Ngopi Sore

Aturan-aturan Covid-19 yang Membagongkan

Di satu sisi, aturan bagi para pengguna moda transfortasi udara, laut dan darat, ini terkesan memudahkan. Namun di lain sisi sungguh ngeri-ngeri sedap

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
tribunnews
ILUSTRASI pemeriksaan sampel Swab Antigen beberapa waktu lalu 

SAYA memang sengaja memilih untuk memakai kata 'membagongkan', istilah "anak-anak muda sekarang" untuk menyebut sesuatu yang aneh dan absurd hingga menimbulkan kebingungan yang aduhai. Kebingungan "level dewa".

Iya, saya memang sedang 'dibagongkan' oleh rentetan aturan baru pemerintah perihal penanganan Covid-19.

Pertama, pemberian vaksinasi booster sekarang tidak perlu menunggu enam lagi sejak vaksinasi kedua. Sekarang bisa diberikan setelah berjarak tiga bulan saja.

Kenapa bisa tenggatnya bisa diperpendek? Sampai sejauh ini tidak pernah ada penjelasan yang betul-betul jelas dan terang. Dalam hal ini tentu saja penjelasan secara medis. Misalnya, setelah beberapa lama berjalan, lewat penelitian yang dilakukan para ahli, diketahui bahwa ternyata efektivitas vaksinasi tahap kedua hanya bertahan dua sampai tiga bulan hingga pada bulan ketiga vaksinasi lanjutan sudah bisa diberikan.

Sekali lagi, tak ada penjelasan seperti ini, hingga yang mencuat di tengah masyarakat adalah kecurigaan-kecurigaan, sebab tak jauh sebelum munculnya aturan baru ini, beredar informasi-informasi yang menyebut di antara stok vaksin booster yang belum terpakai banyak yang sudah mendekati kedaluwarsa.

Apakah pemendekan tenggat pemberian vaksin ini kaitpautnya memang lebih dekat kepada perkara kedaluwarsa ketimbang medis? Saya tidak tahu, karena pengampu kebijakan juga tak memberi tahu. Tiba-tiba saja sudah dilayangkan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor SR.02.06/II/1180/2022.

Isinya menekankan bahwa 'interval pemberian dosis lanjutan (booster) bagi lansia (usia di atas 60 tahun) dan masyarakat umum perlu disesuaikan menjadi minimal tiga bulan setelah mendapat vaksinasi primer lengkap’.

Dan bahwa 'perlindungan masyarakat terhadap Covid-19 perlu terus ditingkatkan, termasuk melalui pemberian vaksinasi dosis lanjutan (booster).'

Pernyataan-pernyataan yang rasa-rasanya memang sungguh 'membagongkan' lantaran dalam Indonesian Congress Symposium on Combating Covid-19 Pandemic Without Boundaries yang digelar 16 Januari 2022 (belum lama!), Senior Manager Strategic Delivery Unit Kementerian Kesehatan, Ririn Ramadhany, justru menegaskan alasan kenapa jarak antara vaksinasi kedua dan booster harus [minimal] enam bulan.

Menurut dia, lewat penelitian pemerintah telah membandingkan efek dari mereka yang mendapatkan booster dalam waktu kurang dari enam bulan setelah suntikan kedua dengan yang mendapatkannya lebih dari enam bulan. Dari penelitian tersebut disimpulkan perbedaan interval booster kurang dari enam bulan dan lebih dari enam bulan terletak pada titer antibodi. Hasil penelitian menunjukkan antibodi peserta vaksinasi meningkat secara signifikan untuk interval lebih dari enam bulan.

Lantas kenapa sekarang tiga bulan saja sudah bisa? Apakah virusnya sudah rada-rada jinak? Atau tubuh orang-orang Indonesia makin kuat hingga antibodinya meningkat dalam kurun tiga bulan saja? Sama sekali gelap. Penjelasannya hanya pada kata-kata 'perlu disesuaikan' dan 'perlindungan perlu ditingkatkan'. That’s it! Tidak ada yang lain.

Nah, belum habis keheranan, muncul lagi aturan baru yang boleh dikata lebih ‘membagongkan’ pula. Pemerintah melalui Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Nasional mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 11 Tahun 2022 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pada Huruf F, poin 3 butir c1 disebut 'Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) yang telah mendapatkan vaksinasi dosis kedua atau vaksinasi dosis ketiga (booster) tidak diwajibkan menunjukan hasil negatif tes RT-PCR atau rapid test antigen'.

Aturan baru terkait perjalanan dalam negeri di masa pandemi Covid-19
Aturan baru terkait perjalanan dalam negeri di masa pandemi Covid-19 (tribunnews)

Di satu sisi, aturan yang berlaku bagi para pengguna moda transfortasi udara, laut, dan darat, ini terkesan memudahkan. Setidaknya sekarang mereka yang hendak bepergian tidak perlu lagi mengeluarkan uang ekstra untuk biaya swab Antigen dan PCR.

Namun di lain sisi saya kira sungguh ngeri-ngeri sedap. Dari sini seolah disimpulkan bahwa mereka yang telah mendapatkan vaksinasi lengkap telah "kebal" terhadap virus Corona penyebab Covid-19. Dengan kata lain, "tidak mungkin kena" hingga tidak perlu lagi diperiksa-periksa dengan PCR atau Antigen sekali pun.

Padahal kenyataannya tidak demikian. Saat Omicron melanda, di antara mereka yang terpapar, apakah semuanya datang dari kalangan yang belum mendapatkan vaksinasi sama sekali? Jawabannya tidak. Mereka yang sudah divaksinasi satu kali, dua kali, bahkan mendapat vaksinasi booster, tetap saja kena. Malah ada yang kondisinya jauh lebih parah dan lebih lama sembuh ketimbang mereka yang belum mendapatkan vaksinasi.

Lalu kenapa aturan seperti ini muncul? Lagi-lagi, jawabannya --setidaknya sampai sejauh ini-- belum ada. Atau jangan-jangan..., iya, jangan-jangan..., sebenarnya Covid-nya sendiri yang memang sudah tidak ada, dan telah menjadi sebangsa "flu biasa" yang bisa sembuh dengan sebutir dua butir Bodrex atawa Mixagrip saja? (t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved