Ngopi Sore

Kabinet Baru dan Langkah-langkah Catur Jokowi

Sejak mulai memanggil kandidat untuk mengisi komposisi menteri pada kabinet baru sampai pada pelantikannya, Jokowi seperti sedang bermain catur.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Tahun 2010, Desember, lepas sebulan setelah sampai pada usia 20, Magnus Carlsen menantang Vladimir Kramnik, raksasa catur dari Rusia. Babak kelima London Chess Classic Tournament, dan Carlsen yang menjalankan buah hitam berada dalam posisi genting. Sangat genting. Benar-benar di tepi jurang kematian.

Saat itu, tidak seorang pun pengamat catur memperkirakan Carlsen dapat lolos dari maut. Reputasi Kramnik sebagai "pembunuh berdarah dingin" makin menguatkan perkiraan itu. Sekali lagi, tak seorang pun. Termasuk Garry Kasparov, sang jenius catur yang menonton pertandingan tersebut dari jauh, lewat internet. Kasparov, konon, mencocokkan hitung-hitungannya dengan komputer penganalisis langkah catur, dan hasilnya sesuai.

Namun di London, kematian ternyata tak kunjung datang bagi Carlsen. Tiap kali ajal sudah sangat dekat, ia selalu mampu berkelit. Menggunakan langkah-langkah serba ajaib yang sebelumnya belum pernah ada dalam buku pintar catur.

Pada langkah ke 86, Kramnik yang baru sadar dirinya masuk dalam jebakan; serangan ster (ratu) tanpa kombinasi alternatif dan berimbas pengulangan langkah, menawarkan remis.

Inilah satu di antara hasil remis dalam sejarah catur yang dipandang lebih berharga dari kemenangan. Bahkan oleh sebagian pengamat level kedahsyatannya ditempatkan sedikit di atas dua kemenangan Bobby Fisher dengan siasat pengorbanannya melegenda itu; pengorbanan ster kontra Donald Byrne di tahun 1956 dan pengorbanan pawn (bidak) versus Boris Spassky di tahun 1972.

Fisher adalah fenomena. Pula demikian Carlsen. Tolok ukurnya bukan semata koleksi gelar. Namun lebih kepada cara bermain. Bagaimana mereka menyusun dan mengeksekusi siasat.

Baik Fisher maupun Carlsen sungguh aduhai. Sangat sukar ditebak. Langkah-langkah mereka seringkali aneh, janggal, tidak lazim dalam teori catur, hingga gagal diidentifikasi. Bahkan oleh komputer sekali pun.
Analisis komputer menunjukkan peluang Carlsen lebih kecil dari Fabiano Caruana pada babak tambahan grand final Kejuaraan Dunia Catur 2018. Beberapa kecerobohan yang dilakukannya pada babak catur klasik, membuat persentase hitung-hitungan peluangnya terus merosot.

Pecatur grandmaster Magnus Carlsen
Pecatur grandmaster Magnus Carlsen (www.chessable.com)

Nyatanya, analisis meleset lagi. Bertanding dengan metode rapid chess atau catur cepat empat babak, Carlsen tanpa ampun menggilas Caruana dalam tiga babak beruntun, dan ia, untuk kali empat secara berturut-turut meraih gelar juara dunia. Berjarak dua gelar dari Kasparov dan Emmanuel Lesker.

Saya teringat pada para grandmaster ini sejak dua hari lalu. Sejak Jokowi mulai memanggil orang-orang yang jadi kandidat untuk mengisi komposisi menteri pada kabinet baru sampai pada pelantikan menteri-menteri itu hari ini. Jokowi seperti sedang bermain catur.

Iya, saya memang suka menganalogikan langkah-langkah politik Jokowi sebagai langkah catur. Langkah-langkah yang barangkali akan membuat para grandmaster sekelas Magnus Carlsen atau Bobby Fisher atau Garry Kasparov sekalipun bisa kebingungan.

Bagaimana tidak. Ada berapa langkah yang sungguh-sungguh terkesan ajaib. Pertama, siapa menyangka, usai duel sengitnya dengan Prabowo Subianto dalam Pemilu 2014 yang berkelanjutan pada hari-hari setelahnya sampai pemilu edisi berikutnya di 2019, ia justru mengajak Prabowo masuk kabinet.

Memang pernah ada contoh serupa. Dari waktu yang lampau sebutlah William Seward. Politisi Amerika yang merupakan "musuh" Abraham Lincoln. Setelah bertahun-tahun bertarung habis- habisan, Lincoln justru mengajak Seward masuk lingkaran kekuasaannya dan memberinya kursi menteri luar negeri.

Dari jarak masa yang lebih dekat ada Hillary Clinton. Kontestasinya memang belum sampai ke pemilu presiden. Nyonya Clinton bersaing dengan Barrack Obama untuk menjadi kandidat presiden Partai Demokrat. Obama menang, dan ketika ia memenangkan pemilu, Nyonya Clinton diajaknya. Juga sebagai menteri luar negeri.

Sebagai negara yang kerap usil mengurus urusan negara orang lain dan menempatkan diri di posisi sebagai polisi dunia, menteri luar negeri memang menjadi penting dalam kabinet Amerika Serikat.

Lebih dekat lagi tentu saja dari jiran kita, Malaysia. Permusuhan Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim menjadi kisah muram tersendiri dalam sejarah negeri ini. Keduanya, dua dekade lalu, merupakan kolega politik yang kental. Sohib politik yang sangat dekat. Mahathir perdana menteri dan Anwar deputi perdana menteri. Konon, Mahathir bahkan telah menyiapkan Anwar sebagai penerusnya.

Tak disangka perkawanan ini retak. Pecah kongsi. Anwar barangkali tak sabar menunggu tongkat estafet. Lalu melakukan pergerakan-pergerakan yang membuat Mahathir marah dan mulai menyingkirkan dan menjauhkan Anwar dari politik. Bahkan kemudian kemudian masuk bui. Bukan karena kasus politik. Bukan korupsi. Melainkan kasus ganjil yang oleh sebagian kalangan di Malaysia sampai sekarang diyakini cuma akal-akalan; pelecehan dan kekerasan seksual terhadap sesama jenis. Mahathir memilih penerus lain.

Namun kini, kita juga tahu, keduanya telah "berkawan" lagi. Atas nama kepentingan yang sama: menggulingkan Nazib Razak dari tampuk kekuasaan. Dan seperti dua dekade lalu, Mahathir kembali ke kursi perdana menteri dan Anwar Ibrahim menjadi kandidat suksesornya.

Apakah pergeseran-pergeseran sikap politik ini bisa dijadikan pembanding? Jawabannya iya dan tidak. Bisa iya karena medan tarungnya memang mirip. Tidak lantaran situasionalnya berbeda. Jokowi versus Prabowo tidak sama dengan Lincoln kontra Seward, Mahathir melawan Anwar Ibrahim, apalagi persaingan Obama dan Nyonya Clinton. Medan tarung Jokowi-Prabowo tidak berhenti pada politik.

Medan tarung mereka melipir jauh sampai ke sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia yang paling dalam. Mereka, boleh dibilang, telah membelah dua Indonesia. Di mana-mana, di alam nyata dan alam maya, ada Indonesia Jokowi dan Indonesia Prabowo.

Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto (kiri) didampingi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Edhy Prabowo, keluar dari kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (21/10/2019).
Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto (kiri) didampingi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Edhy Prabowo, keluar dari kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (21/10/2019). (Tribunnews/Irwan Rismawan)

Dengan situasi seperti ini, jika melihatnya dari sudut pandang yang lugu, Jokowi seperti melakukan tindakan bunuh diri. Persis penilaian awal terhadap langkah pengorbanan ster dan pawn yang dilakukan Bobby Fisher. Jokowi seolah memberikan ruang yang besar dan lapang baginya untuk diserang. Apalagi jabatan Prabowo tidak main-main, Menteri Pertahanan.

Namun benarkah demikian? Sebagai pecatur andal, tentu ia telah menghitung-hitung semua kemungkinan. Ruang besar dan lapang memang diberikan, tetapi sebagaimana Fisher melakukan, Jokowi menyusun komposisi yang membuatnya tidak berada dalam posisi terdesak. Posisi yang sepertinya kelihatan terdesak, padahal tidak. Sebaliknya merupakan posisi yang memungkinkan untuk melakukan serangan balik cepat dan mematikan, skakmate.

Langkah membingungkan lain adalah menempatkan Jenderal TNI (Purn) Fachrul Rozi sebagai Menteri Agama dan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Kenapa Jokowi menunjuk Jenderal Fachrul Razi? Kenapa harus (mantan) tentara? Jabatan Menteri Agama, selama bertahun-tahun bahkan sejak era Orde Baru, kebanyakan dijabat oleh alim ulama. Sekalipun terkorelasi dengan partai politik, misalnya, figur-figur yang menjadi menteri tetap orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan agama kuat. Pendeknya, jika bukan "orang" Nahdlatul Ulama (NU), ya, Muhammadiyah.

Pertanyaan ini baru separuh terjawab. Jenderal Razi, usai dilantik lebih banyak bicara radikalisme ketimbang persoalan-persoalan yang "lazim" jadi ranah menteri agama. Ia tidak bicara soal jatah jemaah haji. Ia bicara radikalisme, dan sampai di sini, penunjukan Jenderal Razi mengisyaratkan bahwa Jokowi hendak masuk lebih dalam ke masalah yang belakangan memang makin kerap mengoyak-ngoyak tenunan kebangsaan.

Jokowi barangkali meyakini, masuk lewat kementerian agama akan jauh lebih efektif dibanding masuk melalui polisi atau tentara. Masalahnya, sasaran ini sulit dicapai apabila kementerian tetap dipimpin oleh alim ulama murni. Terlebih-lebih alim ulama yang sekaligus politisi partai. Ia perlu orang kuat. Persisnya orang kuat yang paham strategi tempur di satu sisi tapi religius di sisi yang lain.

Penunjukan Nadiem Makarim memunculkan kebingungan yang lain. Apa jadinya pendidikan Indonesia di tangan seorang pengusaha yang begitu muda? Bagaimana anak muda ini nantinya menghadapi para profesor, para guru besar dengan titel berderet-deret di depan dan belakang namanya; orang-orang berpendidikan tinggi yang sudah kenyang makan asam-garam dunia pendidikan selama puluhan tahun?

Pendiri layanan ojek berbasis aplikasi online GoJek, Nadiem Makarim, berfoto di kantor pusat GoJek di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Pendiri layanan ojek berbasis aplikasi online GoJek, Nadiem Makarim, berfoto di kantor pusat GoJek di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

Kebingungan-kebingungan ini, sebagaimana yang kerap terjadi di Indonesia, kemudian malah membangkitkan olok-olok. Para pengolok, tentu saja, menghubung-hubungkan olokan mereka dengan GoJek, perusahan jasa transportasi yang dilahirkan Nadiem.

Banyak sekali olokan. Jika Anda punya waktu, silakan periksa sendiri di media-media sosial. Intinya, pengolok-pengolok ini, barangkali, hendak mengatakan bahwa di tangan Nadiem, pendidikan akan kacau balau.

Benarkah demikian? Saya pernah bicara dengan Nadiem. Beberapa kali pula pernah mendengarnya bicara di podium, baik saat membicarakan GoJek maupun perihal perusahaan digital secara umum. Nadiem menggarisbawahi dua poin: keahlian dan kreativitas.

Dalam pandangannya, sebagian besar orang muda di Indonesia, calon sarjana dan sarjana yang baru lepas dari universitas-universitas, tidak punya keahlian apa-apa kecuali ilmu yang mereka peroleh di bangku kuliah. Itu pun, hanya sepersekian yang betul-betul mumpuni, yang betul- betul menguasai bidangnya. Modal begini jelas tak cukup untuk bersaing di dunia kerja. Celakanya, miskin kreativitas pula.

Masalah ini sebenarnya berakar dari bawah. Dari pendidikan tingkat dasar. Hakekat pendidikan di Indonesia masih kolonialis. Pendidikan dengan pemeringkatan sebagai tolok ukur sahih. Pemeringkatan yang berangkat dari hasil-hasil ujian.

Bagaimana mekanisme ujiannya? Sejak zaman jebot belum berubah. Pemberian soal-soal dan murid menjawabnya dengan menghapal. Kecuali bidang-bidang eksakta, jawaban benar adalah jawaban yang serupa dengan yang tertera di buku. Serupa persis hingga ke tanda baca. Perbedaan, walau konteksnya tidak melenceng, dianggap sebagai kesalahan.

Nadiem melihat persoalan ini dan memberikannya sebagai jawaban atas pertanyaan Jokowi. Saya membayangkan, sekiranya dia cukup punya cukup keberanian untuk mengubah pandangan dan alur pikiran "kaum tua" di dunia pendidikan Indonesia, dalam dua tiga tahun ke depan sekolah-sekolah di negeri ini akan jadi sekolah yang lebih ramah anak. Bukan sekolah yang penuh dengan aturan kolot dan tugas-tugas dan buku-buku setebal batu bata yang harus dibawa anak tiap hari hingga membuat punggung mereka jadi bungkuk sebelum waktunya.

Masih banyak lagi langkah catur Jokowi yang jika dibahas akan membuat tulisan ini jadi lebih panjang. Misalnya, kenapa Susi Pudjiastuti, menteri kesayangan publik, justru terlempar dari kabinet. Adakah dugaan lain yang lebih kuat dari isu perseteruannya dengan Luhut Panjaitan? Atau perihal "pemaksaan" Tito Karnavian mengakhiri kariernya sebagai polisi. Kenapa mesti dia yang didudukkan di pos Menteri Dalam Negeri?

Atau kenapa Yasonna Hamonangan Laoly masuk kabinet lagi? Kenapa Jokowi meletakkannya di bawah Mahfud MD? Padahal kedua orang ini, berbeda pandangan perihal Rancangan Undang Undang, termasuk RUU KPK. RUU ini telah sah jadi UU dan Mahfud merupakan orang yang termasuk paling kencang bersuara agar presiden mengeluarkan Perppu.

Masih ada yang lain, dan seperti saya bilang, akan panjang apabila diteruskan. Mungkin lain kali. Sekarang saya cukupkan sampai di sini.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved