Catatan Sepak Bola
Erick Thohir dan PSSI dalam Cengkraman Tangan-tangan Jahat
Erick pandai dalam menentukan skala prioritas. Seperti dokter ahli, dia hebat dalam melakukan hipotesa penyakit. Dan ini sudah dibuktikannya.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
SETELAH sepak bola kita, sepak bola Indonesia, kembali dihantam badai dan memaksa FIFA turun tangan, satu harapan mencuat. Harapan ini bernama Erick Thohir. Iya, FIFA tidak membekukan PSSI, tidak mengasingkan Indonesia dari panggung internasional. Namun mereka mengajukan syarat. Satu di antaranya, “kabinet PSSI” harus dirombak secara menyeluruh.
PSSI tak melawan. Mereka merespon keputusan FIFA dengan menggelar Kongres Luar Biasa (KLB). Namun tak banyak khalayak sepak bola Indonesia, dalam arti yang bukan bagian dari “birokrasi sepak bola”, yang menaruh perhatian serius.
Sikap yang rasa-rasanya bisa dimaklumi. Ini merupakan KLB keenam terhitung sejak 2011 –dua di antaranya terjadi di tahun 2019. Jumlah ini bahkan lebih banyak ketimbang medali emas yang diperoleh Tim Nasional Indonesia di SEA Games.
Sampai kemudian nama Erick Thohir muncul. Mengejutkan, sekaligus menyenangkan, karena setidaknya publik sepak bola jadi punya figur pilihan yang benar-benar patut dipertimbangkan untuk dipilih. Nama yang punya rekam jejak terang di sepak bola, dan –ini barangkali yang terpenting– bukan merupakan bagian dari birokrasi sepak bola Indonesia yang serba ruwet dan njelimet, tapi kosong tak berisi.
Erick memang lebih banyak berkiprah di luar organisasi PSSI. Ia tercatat pernah (dan masih) memiliki saham mayoritas Persib Bandung dan Persis Solo. Ia juga menjadi bos di Oxford united di Liga Inggris (divisi tiga) dan DC United di Major League Soccer (MLS), liga sepak bola utama Amerika Serikat.
Paling fenomenal tentu saja ketika ia mengambilalih saham mayoritas Inter Milan, dan jadi presiden klub menggantikan sang legenda Massimo Moratti.
Di luar sepak bola, Erick Thohir berkecimpung di kompetisi basket. Tak tanggung-tanggung, ia merambah sampai ke NBA, kompetisi basket paling masyhur di dunia. Bersama 13 rekannya, yang semuanya berasal dari Eropa dan Amerika Serikat, Erick membentuk konsorsium untuk membeli dan memiliki saham Philadelphia 76ers. Sebelumnya, ia juga tercatat sebagai pemilik klub basket tanah air, Satria Muda.
Dengan kata lain, Erick sebenarnya memahami birokrasi juga. Bahkan lebih baik, karena ruang-ruang birokrasi yang ia masuki ini mengerucut pada pengelolaan organisasi, pada manajerial, yang berorientasi hasil: menang, juara, popularitas, keuntungan finansial. Bukan sekadar teori.
Erick, bersama timnya, datang untuk bekerja. Mereka memperbaiki kinerja klub. Contohnya di Sixers. Saat Erik masuk, klub yang melahirkan banyak pemain besar NBA ini, termasuk Allen Iverson, sedang dalam kondisi buruk. Prestasi anjlok, keuangan remuk redam hingga membuat mereka berada di ambang kebangkrutan.
Langkah-langkah perbaikan manajerial yang dilakukan kemudian berhasil menyelamatkan Sixers. Keuangan beranjak sehat, dan prestasi, pelan-pelan, kembali moncer.
Pencapaian-pencapaian ini, sedikit banyak, mengindikasikan satu hal: Erick pandai dalam menentukan skala prioritas. Seperti dokter ahli, dia hebat dalam melakukan hipotesa penyakit.
Ia, dan timnya, bekerja cepat membidik sasaran. Tidak buang-buang waktu menyoroti yang tak perlu. Ini tercermin dari program-program yang ditawarkannya saat mengajukan diri sebagai Ketua Umum PSSI. Program yang tak muluk, yang rasa-rasanya, mengacu pada kapasitas dan reputasinya, akan bisa diwujudkan.
Erick akan melanjutkan Liga 2 dan Liga 3 yang tertunda. Ini tidak sulit. Saat penghentian, sejumlah klub memilih tidak melanjutkan kompetisi dengan berbagai alasan. Terutama soal biaya. Erick hanya perlu bersikap tegas. Kalau memang tidak sanggup, berarti memang tidak siap. Lanjutkan dengan klub yang siap.
Bagaimana yang tetap tak siap? Turun saja ke Liga 3. Berarti mereka belum profesional. Masih amatir. Masih bergantung pada, katakanlah, uluran tangan pemerintah daerah. Jadi tempat yang pantas bagi mereka memang di sini.
Program kedua, sebagaimana program keempat, juga tidak terlalu sulit. Perkara menerapkan VAR di Liga 1 dan membangun training center untuk Tim Nasional Indonesia, juga terletak pada biaya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Erik3.jpg)