Ngopi Sore

Siapa Mau Jadi Seperti Kevin Sanjaya?

Komisi yang melindungi anak justru menjungkirbalikkan mimpi anak? Tidakkah ini ironis? Dipandang dari kaca mata yang lugu tentu begitu.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
kompas.com
PARA pemenang audisi beasiswa bulu tangkis PB Djarum berpose usai gelaran audisi final. 

Hari itu, Jumat, 7 September 2018, satu jam selepas salat, GOR Jati Kudus segera terasa panas menyengat. Gerah betul. Ribuan orang tumplek-blek di sana. Namun kegerahan ini seperti tidak dirasakan oleh ratusan anak yang menunggu giliran untuk turun bertanding.

Hari itu memang jadi momentum penentuan. Perjalanan panjang telah sampai ke ujung: seleksi final untuk menentukan peraih tiket beasiswa PB Djarum, klub bulu tangkis paling sohor di Indonesia.

Hari itu, menjadi hari paling ditunggu-tunggu Muhammad Sayyid Az Zahri. Remaja 14 tahun dari Cibinong, Bogor. Ibunya, Yulia Fitri, bilang menjelang audisi final ini Sayyid sulit tidur. Resah dan gelisah dan tak sabar. Menjadi pebulutangkis kelas dunia merupakan mimpinya sejak masih bocah. Dia mulai memukul shuttlecock saat masih duduk di bangku SD kelas empat, lalu masuk ke satu klub di Cibinong setahun berselang. Di PB Sangkuriang, klub itu, dia berlatih sepanjang pekan kecuali Minggu. Empat jam sehari.

"Sayyid bisa main tunggal dan bisa main ganda. Dia suka Lee Chong Wei. Untuk ganda, idolanya Kevin Sanjaya. Dia mau jadi seperti Kevin. Jadi pemain nomor satu dunia," kata Yulia dengan mata berkaca-kaca.

Yulia Fitri memang harus berbicara mewakili Sayyid karena remaja semampai ini berkekurangan. Dia tuna rungu.

"Bulu tangkis menjadi harapan terbesar anak saya. Harapan kami juga," ucap Yulia.

Begitulah Yulia bicara perihal harapan. Demi harapan, persisnya. Dari Cibinong, menumpang omprengan dan bus, ia mengantarkan Sayyid mengikuti seleksi awal di Kota Cirebon. Bolak balik beberapa kali dalam satu minggu. Ia meminta izin tidak bekerja.

Apa boleh buat, baginya, harapan Sayyid adalah harapannya juga. Dalam bayangannya, peluang Sayyid untuk bisa mencapai level Lee Chong Wei atau Kevin Sanjaya Sukomulyo, akan lebih besar jika dia digodok di PB Djarum ketimbang di PB Sangkuriang. Dan audisi yang digelar PB Djarum, menjadi jalan yang lebih ringkas untuk masuk ke lingkungan elite ini. Jalan yang lebih murah pula. Sebab tanpa bea siswa, gaji Yulia sebagai guru TK tak akan cukup untuk membiayai ongkos pelatihan Sayyid.

Tanpa beasiswa, tiap anak yang hendak berlatih di PB Djarum mesti membayar biaya pelatihan dan peralatan (tas, sepatu, kaus kaki, baju, celana, raket, bola). Juga biaya try out, pertandingan, asrama, konsumsi, vitamin, dan sebagainya. Ditotal bisa lebih dari Rp 5 juta per bulan. Seiring pertambahan usia, dan ini artinya berpindah kelompok umur, biaya ikut bertambah. Mahal? Tentu saja. Ada kualitas ada harga, bukan?

Kisah Sayyid hanya satu dari entah berapa ribu kisah sejenis yang bisa dicomot dengan mudah sejak PB Djarum menggelar audisi ini di tahun 2006. Ada entah berapa banyak anak guru. Ada entah berapa banyak anak petani dan nelayan dan pedagang keliling dan pegawai negeri dan lain-lain. Ada bocah bernama Kevin Satrio, 12 tahun, dari Siak, Riau.

Sampai tahun lalu, bersama ayahnya, Kevin Satrio masih menumpang bus antar lintas Sumatra menuju Jakarta, lalu menyambung bus lain ke Kudus. Perjalanan dua hari dua malam. Tahun ini menjadi tahun keempat dia mengikuti audisi dan setelah gagal tahun lalu dia dan ayahnya memutuskan pindah ke Kudus. Pindah sekolah. Menunggu audisi, kevin berlatih di satu klub kecil di Kudus. Mereka menyewa kamar kos berukuran 3x4 meter.

"Aku mau seperti Kevin Sanjaya. Seperti Minions. Juara di mana-mana. Bisa mengibarkan merah putih dan memperdengarkan lagu Indonesia Raya. Kevin keren. Mobilnya juga keren. Ford Mustang," kata Satrio.

Kisah Sayyid dan Satrio ini mengingatkan saya pada cerita yang terkenal dari Ronaldo Luis Nazario da Lima. Lahir dan tumbuh di salah satu sudut paling kumuh di Kota Rio De Jeneiro, Brasil, Ronaldo kecil hanya punya satu mimpi. Yakni bagaimana dia bisa masuk ke Cruzeiro, atau ke Palmeiras, atau ke Santos, atau ke Sao Paolo. Lalu pergi ke Eropa dan menjadi kaya raya dan terkenal seperti Zico atau Romario.

Cerita Ronaldinho Gauco, cerita Neymar da Silva Santos Jr, juga sama. Pun cerita Lionel Messi yang serba dramatis itu. Sepak bola, memang menjadi satu di antara sangat sedikit jalan bagi anak-anak di Brasil dan Argentina untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Sepak bola membuat mereka terhindarkan dari masa depan sebagai bergajul jalanan, anggota geng, muncikari, atau pengedar obat terlarang.

Di Indonesia, yang makin ke sini makin dibikin brengsek oleh politik dan segenap tipu-tipunya, bulu tangkis menjadi harapan sebagaimana sepak bola di Brasil dan Argentina, dan nyaris semua negara di Amerika Latin. Seperti juga atletik yang menyihir nyaris seluruh anak di Jamaika. Pergilah ke sembarang tempat di Kota Kingston,  lalu tanyakan cita-cita mereka. Anda akan mendapatkan jawaban yang seragam: ingin jadi seperti Usain Bolt.

KEVIN Sanjaya Sukomulyo dan Marcus Fernaldi Gideon
KEVIN Sanjaya Sukomulyo dan Marcus Fernaldi Gideon (kompas.com)

The Minions, The Daddies; julukan bagi pasangan ganda putra Hendra Setiawan dan Muhammad Ahsan, juga tentunya Jonatan 'Jojo' Christie yang tampan dan kerap membintangi iklan, telah menjelma contoh-contoh ideal kesuksesan. Di mata anak-anak Indonesia generasi terkini, mereka sama sekali tak kalah pamor, tak kalah keren, dibanding para anggota boy band Korea atau aktor-aktor film produksi Marvel.

Kevin juga alumnus audisi PB Djarum. Kalau Kevin bisa maka anak-anak lain pun pasti bisa. Demikian premisnya.

Namun hari-hari belakangan, segala bayang-bayang mimpi mendadak harus direvisi. Kevin Sanjaya mendadak menjauh. Mimpi untuk menjadi sepertinya mendadak jadi terasa kelewat tinggi. Terutama bagi anak-anak semacam Sayyed atau Satrio. Mimpi mereka terbentur tembok yang diberdirikan dengan penuh wibawa oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tembok yang didasari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Komisi yang melindungi anak justru menjungkirbalikkan mimpi anak? Tidakkah ini ironis? Dipandang dari kaca mata yang lugu tentu begitu. Namun orang-orang pintar di KPAI, dan orang-orang yang mendukung mereka, punya dasar pertimbangan berbeda. Menurut mereka, audisi yang dilakukan PB Djarum merupakan bentuk ekspoitasi anak sekaligus kampanye rokok terselubung.

Benarkah demikian? Tentu, sekali lagi, apabila dipandang dari kaca mata yang lugu, tidak akan kelihatan seperti itu. Anak-anak seperti Sayyed dan Satrio, sampai Thanos insyaf dan jadi anggota Blackpink sekali pun tidak akan pernah merasa terekspoitasi. Satrio tiga tahun bolak-balik dari Siak ke Kudus atas kemauannya sendiri. Dia datang untuk menjemput mimpi itu. Dia mengenakan kaus bertuliskan PB Djarum di bagian dada tanpa perasaan terteror. Sebaliknya, malah bangga, dan berharap dapat mengenakannya lebih lama.

Namun sekali lagi, KPAI, dan orang-orang yang mendukung mereka, punya pandangan lain. Mereka bersikeras menyebut audisi sebagai ekspoitasi anak. Dalam hal ini dilakukan oleh PT Djarum, produsen rokok terbesar sekaligus terlaris di Indonesia. Djarum, kata mereka, memaksa anak (tanpa disadari oleh anak; dan mungkin juga orang tuanya?) untuk mengkampanyekan, atau mengiklankan produk mereka, lantaran bentuk huruf 'Djarum' di baju yang dikenakan para peserta audisi, identik dengan huruf yang terdapat pada produk.

Sampai di sini, tentu menarik untuk mengetengahkan pembanding. Audisi olah raga tidak hanya dilakukan oleh Djarum pada bulu tangkis. Di sepak bola, audisi-audisi serupa dilakukan oleh bermacam perusahaan. Mulai dari susu, minuman serbuk energi, sampai biskuit. Dan sebagaimana audisi PB Djarum, seluruh peserta audisi tersebut juga mengenakan baju atau kostum yang memampangkan nama produk.

Melipir ke luar ranah olah raga, di beberapa stasiun televisi, terdapat program pencarian bakat anak. Mulai dari bakat menyanyi, akting, komedi, hingga da'i. Dan persis pula audisi-audisi olah raga, para peserta audisi pada program-program tersebut (yang tak jarang berlangsung sampai lewat tengah malam; waktu bagi anak-anak untuk tidur) bukan saja mengenakan busana-busana yang disediakan sponsor, lebih jauh juga menawar-nawarkan produk dalam bentuk iklan komersil.

Pertanyaannya, apakah yang seperti ini juga dikategorikan eksploitasi? Apakah KPAI pernah menyoroti dan menyempritnya?

Sepengetahuan saya tidak. Sepengetahuan saya audisi-audisi ini tetap berjalan tanpa usikan. Kenapa? Barangkali karena titik tolak persoalan pada dasarnya bukan terletak pada audisi dan eksploitasinya, melainkan produk yang menjadi sponsornya.

Ahli Hukum dan lawyer, Muhammad Joni, menyebut basis argumentasinya adalah rokok bukan produk normal, melainkan zat adiktif dan carsinogenik. Oleh sebab itu dilakukan kontrol --pengendalian penggunaan. "Begitu norma dan frasa FCTC. Keliru membandingkan rokok dengan jeruk atau air mineral," katanya.

Terma dan norma eksploitasi itu, sebut Joni, dilawan dalam semua instrumen HAM internasional utama. Malah CRC pasal 36 melarang eksploitasi dalam segala bentuk lain-lainnya. "Termasuk social exploitation olahraga."

Persoalan memang jadi pelik. Ibarat terperangkap dalam situasi maju kena mundur kena. Bagai makan buah simalakama; dimakan mati ibu tak dimakan mati bapak.

Namun satu hal perlu digarisbawahi. Rokok memang sudah menjadi barang terlarang dalam olah raga. Bukan cuma di Indonesia. Dan ini bukan kebijakan baru. Jadi dari sisi sikap hukum, KPAI benar. Masalahnya, dan ini yang selalu jadi persoalan besar kita di Indonesia, penerapan sikap hukum yang tegas kerap berbanding terbalik dengan solusi. Regulasi diterapkan. Larangan diberlakukan. Celakanya, tanpa solusi.

Tatkala Australia dan Perancis mulai memberlakukan larangan produsen rokok (dan belakangan juga minuman keras) masuk ke dalam semua cabang olah raga (dari amatir sampai profesional), mereka sudah punya solusi jitu. Tak sempat muncul pertanyaan setelah tidak lagi ada suntikan dana dari rokok dan minuman keras, uang dari mana yang akan digunakan untuk menutupi pembiayaan, lantaran mereka sudah benar-benar menyiapkannya.

Kita tidak demikian. Solusi, sejauh ini masih berupa bayang-bayang yang kabur. Wiranto, Ketua Umum Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), bilang audisi akan tetap digelar. Namun dalam format berbeda. Bagaimana dan di mana letak bedanya?

PARA peserta audisi beasiswa PB Djarum
PARA peserta audisi beasiswa PB Djarum (TRIBUNNEWS)

Apakah nantinya benar-benar tidak ada lagi jejak rokok? Apakah Djarum tetap berperan lewat perusahaannya yang lain seperti Blibli.com atau BCA seperti yang mereka lakukan pada turnamen bulu tangkis berhadiah paling besar di muka bumi; Indonesia Open Super Series 1.000? Atau Djarum melepaskan diri sepenuhnya. Audisi dilakukan oleh perusahaan lain. Atau oleh BUMN. Atau partai politik. Atau PBSI yang menggandeng KPAI.

Sama sekali tidak ada penjelasan. Artinya, solusi masih dalam rencana yang entah kemudian ada entah tidak. Bagaimana jika tak ada? Bagaimana jika nanti ada tapi tidak sebaik yang telah dilakukan dengan amat sangat baik oleh PB Djarum selama 13 tahun terakhir?

Bagaimana kalau kegagalan menemukan solusi berdampak pada putusnya regenerasi pebulutangkis Indonesia? Bagaimana jika putusnya regenerasi ini memerosotkan Indonesia menjadi negara medioker di kancah persaingan elite bulu tangkis dunia?

Saya, kok, ya pesimistis orang-orang di KPAI, dan orang-orang yang mendukung mereka, bisa memberi jawaban konkret. Jawaban yang substantif. Paling-paling yang dilakukan adalah melontarkan pernyataan-pernyataan yang kedengaran serba rumit, melipir kesana dan kemari mengetengahkan teori-teori yang membentang sejauh jarak langit dan bumi, sekadar supaya orang yang mendengarnya tak mengerti, kebingungan sendiri, dan akhirnya malas untuk bertanya-tanya lagi.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved