Lipsus

Pemprov Sumut Minta Kosongkan Lahan Bumi Perkemahan, Warga Terkejut Ada Ancaman Pengusiran

Ratusan warga di kawasan Bumi Perkemahan terancam diusir dari lahan yang telah mereka tempati bertahun-tahun.

TRIBUN MEDAN/ABDAN SYAKURO
Sejumlah warga Bandar Baru Sibolangit sedang melakukan aksi di depan Kantor DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Nomor 5, Kota Medan, Senin (14/11) pagi. Warga menolak penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumut melalui Dinas Pendidikan serta Dinas Pemuda dan Olahraga. 

"Pada zaman rezim Soeharto masyarkat nggak ada yang berani protes dan bertanya. Karena kalau tidak dikasih surat lahan ini, komandan Koramil langsung nuduh PKI. Kata PKI pada waktu itu sebagai momok menakutkan bagi masyarakat," bebernya.

Lalu, Beni mengungkapkan ketika itu masyarakat di sana hanya bisa sabar menanti lahan-lahan mereka dan suratnya dikembalikan.

Seiring berjalannya waktu, lahan ratusan hektare itu ternyata tidak dikelola dengan baik oleh BUMN dan kembali menjadi semak belukar. Kemudian, warga di sana kembali mencoba menggarap tanah tersebut, dan menjadikannya lahan pertanian serta mendudukinya kembali.

"Pelan-pelan masyarakat yang merasa pemilik awalnya, kembali menguasai dan mengusahainya sebagai lahan pertanian," ucapnya. Setelah dikuasai lagi oleh masyarakat, tidak pernah adan terjadi konflik agraria di sana. Pada masa reformasi tahun 1998 lahan- lahan tersebut dikembalikan kembali seutuhnya kepada masyarakat.

"Masa reformasi 98 rupanya karena ada gejolak, semakin luaslah lahan yang diusahai dan kuasai masyarakat tanpa perlawanan dari pihak BUMN," kata Beni. Selama 1998, mereka merasa tidak pernah ada masalah menduduki lahan di sana.

Tapi akhirnya, pada Oktober 2022, warga menerima surat pemberitahuan bahwa lahan tersebut milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengklaim bahwa, mereka memiliki sertifikat tahun 1988 atas kepemilikan lahan tersebut.

"Belakangan ini setelah banyaknya petani yang menguasai dan mengusahakan lahan ini, berdirilah rumah-rumah. Seiring berjalannya waktu, pihak PTP atau BUMN yang tadinya menguasai mundur, karena biaya operasinal tidak ada subsidi dari manapun," ujarnya.

"Belakangan ini tanpa sepengetahuan kami, dengan cara sepihak Pemprov memberikan surat peringatan pengosongan lahan dengan alasan tanah tersebut mereka pinjam pada 1974. Pemprov Sumut mengklaim, tanah kami milik mereka dengan penerbitan sertifikat hak guna pakai nomor 002 dan 003 tahun 1988," kata Beni.

Ia membeberkan, semasa kepemimpinan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mereka baru diusik. "Setelah zaman Edy Rahmayadi inilah terjadi masalah, sebelumnya tidak pernah ada masalah," ungkapnya.

Bukan hanya Beni yang merasakan konflik lahan di sana, warga lainnya Dariatmo juga menceritakan sejarah lahan tersebut. Pada tahun 1972, ia mengaku masih kecil. Ketika itu ia  bersama dengan orangtuanya sedang bertani di sawah milik mereka.

Tiba-tiba, sekelompok pria berbaju loreng mendatangi dan memaksa mereka untuk meninggalkan lahan tersebut. Kala itu, pria berpakaian loreng itu menyampaikan bahwa lahan tersebut akan dipakai untuk kegiatan Jambore Pramuka.

"Tahun 72 di sana padi semua. Saat itu, aku masih kecil. Tentara bawa laras panjang minta kami untuk pergi detik itu juga. Kalau tidak dikosongkan ditudih Bapakku PKI," ujarnya.

Dengan berat hati, keluarganya pun langsung meninggal lahan pertanian itu tanpa membawa apapu.

"Zaman itu, semua penduduk tidak boleh lagi memasuki pekarangan yang akan dibuat kegiatan Jambore. Kami mau ngambil kayu di dalam juga nggak boleh. Kalau kedapatan langsung diredam ataupun dipopor pakai senjata," tambahnya.

Warga lainnya, Suludin mengaku sejak lahan tersebut dipakai hingga saat ini, Pemprov Sumut tidak pernah mengeluarkan surat Pajak Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB untuk masyarakat di sana.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved