Ngopi Sore
Indonesia Didepak dari All England, Netizen Langsung Amalkan Sila Ketiga Pancasila
Tujuh pemain dari negara lain yang sebelumnya terindentifikasi positif Covid-19. Mereka kemudian diperiksa ulang, dan selang 24 jam dinyatakan negatif
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Sebagai satu di antara negara yang masuk jajaran lima besar pengguna internet terbanyak di dunia, netizen (warganet) Indonesia sangat diperhitungkan. Setidaknya ada dua sebab.
Satu, aktivitas-aktivitas yang kerap menciptakan trending. Tak jarang, satu kejadian di tempat-tempat yang jauh dari Indonesia, menjadi trending justru setelah dipicunya netizen Indonesia. Di Twitter, misalnya, tanda pagar (tagar) bikinan netizen Indonesia berulangkali nangkring di posisi puncak.
Kedua adalah level keganasan. Iya, netizen Indonesia kesohor ganas, brutal, dan hampir-hampir tidak kenal ampun saat melakukan serangan terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan mereka. Dan jangan pula coba-coba melawan jika tidak ingin "mati berdiri".
Begitulah, untuk perkara-perkara ini netizen Indonesia memang tiada banding. Namun ada satu hal lain yang juga tidak kalah menggetarkan. Perkubuan! Faksi-faksi; kelompok, yang serba fanatik dan bermusuhan satu sama lain.
Paling legendaris tentulah perseteruan kubu Cebongers dan Kampreters. Mereka bergesekan soal apa saja. Bahkan setelah Prabowo Subiyanto dan Sandiaga Uno diajak Jokowi masuk kabinet, bentrok demi bentrok terus terjadi.
Meski demikian, pada momentum-momentum tertentu, kubu-kubu ini bisa bersikap dan menunjukkan cara pandang yang sama. Mereka secara nyata mewujudkan sila ketiga Pancasila, persatuan Indonesia. Mereka bersatu untuk menggempur pihak-pihak yang dinilai melecehkan harkat dan harga diri bangsa.
Yang terakhir ini baru saja terjadi. Indonesia, persisnya tim nasional bulu tangkis Indonesia, didepak oleh Badminton World Federation (BWF) dari All England. Dalam keterangan resminya, BWF menyebut panitia turnamen "terpaksa" mengeluarkan Indonesia lantaran harus menjalankan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah Inggris melalui National Health Service (NHS).
Menurut BWF, panitia mendapatkan informasi NHS bahwa seorang di antara penumpang pesawat yang membawa tim nasional bulu tangkis Indonesia (penerbangan dari Istanbul menuju Birmingham) diketahui terjangkit virus Corona penyebab penyakit Covid-19. Aturan protokol kesehatan Inggris, siapa pun yang berada dalam radius tertentu bersama seseorang atau sekelompok orang terjangkit Covid-19, meski diperiksa dan diawasi dalam karantina selama 10 hari.
Sampai di sini barangkali tidak ada masalah. Miris memang miris. Kecewa, tentu saja. Apalagi, sampai saat keputusan ditetapkan, Indonesia telah meloloskan empat wakil ke babak perempat final. Di nomor ganda putra ada Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukomulyo dan Muhammad Ahsan/Hendra Setiawan. Kemudian ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu, dan juga ada Jonatan Christie di tunggal putra.
Apa boleh buat. Demikian peraturan di negara orang dan tim bulu tangkis Indonesia –katakanlah– sedang ketiban sial. Siapa bisa menyangka di pesawat tersebut ada yang terjangkit Covid-19? Bahwa "kecolongan" ini bisa terjadi, apakah lantaran keteledoran pihak bandara di Istanbul, persoalannya berbeda.
Namun belakangan muncul informasi lain yang melecutkan kemarahan netizen Indonesia. Informasi yang layak terpercaya lantaran dicecarkan langsung oleh sumber primer; orang yang berada di lokasi kejadian dan mengalami sendiri peristiwa ini, Marcus Fernaldi Gideon.
Marcus, lewat akun Instagram miliknya, menuliskan unek-unek yang kentara sekali bernada marah. Marcus bilang dirinya menyayangkan keputusan BWF dan memandangnya sebagai satu bentuk ketergesa-gesaan yang didasari ketidakadilan.
Tidak adil bagaimana? Menurut Marcus, ada setidaknya tujuh pemain dari negara lain yang sebelumnya terindentifikasi positif Covid-19. Mereka kemudian diperiksa ulang, dan selang 24 jam dinyatakan negatif. Sekali lagi, mereka positif. Adapun pemain-pemain bulu tangkis Indonesia belum tentu positif. Mereka hanya satu pesawat dengan orang yang disebutkan oleh panitia All England terjangkit virus –tanpa menyebutkan identitasnya. Namun, atas status seperti ini, panitia dengan serta-merta mencabut paksa keikutsertaan Indonesia dari turnamen.
Lebih aneh lagi, Neslihan Yigit, pebulu tangkis tunggal putri asal Turki yang disebut-sebut berada di pesawat yang sama dengan tim Indonesia saat berangkat dari Istanbul ke Birmingham, tetap bisa bertanding. Sampai Kamis petang (waktu Indonesia), dia masih terjadwal untuk bermain di perempat final melawan pebulu tangkis Jepang, Akane Yamaguchi.
"So why don’t we also have the same justice here?" tulis Marcus.
Tidak cuma Marcus. Pasangannya Kevin Sanjaya ikut bersuara. Demikian pula Greysia Polii. Kalimat mereka segera disambut netizen Indonesia. Tidak hanya Cebongers dan Kampreters, para pemuja K-Pop dan drakor, die hard kendang koplo, sobat ambyar dan anak-anak kopi senja, bahkan alay-alay fans karbitan Young Lex atau Jerinx SID, melepaskan identitas dan fanatisme. Mereka dengan gagah berani menyerbu akun-akun resmi media sosial milik BWF. Dalam tempo tidak lebih dari tiga jam, akun tersebut sesak dengan segenap sumpah serapah. BWF akhirnya mengunci kolom komentar akun tersebut.
Satu jalan tertutup tidak membuat mereka surut langkah. Giliran Twitter jadi sasaran. Tagar (#) BWFMustBeResponsible diapungkan dan dengan cepat merangsek ke daftar trending topic. Berkejar-kejaran dengan #ShameOnYou, #JusticeForIndonesianPlayer, #Minion, #SaveBadminton, dan #AllEngland. Sementara di Instagram dan Facebook, bertebaran meme-meme yang tiada kalah "seram".
Lalu, seperti yang juga sudah menjadi biasa di Indonesia, kalangan politisi ikut bicara. Seorang di antaranya, legislator dari partai pemenang pemilu, bilang seharusnya PBSI membawa para pemain pergi ke Birmingham dengan pesawat khusus. Jet pribadi carteran. Agar tidak bercampur dengan penumpang lain.
Pilihan lain, tim bertolak dari Indonesia jauh sebelum hari H pertandingan. Guna melewati tenggat karantina, waktu yang paling ideal antara 12 sampai 10 hari sebelumnya. Hingga kalau pun ada yang kena, tetap bisa lolos.
Dari kedua pilihan ini, rasa-rasanya pilihan kedua yang paling logis. Pertanyaannya, kenapa tidak diambil PBSI?
Persoalan biaya mungkin satu di antaranya. Membiayai tim dengan jumlah personel yang besar, di Inggris, negara yang terkenal mahal, tentu saja akan menyulitkan. Sangat mencekik leher. Jumlah yang dikeluarkan PSBI bisa lima atau bahkan sepuluh kali lipat dibanding biaya tim dalam tur Asia di Thailand awal tahun lalu.
Alasan lain barangkali saja lantaran memang All England dan BWF tidak memberlakukan aturan [yang mesti ditaati seluruh kontestan] seperti di Thailand. Peserta tidak wajib datang 12 sampai 10 hari menjelang hari pertandingan.
Harapannya, tak ada masalah yang muncul. Ternyata, kejadiannya malah begini. Nasib... nasib... (t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/all-england2.jpg)