Lipsus
Pemprov Sumut Minta Kosongkan Lahan Bumi Perkemahan, Warga Terkejut Ada Ancaman Pengusiran
Ratusan warga di kawasan Bumi Perkemahan terancam diusir dari lahan yang telah mereka tempati bertahun-tahun.
TRIBUN-MEDAN.COM, LUBUKPAKAM - Ratusan warga Dusun I dan V, Desa Bandarbaru, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang atau kawasan Bumi Perkemahan terancam diusir dari lahan yang telah mereka tempati bertahun-tahun.
Ancaman pengusiran tersebut bermula ketika, sejumlah personel Satpol PP datang secara tiba-tiba menempelkan surat peringatan pertama. Mereka menempelkan surat tersebut di depan rumah warga pada Oktober lalu.
Seketika warga terkejut, dan meresponsnya dengan perlawanan. Sebab, sudah berpuluh-puluh tahun mereka tinggal di lokasi tersebut dan tidak pernah ada konflik lahan. Dalam surat tersebut, pihak Pemerintah Provinsi Sumut mengklaim bahwa lahan seluas 229 hektare yang diduduki sekitar 400 kepala keluarga (KK) itu milik mereka.
Lalu, pada Rabu, 9 November 2022 ratusan personel gabungan dari TNI-Polri, dan Satpol PP kembali datang untuk mengantar surat peringatan kedua. Pada saat itu, ratusan warga yang tidak terima langsung melakukan perlawanan dan berunjuk rasa sampai memblokade jalan lintas Medan-Berastagi.
Informasi pemberian surat peringatan ketiga terus menghantui warga di dua dusun itu. Sepekan kemudian atau Senin, 14 November 2022 penduduk dua dusun tersebut berunjuk rasa besar-besaran di depan Gedung DPRD Sumut.
Menurut seorang warga Beni Amin, mereka telah menduduki lahan tersebut sejak tahun 60-an atau sudah puluhan tahun. Ia juga menceritakan, sejarah masyarakat di sana menguasai lahan tersebut. Awalnya lahan seluas ratusan hektare tersebut adalah milik Kesultanan Deli.
Kesultanan memberi hak guna pakai kepada perusahaan perkebunan teh, pada 1954. Setelah hak guna, perusahaan perkebunan teh itu habis masa kontraknya. Lahan-lahan itu diserahkan kepada masyarakat di sana.
Lalu, seiring berjalannya waktu, pada 1972 lahan yang sudah digarap warga dipinjam pemerintah untuk kegiatan Pramuka atau Kwartir Daerah (Kwarda).
"Sebelum dipakai Kwarda, tanah ini adalah tanah masyarakat, sebagai lahan pertanian. Jadi, begitu tahun 1972 mulailah ada kegiatan Pramuka pada zaman Presiden Soeharto," kata Beni kepada Tribun Medan, Kamis (17/11).
Kemudian, lanjutnya, pada 1974 diadakan kegiatan Jambore Daerah Deliserdang dan tahun 1977 diadakan Jambore Nasional di kawasan tersebut. "Tahun 1977 ditetapkanlah Bumi Perkemahan Sibolangit ini menjadi tuan rumah Jambore Nasional," sebutnya.
Beni mengungkapkan, terlaksananya Jambore di sana bukan tidak melalui proses yang panjang. Pihak panitia kala itu, bersama TNI AD melalui Koramil di sana meminta warga untuk menyerahkan lahan-lahan yang telah diduduki.
Anggota Koramil di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, mendesak warga di sana untuk menyerahkan surat hak milik atau SHM tanah mereka. Alasannya, agar SHM masyarakat diperbaharui dan dikembalikan lagi setelah kegiatan Jambore Nasional selesai.
"Sementara status tanah yang tadinya lahan pertanian itu mulai dikuasai oleh panitia. Pada waktu itu Komandan Koramil Samin Tarigan," katanya. "Pak Samin Tarigan ini dengan anggotanya mendatangi petani-petani untuk meminta surat tanah supaya diperbarui. Nantinya setelah Jmbore Nasional selesai akan dikembalikan kepada petani."
Tapi, setelah Jmbore Nasional selesai surat mereka tidak pernah dikembalikan dan lahan tersebut diserahkan kepada BUMN atau PTP untuk dikelola."Rupanya pihak pemerintah memberikan kepada BUMN yang bergerak pada waktu itu untuk mengelola lahan ini semua," ucapnya.
Kala itu, isu Partai Komunis Indonesia atau PKI masih menjadi momok di tengah masyarakat yang membuat pemilik atau penggarapan awal lahan-lahan di sana, ketakutan protes dan meminta kembali surat lahan mereka.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/14112022_UNJUK-RASA_ABDAN-SYAKURO-4.jpg)