Ngopi Sore
Buzzer Teriak Buzzer Padahal Sama-sama Buzzer
Buzzer pada dasarnya merupakan istilah dalam aktivitas jual-beli. Istilah aslinya 'buzz marketing'. Istilah lain, 'grass-root marketing'.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Sekonyong-konyong buzzer jadi sorotan. Di mana-mana, di dunia nyata dan jagat maya, dari ruang-ruang ber-AC sampai warung-warung kopi yang berdiri di tepi parit, orang-orang bicara buzzer. Sorotan mengarah ke Istana Negara. Buzzer istana, sebutannya.
Tentu saja tendensi sebutan ini nyelekit. Buzzer dipandang sebagai hal yang nista. Dan lantaran berkaitpaut dengan istana, yang sudah barang tentu berkenaan pula dengan Presiden Jokowi, maka tingkat kenistaannya jadi berlipat beberapa kali.
Buzzer sekonyong-konyong dicap pendosa. Dicap penjahat. Mahluk-mahluk yang dilaknat Tuhan dan karenanya telah dijamin tempatnya di neraka.
Padahal buzzer tidaklah seserius itu. Mari kita lihat. Pelan-pelan, seksama, tenang, dan kalau boleh dengan kepala yang dingin dan hati yang dingin. Ketepikan sejenak syak wasangka serta curiga.
Buzzer pada dasarnya merupakan istilah dalam aktivitas jual-beli. Istilah aslinya 'buzz marketing'. Istilah lain, 'grass-root marketing'. Yaitu upaya untuk menciptakan situasi atau kondisi tertentu agar layanan, perusahaan, atau produk yang akan diresmikan atau dilepas ke pasaran dapat menarik perhatian calon-calon konsumen. Pelakunya disebut buzzer, dan tolok ukur keberhasilan kerja mereka adalah sejauh mana efek buzz (buzz effect) dapat tercipta.
Apakah efek buzz? Seturut namanya, 'buzz', efek buzz kurang lebih bermakna efek dengung. Seperti sayap lebah atau lalat. Suara-suara yang mengganggu telinga. Bagaimana pekerjaan mereka dapat mengusik, memunculkan kehebohan, yang selanjutnya dapat mempengaruhi orang lain untuk mengubah pendirian.
Saya ambilkan dua contoh. Dua cerita. Pertama tentang Lucky Strike. Iya, benar, ini merek rokok, dan meski pun ini merek luar, bukan produk lokal yang selain tembakau juga berbahan dasar cengkeh dan kayu manis, pagi-pagi saya merasa harus minta maaf pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Saya sama sekali tidak bermaksud membuat anak-anak Indonesia terpapar rokok. Saya cuma mau menunjukkan bagaimana para buzzer bekerja.
Persisnya, buzzer dari tahun 1934, kurang lebih 35 tahun sebelum teknologi internet pertama kali dicetuskan. Atau sekitar 56 tahun sebelum dunia diperkenalkan pada apa yang sekarang kita akrabi sebagai 'www'; world wide web.
Setelah menjual produk selama setengah abad, pada awal 1930, American Tobacco Company (ATC) mencoba melirik pasar baru untuk Lucky Strike. Pasar perempuan pekerja kantoran; kelompok menengah ke atas. Namun terobosan mereka gagal, dan selidik punya selidik, penyebabnya tiada lain adalah warna hijau pada kemasannya tidak disukai lantaran bukan warna yang sedang jadi tren di panggung mode saat itu.
Alih-alih mundur, ATC justru mengambil langkah raksasa. Alih-alih mengubah warna kemasan produk, mereka malah memaksa mengubah ketidaksukaan tadi. Caranya?
ATC dan Lucky Strike melakukan "revolusi warna". Mereka membuka "biro warna" yang kerjanya antara lain memastikan warna hijau masuk ke semua lini kehidupan masyarakat menengah ke atas Amerika Serikat. Mereka, misalnya, menyelenggarakan berbagai acara yang menciptakan konsentrasi massa dan merekayasa sedemikian rupa agar warna hijau dominan di sana. Baik warna set dekorasi maupun dress code. Mereka juga menggelar atau mensponsori berbagai pertunjukan mode.
Para buzzer yang bekerja untuk ATC, juga menjadikan diri mereka sebagai iklan berjalan. Mereka menyebar ke pusat-pusat keramaian. Berpenampilan semenarik mungkin, semencolok mungkin dalam balutan busana berwarna hijau. Tentunya sembari mengisap Lucky Strike.
Akhir 1934, pekerjaan ini menuai hasil. Lucky Strike menjadi rokok favorit para perempuan Amerika Serikat. Grafik penjualan produk meningkat pesat hingga 300 persen.
Cara kerja yang sama dilakukan ATC saat mengubah warna kotak hijau tua menjadi putih bergaris merah pada tahun 1942. Ketika itu, mereka memanfaatkan perang sebagai isu utama.
Cerita kedua datang dari Inggris di tahun 2007. Persisnya bulan Januari. Enam bulan jelang penerbitan Harry Potter and The Deathly Hallows, buku ketujuh sekaligus seri terakhir penyihir Harry Potter.
Buku ini kemudian tercatat sebagai buku dengan angka penjualan terbesar (sekaligus tercepat) sepanjang sejarah perbukuan di muka bumi. Dalam hitungan 24 jam ludes 11 juta eksemplar di Amerika Serikat dan Inggris saja. Setahun beredar, total penjualan mendekati angka 100 juta dan masih terus bertambah sampai sekarang.
Bagaimana Harry Potter and The Deathly Hallows bisa sedahsyat ini, berkorelasi kuat dengan buzz marketing. Bahkan para buzzer yang jumlahnya ribuan di seluruh penjuru dunia sudah mulai bekerja sejak JK Rowling, penulis Harry Potter, mengumumkan bahwa ia akan mengakhiri petualangan penyihir ini di seri ketujuh.
Buzzer-buzzer fokus pada sedikitnya tujuh poin yang belum terjawab di enam seri sebelumnya. Terutama mengenai dua perkara: 'apakah Lord Voldemort akhirnya bisa dikalahkan?', dan kedua, 'apakah Harry Potter akan mati?'.
Dua pertanyaan ini didengungkan terus menerus dan makin kencang setelah JK Rowling mengabarkan buku yang ditulisnya sudah selesai. Sampai di sini, pihak penerbit menurunkan siasat baru yang tak kalah ciamik. Mereka membuat aturan mengenai spoiler. Sampai bawa-bawa hukum segala. Siapapun yang memberi spoiler bisa diseret ke muka pengadilan dan dijebloskan ke penjara. Tentu saja, di sini buzzer-buzzer juga ikut bekerja.
Efek buzz yang tercipta pun sungguh "mengerikan". Di hari rilis, antrean panjang terbentuk di depan toko-toko buku. Bahkan tidak sedikit yang mendirikan tenda, menginap di depan toko, sekadar untuk memastikan bisa berada di antrean terdepan, dan menjadi orang pertama yang mendapat jawaban pertanyaan-pertanyaan itu.
Secara resmi, nama buzzer mulai dikenal lebih luas lalu digunakan sebagai istilah umum sejak aplikasi-aplikasi media sosial, terutama Facebook dan Twitter, merajai internet.
Tidak seperti sebelumnya, di era internet, era siber, tiap orang bisa menjadi buzzer. Tatkala seseorang memiliki akun media sosial, maka saat itu juga dia telah menjadi buzzer. Minimal untuk dirinya sendiri. Minimal untuk membangun citra sebagai sosok berpengaruh bagi teman atau pengikut-pengikutnya.
Dalam hal ini, tentu, tidak ada bayaran. Selain untuk diri sendiri, buzzer tanpa bayaran ini juga bisa didapati pada fans pahlawan olahraga, klub olahraga, bintang film, penyanyi, bahkan politisi. Para buzzer bekerja sukarela demi menaikkan pamor idolanya.
Begitulah keberadaan Facebook, Twitter, menyusul kemudian Instagram dan aplikasi-aplikasi berbasis percakapan macam WhatsApp, Line, Facebook Massenger, atau Telegram, membuat kerja buzzer jadi makin efektif. Di lain sisi, kecenderungan ini membuat pelaku makin kreatif. Mereka membuka jasa untuk membantu mendongkrak pamor. Tak terkecuali dalam politik.
Pemilu Amerika Serikat sejak John F Kennedy sampai George Walker Bush Jr sebenarnya juga menggunakan buzzer --dengan namanya yang lain: rainmaker. Namun baru pada pertarungan Barrack Obama versus John McCain di tahun 2008 buzzer mendapat panggung utama. Periode kedua Obama, dilanjutkan duel Donald Trump dan Hillary Clonton, buzzer menjelma pemain yang sangat penting, pemain penentu. Sebangsa quarterback dalam formasi American Football.
Di Indonesia situasinya tidak berbeda. Sejak Jokowi kontra Fauzi Bowo di Pilkada Jakarta tahun 2012, buzzer tak bisa lagi dianggap sebagai pemain samping. Mereka naik kelas, memegang peranan besar dalam menjangkau pemilik suara potensial terbesar, yaitu kelompok pemilih muda yang rata-rata memang lebih melek teknologi dibanding kelompok pemilih berusia lebih tua.
Sampai di sini, tidak ada yang salah dengan buzzer. Mereka tetap menjalankan fungsi kerja sebagaimana digariskan; sebagai tenaga promosi.
Namun, sejak Pemilu Presiden 2014 dan memuncak pada Pilkada Jakarta 2018 dan Pemilu Presiden 2019, buzzer makin tercerabut dari akarnya. Buzzer tidak lagi menjalankan fungsi buzzer, dan oleh sebab itu, sebutan untuk mereka sejatinya telah berubah. Tak dapat lagi disebut buzzer.
Mereka tidak lagi sekadar jadi pendengung. Tidak lagi sekadar jual kecap. Mereka telah melangkah jauh merencanakan isu, mengemas dan menggelontorkan isu, bahkan membelokkan dan menjungkirbalikkan isu. Mereka secara sadar menjalankan fungsi kerja spin doctors.
Demokrasi melahirkan banyak kotoran, banyak sampah, dan satu di antaranya adalah spin doctors. Secara harfiah, frasa spin doctors sebenarnya identik dengan public relation. Pengertian yang positif, bahkan dalam fungsinya di panggung politik.
Namun dalam praktik tidak demikian. Spin doctors lebih sering mengambil posisi sebagai pengacau. Gencar menggempurkan negative campaign dan black campaign untuk menjatuhkan lawan-lawan klien mereka. Para spin doctors digerakkan operator politik profesional dan dibayar mahal untuk melakukan pekerjaannya.
Maka dari itu, segala cerca dan cacian kepada buzzer sesungguhnya salah alamat. Cerca dan maki semestinya ditujukan kepada para spin doctors. Lucunya, di media sosial, para buzzer, yang entah sadar entah tidak dirinya buzzer, malah saling berbalas tuding.
Buzzer klub-klub sepak bola Liga Eropa meneriaki buzzer produk penghancur lemak perut. Buzzer penyanyi dangdut menyerang buzzer bisnis multi level marketing. Buzzer obat pemutih kulit wajah menghajar buzzer restoran cepat saji. Dan orang-orang yang tidak mengerti ikut meramaikannya dengan lagak sok mengerti.
Sejumlah media yang jelas-jelas punya buzzer, atas nama kepentingan, pura-pura tidak mengerti. Ikut mencerca ikut memaki. Sementara para spin doctors tenang-tenang saja melanjutkan pekerjaannya merusak negeri ini.(t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/buzzer3.jpg)