Ngopi Sore
Kabinet Baru dan Langkah-langkah Catur Jokowi
Sejak mulai memanggil kandidat untuk mengisi komposisi menteri pada kabinet baru sampai pada pelantikannya, Jokowi seperti sedang bermain catur.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Tak disangka perkawanan ini retak. Pecah kongsi. Anwar barangkali tak sabar menunggu tongkat estafet. Lalu melakukan pergerakan-pergerakan yang membuat Mahathir marah dan mulai menyingkirkan dan menjauhkan Anwar dari politik. Bahkan kemudian kemudian masuk bui. Bukan karena kasus politik. Bukan korupsi. Melainkan kasus ganjil yang oleh sebagian kalangan di Malaysia sampai sekarang diyakini cuma akal-akalan; pelecehan dan kekerasan seksual terhadap sesama jenis. Mahathir memilih penerus lain.
Namun kini, kita juga tahu, keduanya telah "berkawan" lagi. Atas nama kepentingan yang sama: menggulingkan Nazib Razak dari tampuk kekuasaan. Dan seperti dua dekade lalu, Mahathir kembali ke kursi perdana menteri dan Anwar Ibrahim menjadi kandidat suksesornya.
Apakah pergeseran-pergeseran sikap politik ini bisa dijadikan pembanding? Jawabannya iya dan tidak. Bisa iya karena medan tarungnya memang mirip. Tidak lantaran situasionalnya berbeda. Jokowi versus Prabowo tidak sama dengan Lincoln kontra Seward, Mahathir melawan Anwar Ibrahim, apalagi persaingan Obama dan Nyonya Clinton. Medan tarung Jokowi-Prabowo tidak berhenti pada politik.
Medan tarung mereka melipir jauh sampai ke sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia yang paling dalam. Mereka, boleh dibilang, telah membelah dua Indonesia. Di mana-mana, di alam nyata dan alam maya, ada Indonesia Jokowi dan Indonesia Prabowo.
Dengan situasi seperti ini, jika melihatnya dari sudut pandang yang lugu, Jokowi seperti melakukan tindakan bunuh diri. Persis penilaian awal terhadap langkah pengorbanan ster dan pawn yang dilakukan Bobby Fisher. Jokowi seolah memberikan ruang yang besar dan lapang baginya untuk diserang. Apalagi jabatan Prabowo tidak main-main, Menteri Pertahanan.
Namun benarkah demikian? Sebagai pecatur andal, tentu ia telah menghitung-hitung semua kemungkinan. Ruang besar dan lapang memang diberikan, tetapi sebagaimana Fisher melakukan, Jokowi menyusun komposisi yang membuatnya tidak berada dalam posisi terdesak. Posisi yang sepertinya kelihatan terdesak, padahal tidak. Sebaliknya merupakan posisi yang memungkinkan untuk melakukan serangan balik cepat dan mematikan, skakmate.
Langkah membingungkan lain adalah menempatkan Jenderal TNI (Purn) Fachrul Rozi sebagai Menteri Agama dan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Kenapa Jokowi menunjuk Jenderal Fachrul Razi? Kenapa harus (mantan) tentara? Jabatan Menteri Agama, selama bertahun-tahun bahkan sejak era Orde Baru, kebanyakan dijabat oleh alim ulama. Sekalipun terkorelasi dengan partai politik, misalnya, figur-figur yang menjadi menteri tetap orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan agama kuat. Pendeknya, jika bukan "orang" Nahdlatul Ulama (NU), ya, Muhammadiyah.
Pertanyaan ini baru separuh terjawab. Jenderal Razi, usai dilantik lebih banyak bicara radikalisme ketimbang persoalan-persoalan yang "lazim" jadi ranah menteri agama. Ia tidak bicara soal jatah jemaah haji. Ia bicara radikalisme, dan sampai di sini, penunjukan Jenderal Razi mengisyaratkan bahwa Jokowi hendak masuk lebih dalam ke masalah yang belakangan memang makin kerap mengoyak-ngoyak tenunan kebangsaan.
Jokowi barangkali meyakini, masuk lewat kementerian agama akan jauh lebih efektif dibanding masuk melalui polisi atau tentara. Masalahnya, sasaran ini sulit dicapai apabila kementerian tetap dipimpin oleh alim ulama murni. Terlebih-lebih alim ulama yang sekaligus politisi partai. Ia perlu orang kuat. Persisnya orang kuat yang paham strategi tempur di satu sisi tapi religius di sisi yang lain.
Penunjukan Nadiem Makarim memunculkan kebingungan yang lain. Apa jadinya pendidikan Indonesia di tangan seorang pengusaha yang begitu muda? Bagaimana anak muda ini nantinya menghadapi para profesor, para guru besar dengan titel berderet-deret di depan dan belakang namanya; orang-orang berpendidikan tinggi yang sudah kenyang makan asam-garam dunia pendidikan selama puluhan tahun?
Kebingungan-kebingungan ini, sebagaimana yang kerap terjadi di Indonesia, kemudian malah membangkitkan olok-olok. Para pengolok, tentu saja, menghubung-hubungkan olokan mereka dengan GoJek, perusahan jasa transportasi yang dilahirkan Nadiem.
Banyak sekali olokan. Jika Anda punya waktu, silakan periksa sendiri di media-media sosial. Intinya, pengolok-pengolok ini, barangkali, hendak mengatakan bahwa di tangan Nadiem, pendidikan akan kacau balau.
Benarkah demikian? Saya pernah bicara dengan Nadiem. Beberapa kali pula pernah mendengarnya bicara di podium, baik saat membicarakan GoJek maupun perihal perusahaan digital secara umum. Nadiem menggarisbawahi dua poin: keahlian dan kreativitas.
Dalam pandangannya, sebagian besar orang muda di Indonesia, calon sarjana dan sarjana yang baru lepas dari universitas-universitas, tidak punya keahlian apa-apa kecuali ilmu yang mereka peroleh di bangku kuliah. Itu pun, hanya sepersekian yang betul-betul mumpuni, yang betul- betul menguasai bidangnya. Modal begini jelas tak cukup untuk bersaing di dunia kerja. Celakanya, miskin kreativitas pula.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/catur-jokowi4.jpg)