Ngopi Sore

Politik Memang Seaduhai Ini, Ibu Ratna, Dimaklumi Saja

Ratna Sarumpaet berkilah wajahnya yang bengap disebabkan penganiayaan, yang kemudian, entah bagaimana menjadi kebohongan yang berlanjut.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUNNEWS/JEPRIMA
Ratna Sarumpaet saat menggelar konferensi pers terkait pemberitaan penganiayaan dirinya di Kampung Melayu Kecil, Jakarta Timur, Rabu (3/10/2018). Pada konferensi pers tersebut Ratna mengaku berbohong tentang penganiayaan dirinya melainkan pada 21 September 2018, dirinya menemui dokter bedah plastik di Jakarta untuk menjalani sedot lemak di pipi. 

RATNA Sarumpaet telah membuat pengakuan terbuka bahwa dirinya berbohong. Satu sikap yang tentu saja sangat berani. Sebagai seorang aktivis, sebagai oposan, dengan reputasi besar, Ratna pasti paham langkah yang diambilnya memiliki konsekuensi yang sungguh tidak main-main.

Berbohong sejatinya bukan sesuatu yang asing-asing amat dalam politik. Justru sebaliknya merupakan dua hal yang nyaris bersisian dan dipisahkan oleh pembatas yang hampir-hampir tidak terlihat saking tipisnya. Oleh sebab itu, bohong dan kebohongan seakan-akan menjadi satu dalam bahasa politik yang memang didesain sedemikian rupa untuk membuat segala bentuk kebohongan jadi terkesan tidak ngibul.

Caranya, kebohongan mesti dibangun dengan cermat dan terukur. Penuh perhitungan dan pertimbangan. Seperti catur, semua kemungkinan dihitung potensi dan dampaknya langkah per langkah.

Kata Franklin D Roosevelt, dalam politik, segala sesuatunya tidak ada yang terjadi dengan sekonyong-konyong, jika ada yang demikian, maka kau boleh percaya bahwa itu memang dimaksudkan agar kelihatan begitu.

Rabu menjelang petang, 3 Oktober 2018, dipancarluaskan stasiun televisi nasional, Ratna Sarumpaet mengaku melakukan kebohongan. Ratna berbicara terbata-bata. Kalimat-kalimatnya, yang pada dasarnya masih tersusun rapi, meluncur darinya dengan suara bergetar dan nada yang tersendat-sendat. Dia tidak menangis, tetapi matanya berkaca-kaca.

Ratna bilang, dia tidak dianiaya, tidak dipukul tiga lelaki sebagaimana kabar yang beredar luas di seantero negeri dan bikin panas atmosfer politik Tanah Air. Tidak ada penarikan paksa dan penyekapan di dalam mobil. Dia tidak pernah ke Bandung untuk menghadiri satu forum internasional pada tanggal 21 September 2018.

Pada hari itu, dan hari-hari sesudahnya, Ratna berada di seputaran Jakarta saja. Dia menjalani perawatan permak wajah, operasi plastik, di satu rumah sakit. Foto yang menunjukkan wajahnya yang bengap, diakuinya, bukan akibat pemukulan, melainkan dampak dari operasi yang dilakukan.

Atas kebohongan yang dilakukannya, Ratna Sarumpaet meminta maaf. Terutama pada Prabowo Subiyanto, pada Sandiaga Uno, pada Amin Rais, juga pada seluruh bagian dari tim pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua. Dia minta maaf lantaran sudah membuat kegaduhan yang berpotensi memberi dampak negatif dalam upaya mengantarkan Prabowo dan Sandiaga ke istana negara.

Apakah Ratna Sarumpaet sedang mengemukakan bahasa politik? Atau justru bahasa teater mengingat dia adalah pengampu teater juga. Atau jangan-jangan malah perpaduan keduanya, bahasa politik yang dikelindankan dengan bahasa (plus gestur) teater.

Sejauh ini tidak ada yang tahu persis. Kecuali Ratna sendiri dan barangkali orang-orang yang punya kemampuan untuk melihat kebenaran tersembunyi. Namun reaksi yang muncul setelahnya mengindikasikan kemungkinan lain.

Ratna, setidaknya dari pengakuan dia, memang berbohong dan kebohongan tersebut bukanlah dari jenis kebohongan politik yang serba terstruktur dan terkalkulasi. Kebohongan Ratna hanyalah kebohongan kelas emak-emak yang takut pada repetan anak sendiri.

Lantaran tidak ingin menyebut wajahnya yang bengap sebagai dampak operasi plastik, Ratna Sarumpaet sebagaimana dikemukakannya dengan gamblang dalam konferensi pers, berkilah kondisi itu disebabkan penganiayaan, yang kemudian, entah bagaimana (katanya pula), menjadi kebohongan yang berlanjut.

Dia kemudian bukan saja membohongi anaknya, melainkan juga para koleganya. Begitu meyakinkan hingga membuat Prabowo menggelar konferensi pers khusus.

Calon Presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto (tengah) bersama Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Djoko Santoso (kiri), dan Dewan Penasehat BPN Amien Rais (kanan), saat memberi keterangan pers mengenai kasus penganiayaan yang disebut-sebut dialami Ratna Sarumpaet, di Jl Kertanegara, Jakarta, Selasa (2/10/2018).
Calon Presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto (tengah) bersama Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Djoko Santoso (kiri), dan Dewan Penasehat BPN Amien Rais (kanan), saat memberi keterangan pers mengenai kasus penganiayaan yang disebut-sebut dialami Ratna Sarumpaet, di Jl Kertanegara, Jakarta, Selasa (2/10/2018). (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Konsekuensi dari kebohongan Ratna langsung terang dalam hitungan tak sampai 24 jam. Segenap pembelaan yang dilakukan kolega-koleganya bergeser jadi permintaan maaf pada publik. Mengaku bersalah lantaran ikut menyebarkan kabar tidak benar. Pula tak sedikit yang berbalik menyerangnya.

Sosial media, khususnya Twitter dan Facebook, yang semula jadi wadah pembelaan bagi Ratna, tidak lagi riuh. Tinggal segelintir yang masih bertahan. Beberapa yang punya energi berlebih dan barangkali terlampau sering menyimak teori-teori konspirasi dari sinetron-sinetron kejar tayang, membangun teori baru yang sebagian di antaranya terbilang lucu.

Di antara yang lucu ini, terlucu adalah teori yang menyebut Ratna Sarumpaet sesungguhnya merupakan antek-antek Jokowi yang sengaja disusupkan ke kubu Prabowo untuk menghancurkan dari dalam.

Secara resmi, Ratna juga dikeluarkan dari tim kampanye nasional calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua. Tak tanggung-tanggung, keputusan ini disampaikan langsung oleh Prabowo, baik lewat televisi maupun akun-akun media sosial miliknya.

Jadi begitulah, politik memang seaduhai ini, Ibu Ratna, dimaklumi saja. Sebagai orang pintar, tentu Ibu tahu tentang apa yang disebut postfaktische welt, dunia pascafakta. Di dunia ini, di mana politik merupakan satu di antaranya, kebenaran tak lagi penting. Lebih penting adalah kehebohan sesaat yang mampu menghibur massa, termasuk lewat kebohongan.

Namun Anda juga sekarang pasti paham, Ibu, bahwa apa yang Anda lakukan sama sekali tidak menghibur. Tak terkecuali bagi kawan-kawan dan pendukung Anda sendiri, dan oleh sebab itu, Anda mendapatkan konsekuensinya.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved