Ngopi Sore

Ibu Mega Makin Sering Marah-marah, Apakah Beliau Sudah Lelah?

Kemarahan-kemarahan Megawati bisa jadi alamat bahaya bagi PDIP di 2024. Apalagi, di lain sisi, "puteri mahkota" mereka sama sekali tak bisa diandalkan

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Tribunews/HO
DOKTOR - Megawati Soekarnoputri berfoto usai menerima anugerah gelar Doktor Honoris Causa Bidang Kemanusiaan dari Universitas Soka Tokyo, Jepang, beberapa waktu lalu. 

TAHUN 1991, Elpamas mengeluarkan album bertajuk Tato yang di dalamnya memuat lagu Pak Tua. Ditulis Pitat Haeng (disusun dari "Bahasa Dagadu"; bahasa para gali di Jogja, yang jika di-Indonesia-kan akan berbunyi 'Iwan Fals'), lagu ini melesatkan satu kalimat yang menyentak: 'Pak Tua, sudahlah, engkau sudah terlihat lelah...'

Banyak interpretasi dari Pak Tua, persisnya, siapa sebenarnya sosok yang dimaksud oleh Iwan Fals alias Pitat Heang ini. Ada yang bilang Sudomo (Laksamana TNI Purnawirawan), Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atawa Pangkobkamtib, sekaligus "tukang gebuk", satu di antara "algojo" orde baru paling ditakuti.

Ada juga yang bilang Pak Tua adalah Suharto sendiri. Tahun 1991 menjadi periode keempat kepemimpinannya. Suharto, melalui Golongan Karya (Golkar) sebagai kendaraan politiknya, telah memenangkan empat kali Pemilihan Umum (Pemilu) yakni di tahun 1971, 1977, 1982, dan 1987, dan naga-naganya akan mengulangnya pula di Pemilu 1992. Suharto lahir di tahun 1921. Artinya, di tahun 1991, dia sudah berusia 70. Lebih tua lima tahun dari Sudomo yang lahir tahun 1926.

Tahun itu, baik Sudomo maupun Suharto masih segar-bugar. Baik secara fisik maupun pikiran. Dan memang, Elpamas dan Iwan Fals tidak hendak menyoroti kedua hal ini. Penekanan lagu Pak Tua terletak pada kekuasaan Suharto dan Orde Baru yang dinilai sudah terlalu lama. Sudah lebih panjang dua tahun dibanding masa kekuasaan Sukarno dan Orde Lama (22 tahun jika akhir kekuasaan ini dihitung dari awal kekuasaan Suharto), dan kekacauan demi kekacauan mulai lebih sering terjadi.

Kebijakan politik, ekonomi, pertahanan keamanan dan ketertiban, makin jauh dan tidak lagi berpihak sepenuhnya kepada rakyat. Keresahan makin besar lantaran kroni-kroni Suharto, tak terkecuali dari kalangan keluarga, makin terang-terangan ikut menikmati kekuasaan.

Namun kita tahu lagu ini tidak membawa dampak apa-apa terhadap kekuasaan Suharto dan Orde Baru. Walau sempat tayang di televisi dan diputar di berbagai stasiun radio, pemerintah yang represif dan agresif segera memberangusnya. Album Tato hilang dari pasaran. Kalau pun ada hanya beredar dari tangan ke tangan lewat pasar gelap, dengan sampul yang berbeda. Persis buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Dan kekuasaan Suharto baru benar-benar berkesudahan tujuh tahun kemudian, dalam usia 77 –setelah dia memenangkan pemilu dua kali lagi (1992 dan 1997).

Meski demikian, lagu Pak Tua mendapatkan tempat tersendiri. Seperti sejumlah lagu Iwan Fals yang timeless, tak lekang oleh waktu, kerap muncul dari balik relung ingatan tatkala ada peristiwa-peristiwa yang menghentak menghebohkan. Perihal bencana alam akibat perambahan hutan ada lagu Isi Rimba tak Ada Tempat Berpijak, tentang pelayanan rumah sakit yang amburadul ada Ambulance Zig-zag, mengenai polisi yang suka suap dan korup ada Kisah Sepeda Motorku dan Kereta Tiba Pukul Berapa, terkait anggota parlemen yang melempem ada Wakil Rakyat, dan masih banyak lagi.

Lalu di mana tempat lagu Pak Tua? Bukankah Suharto sudah turun? Benar, Suharto sudah tidak berkuasa dan telah dipanggil Yang Maha Kuasa, tetapi perlu digarisbawahi bahwa lagu ini juga bicara perihal sikap. Perihal kesadaran diri. Dan sekarang (sebenarnya sudah sejak beberapa tahun lalu), banyak yang mengait-kaitkannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Pada periode akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an (terutama pada 1993 sampai 1996), Megawati merupakan inspirasi perlawanan. Ia menjadi semacam keajaiban politik kontemporer. Oase yang menyejukkan di tengah keangkeran Orde Baru dan para algojonya yang ganas. Ketokohannya disamakan dengan dua pemimpin kharismatik di dua negara yang bermusuhan: Indira Gandhi dari India dan Benazir Bhuto dari Pakistan.

Megawati berbeda dibandingkan anak-anak presiden yang ujug-ujug masuk ke politik dan langsung pula jadi pemimpin. Ia betul-betul membangun karier politik dari tingkat paling bawah. Saat mahasiswa, Megawati berkecimpung di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Setelah itu ia masuk ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan tahun 1986 terpilih menjadi Wakil Ketua PDI Cabang Jakarta Pusat.

Tujuh tahun berselang, diiringi dinamika politik yang serba panas, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum. Ini terbilang sangat luar biasa. Megawati bisa menang di tengah "gencetan" sana-sini yang dilakukan oleh tangan-tangan tak terlihat yang bekerja untuk pengampu kekuasaan. Hal yang kemudian hanya bisa disamai oleh KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur, tidak "direstui" Suharto untuk menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar ke-19 yang digelar tahun 1994. Namun Gus Dur tetap maju dan menang.

Namun sebagaimana Gus Dur yang tetap "diganggu", kepemimpinan Megawati di PDI penuh onak duri. Puncaknya tahun 1996, pada kongres yang digelar di Medan, ia disingkirkan secara paksa. Pemerintah, dalam hal ini tepatnya Suharto, “menunjuk” Soerjadi sebagai ketua umum. Sebuah petaka politik yang kemudian melahirkan huru-hura lebih besar, peristiwa ‘Kuda Tuli’, Kerusuhan dua puluh tujuh Juli (27 Juli 1996).

Kemudian, sebagian besar kita tahu bagaimana kelanjutannya. Megawati yang selalu bertindak cermat dan hati-hati, plus relatif jarang mengumbar pernyataan, muncul sebagai pemenang. Ia mendirikan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan dan naik ke puncak kekuasaan. Sebagai wakil presiden, lalu presiden, lalu mengalami kekalahan dan menjadi oposan selama sepuluh tahun sebelum kembali ke lingkaran kekuasaan di dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Namun seiring itu mulai kelihatan ada perubahan padanya. Megawati mulai sering bicara, dan makin sering bicara, makin sering terpeleset. Sebutlah, misalnya, saat ia mengomentari kelangkaan minyak goreng. Megawati mengaku bingung melihat warga, terutama kalangan perempuan muda dan ibu rumah tangga yang mengantre dan berebut mendapatkan minyak goreng. Menurut dia, semestinya tidak perlu memaksakan untuk menggoreng karena ada cara memasak lain yang bisa dicoba, seperti mengukus atau merebus. Mengonsumsi makanan yang digoreng, bilang Megawati, tidak baik untuk kesehatan.

KEPEMIMPINAN KADER - Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memberikan sambutan dan sekaligus membuka Sekolah Kepemimpinan Kader PDI Perjuangan dewan provinsi, kabupaten/kota di Tapos, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
KEPEMIMPINAN KADER - Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memberikan sambutan dan sekaligus membuka Sekolah Kepemimpinan Kader PDI Perjuangan dewan provinsi, kabupaten/kota di Tapos, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. (Warta Kota/Adhy Kelana)

 

Megawati kembali menuai kontroversi usai mempertanyakan sumbangsih generasi milenial. Ia menilai, generasi muda hanya bisa berdemonstrasi. Pernyataan ini diutarakannya saat mengomentari rangkaian unjuk rasa mahasiswa menolak omnibus law UU Cipta Kerja.

Lalu ada pula ucapan mengenai jatah menteri. Pada Kongres V PDI-P di Denpasar, Bali, tahun 2019, usai Jokowi dan Ma'ruf Amin terpilih sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden 2019-2024 melalui Pilpres 2019, Megawati mengatakan bahwa lantaran kadernya akan masuk periode kedua menjabat presiden, maka layak jika dalam kabinet baru jatah menteri untuk kader PDI Perjuangan mesti lebih banyak. Meski nadanya berguyon, tak ayal ucapan ini jadi sorotan tajam. Sebelumnya, dalam entah berapa kali kesempatan, ia menyebut Jokowi sebagai petugas partai.

Belakangan, bukan lagi hanya berbicara, Megawati kerap pula mengumbar kemarahan. Celakanya, kemarahan-kemarahan ini, nyata sekali bukan sebangsa kemarahan yang elegan dan terstruktur dan terkendali, melainkan sekadar kemarahan yang dilepaskan oleh orang-orang lanjut usia yang suka merajuk dan kembali bersikap layaknya anak-anak. Teranyar, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PDI Perjuangan di Jakarta, "repetan" Megawati melesat ke sana-sini, menyinggung Papua, menyinggung tukang bakso.

Akibatnya terang. Ia jadi lelucon lagi di media sosial. Meme-meme dan potongan videonya saat melontar amarah justru disambut olok-olok. Di lain sisi, lawan-lawan politiknya menjadikan “repetan” tersebut sebagai bahan gorengan yang aduhai. Sebentar lagi 2024. Pemilu serentak akan digelar. Pemilu legislatif, kepala daerah, dan presiden, dan PDI Perjuangan akan bertarung untuk memenangkan figur-figur pilihan mereka.

Kemarahan-kemarahan Megawati yang terkesan tak terkendali ini bisa jadi alamat bahaya. PDI Perjuangan bisa ditinggalkan. Apalagi, di lain sisi, "puteri mahkota" mereka sama sekali tidak bisa diandalkan. Peluang menangnya nyaris setipis kulit bawang –dengan siapapun dia dipasangkan. PDI Perjuangan, bagaimana pun, masih perlu Megawati. Ia masih sosok sentral. Sosok andalan. The one and only!

Maka rasa-rasanya, yang perlu dilakukan PDI Perjuangan sekarang adalah bagaimana membuat Megawati tidak sering-sering marah lagi. Bagaimana agar ia tak sering-sering mengumbar bicara yang ngelantur ke sana-sini lagi. Sekiranya ia masih berkeras, barangkali boleh dicari satu dua kader untuk menyanyikan lagu Elpamas tadi di depan beliau: Bu Mega sudahlah, engkau sudah terlihat lelah... (t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved