Ngopi Sore

Perkara Berak di Jakarta

Jika sudut pandang bilangan dialihkan ke sudut pandang persoalan inti, maka angkanya tak saja berubah jadi besar, tetapi juga terasa mengerikan.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUN MEDAN/T AGUS KHAIDIR
SALAH satu sudut Kota Jakarta, permukiman kumuh dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit. 

Sekiranya Anda berdiri di balik kaca satu ruangan di gedung bertingkat di Jakarta, katakanlah di tingkat delapan sampai sepuluh atau lebih tinggi, lalu memandang hamparan di bawahnya, apa yang Anda rasakan?

Apakah seperti Marno dalam cerita Umar Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan? Marno gamang. Bukan lantaran dia takut ketinggian. Melainkan karena dibekap perasaan terasing. Marno menatap lampu-lampu yang gemerlapan itu dan melihatnya sebagai kunang-kunang yang beterbangan di sawah embahnya di desa.

Baginya, lampu-lampu itu bukanlah wajah asli Manhattan. Bukan wajah New York yang sebenarnya. Sekadar tipuan. Fatamorgana kota besar dengan segenap persoalan yang berkelindan di baliknya.

Apakah Anda juga demikian? Mungkin saja tidak. Mungkin saja Anda termasuk "Homo Jakartanensis" dari jenis yuppies, kaum pemuja eksistensi yang menandai tiap rekam jejak dengan swafoto. Jepret sana jepret sini, lalu mengunggahnya ke media sosial. Ke Facebook, ke Instagram, untuk menjaring 'like'.

Namun termasuk "Homo Jakartanensis Yuppies" atau bukan, rasa-rasanya, Anda pasti sepakat bahwa tiap kota besar memang selalu menyimpan persoalan. Terutama persoalan-persoalan sosial.

Kemacetan-kemacetan panjang bahkan di jalur tol. Sampah yang menyumbat gorong-gorong hingga kerap mengakibatkan banjir di musim hujan. Pedagang kaki lima yang seenak udel mengakuisisi trotoar. Corat-coret gambar cabul di dinding jembatan layang. Gelandangan dan pengemis patah tumbuh hilang berganti. Pengamen bermodal kecrekan dari tutup botol kecap dan tak tahu cara menyanyi. Perzinahan terbuka dan perzinahan tertutup. Kejahatan-kejahatan jalanan: penjambretan, perampokan, penganiayaan, pembunuhan. Peredaran narkotika. Kebisingan mesin-mesin absensi di kantor-kantor yang selalu bisa memaksa para pekerja melangkah tergesa-gesa.

Kini persoalan bertambah satu. Persoalan berak. Iya, berak alias buang hajat alias buang air besar alias beol alias pup. Alamakjang, bagaimana sekadar perkara berak yang sungguh sangat personal sifatnya ini bisa jadi persoalan sosial di Jakarta?

Jawabannya, bisa saja. Sebab dalam hal ini, letak persoalan bukan pada aktivitasnya, tetapi lebih kepada di mana aktivitas dilakukan.

Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2018 menunjukkan sebanyak 0,42 persen warga Jakarta atau kurang lebih 42 ribu orang (estimasi jumlah total warga 10 juta jiwa) masih melepas hajat sembarangan. Arti 'sembarangan' di sini adalah tidak berkesesuaian dengan sanitasi aman, yakni sanitasi yang terletak di dalam rumah dan terhubung dengan saluran dan tempat pengolahan limbah atau kotorannya.

Angka 0,42 sekilas pintas kecil. Sangat kecil, malah. Sama sekali tidak berarti dibanding 99,58. Pula demikian angka 42 ribu dari 10 juta (estimasi jumlah total warga Jakarta). Kecil sekali. Namun jika sudut pandang bilangan ini dialihkan ke sudut pandang persoalan inti, yaitu berak, maka angkanya tak saja berubah jadi besar, tetapi juga terasa mengerikan. Dengan sudut pandang ini, berak tak lagi jadi aktivitas yang bersifat personal.

Dapatkah Anda membayangkan 42 ribu orang berak sembarangan? Bersama-sama atau sendiri, tidak ada bedanya. Tetap saja membangkitkan gidik. Seram. Tepatnya, seram lantaran menjijikkan. Di mana kira-kira orang yang 42 ribu ini membuang hajat mereka? Di sungai? Di belakang rumah? Di sudut-sudut kebun yang gelap dan bernyamuk? Atau menggali tanah saja lalu menutupnya dengan pasir?

Anda kaum "Homo Jakartanensi" jenis yuppies, juga kaum-kaum yuppies lain di kota-kota besar lain di Indonesia, yang terbiasa nongkrong di kafe-kafe mewah beraroma wangi dan sejuk oleh pendingin udara dan harga kopinya per gelas bisa mencapai Rp 100 ribu, barangkali agak sulit membayangkan betapa di zaman serba digital seperti sekarang masih ada orang berak dengan cara begini rupa.

Namun inilah realitas sosialnya, kawan. Sisi kehidupan yang tidak dapat direkayasa, tidak dapat dipercantik dan diperindah dengan aplikasi secanggih apapun. Jakarta, faktanya, bukan melulu Senayan City. Tidak cuma Menteng. Tidak hanya Kebayoran Baru dan Pondok Indah.

Di balik tembok-tembok kompleks jet set yang dilengkapi lapangan golf dan kolam renang standar olimpiade, Jakarta juga mengandung kampung-kampung kumuh. Kampung yang rumah-rumahnya berdinding rapat bahkan menempel satu sama lain. Rumah-rumah tanpa jamban.

Mari sejenak kita tarik garis lebih jauh. Tahun 2014, laporan bersama WHO dan Unicef menempatkan Indonesia di peringkat kedua terburuk di dunia dalam klasifikasi sanitasi tak aman dan sanitasi tak layak. Menurut laporan itu, terdapat sedikitnya 54 juta orang Indonesia buang hajat sembarangan. Kita hanya kalah dari India.

Ah, sejenak saya tertawa saat pertama kali mendapati angka ini. Rasanya lucu sekali, negeri yang dikenal melahirkan banyak perempuan cantik dan lelaki tampan; sebutlah Aiswarya Ray, Deepika Padukone, atau Shah Rukh Khan, ternyata 1,1 miliar warganya berak sembarangan.

Tawa saya tak lama, memang. Langsung terhenti sebab teringat Indonesia persis berada setingkat di bawahnya. Di ASEAN kita terburuk. Cuma sedikit lebih baik dari Timor Leste dan Kamboja. Dan lima tahun setelahnya, angka yang menyedihkan ini tidak jauh bergeser.

Ironis pula karena sumbangan angka juga masih ada yang datang dari Jakarta, kota yang di lain sisi bahkan sudah dipandang kosmopolitan sebagaimana Paris, London, Sidney, Hong Kong, atau New York yang pada tahun 1970-an sudah cukup untuk membuat Marno dalam cerita Umar Kayam menjadi gamang.

KONDISI salah satu gang di kawasan Grogol Petamburan, Jakarta. Di kawasan ini disebut-sebut banyak rumah yang tidak memiliki sanitasi memadai.
KONDISI salah satu gang di kawasan Grogol Petamburan, Jakarta. Di kawasan ini disebut-sebut banyak rumah yang tidak memiliki sanitasi memadai. (kompas.com)

Kemudian, seperti yang juga sudah jadi biasa di negeri terkasih ini, perkara berak sembarangan melipir ke Anies Baswedan. Lalu ujug-ujug ke Jokowi. Gubernur Jakarta disebut tidak becus. Presiden dituding tidak becus. Mengurus orang buang hajat saja tak mampu. Lantas, ada pula yang iseng menghubung-hubungkannya dengan rencana perbaikan atap rumah dinas gubernur yang besarannya mencapai Rp 2,4 miliar.

Anies menanggapi. Bilangnya, perkara ini jadi pekerjaan rumah yang akan secepatnya diselesaikan. Kapan selesainya, tentu saja, hanya Anies dan Tuhan yang tahu. Sementara itu, bawahannya, mengajukan usul: warga yang saat ini belum punya jamban baiknya menumpang dulu di rumah tetangga yang punya jamban.

Saya tak hendak membela Anies Baswedan. Namun terlepas dari biaya renovasi atap rumah dinas yang jumlahnya menakjubkan dan usul bawahannya yang demikian aduhai tingkat kengawurannya itu, menimpakan perkara 42 ribu orang Jakarta berak sembarangan melulu pada dia rasa-rasanya tidak adil juga.

Toh ini bukan perkara baru. Jauh sebelum Anies jadi gubernur orang-orang Jakarta sudah punya kebiasaan berak sembarangan. Bahkan sejak kota ini masih disebut Batavia dan dipimpin orang Belanda bernama Jan Pieterszoon Coen.

Sang Gubernur Jenderal JP Coen, alias Tuan Mur Jangkung, berkuasa dalam dua periode berbeda di Batavia sebelum akhirnya menemui ajal tahun 1629 lantaran kolera, penyakit yang disebabkan infeksi bakteri Vibrio cholerae. Bakteri ini hidup, menyebar, dan menjangkiti lewat air dan makanan di lingkungan sekitar perairan, khususnya sungai dan danau, yang tak bersih.

Konon saat itu, kecuali di benteng yang dibangun JP Coen, memang tidak ada jamban di seantero Batavia. Semua orang berak di sungai. Termasuk Sungai Ci Liwung yang mengalir di depan benteng.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved