Breaking News

Ngopi Sore

Kyai Ma'ruf Sebagai Jalan Tengah Politik Ruwet. Sandiaga?

Sejak 2014, kecenderungan bergeser jauh. Posisi wakil presiden menguat dan makin strategis di edisi 2019.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
DOK.TRIBUN/INTERNET
FOTO kolase KH Ma'ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno 

SEBELUM Pemilihan Umum Presiden 2014, wakil presiden tidak pernah berada pada posisi yang benar-benar strategis. Di era Orde Baru, wakil presiden malah lebih sering jadi pelengkap saja, pengganti presiden jika berhalangan, untuk sekadar menggunting pita.

Sejak 2014, kecenderungan bergeser jauh. Posisi wakil presiden menguat  dan makin strategis di edisi 2019. Bahkan nama-nama bakal calon wakil presiden untuk mendampingi dua bakal calon presiden yang namanya sudah muncul sejak jauh hari, Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, baru betul-betul terang di malam terakhir jelang penghujung waktu pendaftaran.

Jokowi menggaet KH Ma'ruf Amin, Rois Am Nahdlatul Ulama (NU) yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan Prabowo menggandeng Sandiaga Salahuddin Uno, Wakil Gubernur Jakarta.
Pilihan-pilihan yang sedikit banyak membikin kening berkerut. Kenapa Kyai Ma'ruf? Kenapa Sandiaga?

Nama Kyai Ma'ruf memang masuk dalam daftar kandidat bakal calon wakil presiden untuk mendampingi Jokowi. Bahkan tatkala daftar ini dikerucutkan seturut sinyal dari orang-orang dekat Jokowi yang bilang kandidat tersebut memiliki nama dengan huruf awal 'M', beliau tetap masuk, bersama Moeldoko, TGH Zainul Mahdi (Tuan Guru Bajang), Muhaimin Iskandar, dan Mahfud MD.

Namun dibanding keempat nama lain, nama Kyai Ma'ruf yang paling jarang disebut. Dari sisi elektabilitas, beliau juga tertinggal. Mahfud berada di peringkat pertama, disusul Muhaimin, Tuan Guru Bajang, dan Moeldoko. Posisi ini bertahan sampai hari Kamis, 9 Agustus 2018. Hal yang kemudian memunculkan asumsi bahwa Mahfud MD yang akan diajak Jokowi mendampinginya bertarung di Pemilu 2019.

Kita tahu akhirnya Kyai Ma'ruf yang dipilih. Kembali pada pertanyaan di atas, kenapa? Bukankah dari sisi elektabilitas dan popularitas beliau kalah dibandingkan Mahfud dan ketiga 'M' yang lain?

Begitulah elektabilitas dan popularitas kali ini harus bertekuk lutut pada kepentingan lain yang sifatnya lebih strategis. Setidak-tidaknya dari kacamata para petinggi partai politik anggota koalisi kandidat petahana. Pemilu 2019 masih belum berlangsung, mereka sudah memandang satu langkah ke depan, yakni ke Pemilu 2024, dan dibanding empat 'M' yang lain, Kyai Ma'ruf yang dinilai paling tidak punya kepentingan dan ambisi untuk periode lima tahun ke depan.

Kyai juga dipandang sebagai figur yang paling netral. Figur yang relatif bisa diterima oleh semua partai. Tidak demikian Mahfud, Moeldoko, terlebih-lebih Muhaimin dan Tuan Guru Bajang. Memilih satu di antara mereka potensial memunculkan perpecahan koalisi. Selentingan beredar, setidaknya tiga partai koalisi Jokowi tetap bersikukuh menolak Mahfud hingga pertemuan terakhir para pimpinan partai, Kamis malam. Apabila Jokowi bersikeras memilih Mahfud, maka tidak tertutup kemungkinan satu, dua, atau bahkan ketiganya keluar dari koalisi.

Sungguh ruwet bagi Jokowi. Di satu sisi dia barangkali melihat Mahfud sebagai figur yang paling pas untuk dirinya dan program-programnya sebagai presiden di periode kedua. Namun penolakan partai terhadap Mahfud juga tak boleh dipandang enteng. Satu partai keluar, dua partai keluar, apalagi sampai tiga partai keluar, adalah potensi untuk terbentuknya poros baru. Hitung-hitungan peluangpun akan berantakan dan mesti diulang. Jalan buntu, pada akhirnya membuat Jokowi tidak punya pilihan kecuali menerima Kyai Ma'ruf.

Pertanyaannya, apakah Kyai Ma'ruf sekadar menjadi penyelamat perpecahan koalisi? Syukurnya tidak begitu. Rekam jejak Kyai Ma'ruf sebagai orang alim dan pandai agama yang diakui dan dihormati di seluruh negeri, setidaknya akan meredam isu-isu terkait agama, dalam hal ini anti ulama dan --lebih gawat lagi-- anti Islam, yang sering dicecarkan kepada Jokowi dan pemerintahannya. Mungkin tidak hilang sama sekali. Ahli goreng-menggoreng isu agama yang pemikirannya serba lihai dan canggih itu pasti menemukan celah ntuk menyerang. Sekarang saja sudah mulai muncul. Namun paling tidak, secara umum, frekuensi dan jumlahnya bakal menurun, tak sedahsyat pada 2014.

Pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo  dan Ma'ruf Amin saat berfoto bersama seusai menyerahkan syarat pencalonan menjadi presiden dan wakil presiden di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (10/8/2018).
Pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin saat berfoto bersama seusai menyerahkan syarat pencalonan menjadi presiden dan wakil presiden di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (10/8/2018). (TRIBUNNEWS/JEPRIMA)

Hanya itu? Tidak, Kyai Ma'ruf bukan seorang ulama konservatif yang hanya berkutat dengan kitab-kitab kuning. Dia juga seorang ilmuwan di bidang ekonomi. Khususnya bidang ekonomi syariah. Kyai Ma'ruf merupakan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang. Dengan demikian, saat kelak berdebat dengan Sandiaga Uno, perdebatan di antara mereka akan berjalan menarik.

Sandiaga juga punya modal akademik bidang ekonomi yang bagus. Dia M.B.A dari George Washington University dan selama bertahun-tahun sebelum meramaikan gelanggang politik, berkutat di dunia bisnis. Sandiaga pebisnis sukses. Perusahaannya, PT Saratoga Advisor, termasuk perusahaan jasa keuangan dan investasi papan atas di Indonesia. Sejak 2010, Sandiaga terus berada dalam jajaran 50 orang terkaya Indonesia versi Forbes.

Apakah ini yang jadi tolok ukur pemilihan Sandiaga oleh Prabowo dan para petinggi partai koalisinya? Saya tidak tahu. Barangkali Prabowo dan tim pemenangannya merencanakan untuk menitikberatkan "jualan" di bidang ekonomi. Namun sekiranyapun begitu, apakah mereka memang menganggap Sandiaga sebagai yang terbaik di bidang ini hingga harus mencomot dia yang belum genap satu tahun menjalankan tugas sebagai Wakil Gubernur Jakarta?

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Sandiaga Uno (kanan) saling berpegangan tangan usai mendaftar sebagai calon presiden dan wakil presiden di kantor KPU, Jakarta, Jumat (10/8/2018)
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Sandiaga Uno (kanan) saling berpegangan tangan usai mendaftar sebagai calon presiden dan wakil presiden di kantor KPU, Jakarta, Jumat (10/8/2018) (ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK)

Barangkali begitu. Barangkali juga tidak. Pastinya, seperti pilihan akhir Jokowi terhadap Kyai Ma'ruf, Prabowo juga dihadapkan pada sengkarut politik yang sungguh ruwet. Dimulai dari masuknya Partao Demokrat yang ngotot menyodorkan putera mahkotanya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), hingga aspirasi PKS dan PAN yang tak boleh diabaikan.

Sampai di sini, situasinya merujuk pada kompromi. Sebagaimana Kyai Mahfud, Sandiaga Uno adalah juga jalan tengah. Namun celoteh orang-orang Partai Demokrat, terutama Wakil Sekretaris Jenderal Andi Arief, terkait kardus dan mahar politik yang jumlahnya sungguh-sungguh aduhai itu, membuat tanda tanya menebal kembali.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved