Saya?
Pembelajaran dalam ruang kelas, bagaimanapun harus juga merupakan interaksi coaching di mana guru adalah coach dan murid sebagai coachee.
Mengapa saya belajar ini?
Apakah saya telah menunjukkan kemajuan?
Apakah saya terlibat mengambil keputusan dalam proses belajar-mengajar?
Apa yang dapat saya lakukan dengan mengaplikasikan pembelajaran ini?[2]
Kurikulum Merdeka Menuntut Guru yang Lentur
Sangat klise jika kita mengatakan dunia pendidikan kekurangan inovasi. Sebaliknya, yang sulit justru konsistensi dalam menjalankan inovasi tersebut. Berbicara tentang konsistensi, tentu ini berkaitan dengan komitmen pengimplementasian dengan terus melakukan perbaikan seiring prosesnya dan terus berefleksi dalam menunjukkan hasil jangka panjang bagi murid.
Yusnadi, guru besar Universitas Negeri Medan pada acara Gelar Karya Inovasi Hari Guru Nasional ke-77 oleh Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Sumatra Utara—terkait pengimplementasian Kurikulum Merdeka, mengatakan seorang guru harus lentur menghadapi perubahan yang diusung oleh dinamika pendidikan.
Guru sebagai coach juga sebagai pemimpin pembelajaran, harus mampu memberikan yang terbaik sesuai dengan kebutuhan belajar murid yang tentu saja tidak sama satu sama lain. Refleksi menjadi salah satu babak yang penting dalam menciptakan kelas yang berpihak kepada murid. Berpihak kepada murid, artinya pembelajaran berlangsung tidak semata berpusat kepada murid, tetapi juga benar-benar menciptakan suasana menyenangkan bagi murid. Refleksi akan sangat tidak fair jika hanya ditujukan kepada murid. Benar, melakukan refleksi setelah pembelajaran—apa yang sudah dikuasi dan apa yang belum dikuasai murid adalah bagian dari penghidupan ruang kelas yang berpihak kepada murid, tetapi apakah hanya sebatas itu? Apakah itu cukup menjadi kaca mata untuk mengidentifikasi apa yang sudah baik atau apa yang terlewat selama kelas berlangsung?
Refleksi akan sangat efektif jika benar-benar mampu menjembatani seluruh entitas yang terpaut dalam pembelajaran. Tidak semata kondisi murid, tetapi juga guru sebagai coach atau sebagai pemimpin pembelajaran.
Saya kutip kembali tulisan Maxwell:
Listening is important for leaders, but if they don’t ask the right questions, they’re missing a lot … because i know they are so important to my personal leadership as well as the effectiveness of my organization.
Guru harus berani mempertanyakan satu pertanyaan ampuh setelah pembelajaran di ruang kelas berlangsung dan menjadi acuan perbaikan diri di kelas berikutnya. Pertanyaan itu adalah: “Apa yang perlu Bapak/Ibu perbaiki dari kelas kita hari ini?” Artinya, kita memakai kaca mata murid untuk mampu menghargai kejujuran, berpikir kritis, dan juga kemerdekaan. Tentu guru juga harus mempertanyakan apa yang sudah baik di kelas dan apa tanggapan muridnya terhadapnya, tetapi adalah klise ketika guru hanya mampu bertanya apa yang sudah baik dari kelasnya—berkenaan dengan performanya sebagai guru—tanpa mempertanyakan apa yang harus ia perbaiki di kelas berikutnya.
Rasa “marah” atau “kesal” dan sebagainya—terkait emosi-emosi negatif, pasti pernah dialami oleh setiap guru dalam menghadapi murid yang beragam. Apalagi pasca pandemi Covid-19 yang mengusung learning loss yang cukup akut. Ketika murid mengungkapkan pujian terhadap gurunya sekaligus hal yang ingin diperoleh dari gurunya, adalah indikasi bahwa pembelajaran yang bermakna telah berlangsung di ruang kelas. Guru merdeka sanggup melakukan refleksi seekstrim itu demi kelas yang jauh lebih bermakna. Tidak sekadar bertanya apa yang murid butuhkan, apakah di kelas murid memperoleh kebutuhan tersebut, tetapi juga sejauh mana guru mampu membersamai pembelajaran bermakna bagi murid, apakah murid bahagia di kelasnya, dan apa yang harus ia perbaiki di kelas hari ini demi kelas yang jauh lebih menyenangkan dan bermakna di ruang-ruang kelas berikutnya.
Benar ruang kelas tidak cukup mumpuni tanpa keterkaitannya dengan entitas lain dalam trikonsentris pendidikan, yaitu keluarga dan masyarakat. Ketiga elemen ini adalah kesatuan yang utuh. Namun, sekolah selalu menjadi tempat menarik untuk dikulik.
Ki Hajar Dewantara sebagai pesohor pendidikan Indonesia mengatakan pendidikan sebagai rangkaian proses untuk memanusiakan manusia didasarkan pada asas kemerdekaan dengan memakai istilah among. Yang memiliki arti murid harus memiliki jiwa merdeka dalam artian merdeka secara lahir dan batin. Yakni melarang adanya hukuman dan paksaan terhadap murid karena akan mematikan jiwa dan kreativitasnya. [3]
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Erlina-Anriani-Siahaan-guru-SMA-Pematangsiantar.jpg)