Ngopi Sore
Catalan Merdeka, ke Mana Suarez dan Messi Pergi
Kadangkala uang bisa dikalahkan oleh harga diri. Dan inilah yang mungkin akan terjadi.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
ADA sejumlah peristiwa yang mengiringi berlalunya September, bulan paling mencekam di Indonesia. Peristiwa pertama sebenarnya terjadi masih di bulan September. Tepatnya pada penghujung bulan namun ribut-ributnya masih berlangsung sampai sekarang --meski gaungnya tinggal samar-samar.
Apa lagi kalau bukan perihal nonton bareng film Penumpasan Pemberontakan G30S PKI. Ribut-ribut kini mengarah ke Pak Jenderal Gatot. Entah siapa memulai, muncul selentingan bahwa pada malam di mana Presiden Joko Widodo menghadiri nonton bareng film itu, Pak Jenderal sebenarnya sudah punya agenda lain. Beliau, seperti ditulis rmol.co, disebut-sebut dijadwalkan menonton petunjukan wayang berjudul "Parikesit Menjadi Pemimpin" di kawasan Museum Fatahillah.
Nah, lho, kok tidak ikut nonton bareng Pak Jokowi? Apakah nonton bareng presiden di Markas Korem 061/Suryakancana Bogor ini tidak terencana? Saya tidak tahu. Pastinya, Pak Jenderal batal nonton wayang. Beliau datang ke Bogor dan duduk di samping Jokowi dan kelihatan agak kurang bugar dan membuat seorang warganet asal Bima, Nusa Tenggara Barat, seorang pegawai negeri, menyimpulkan bahwa beliau mengantuk. Kesimpulan ini dituliskannya dan dipampangkannya di media sosial dan segera memicu kehebohan. Tulisannya tidak saja membuatnya panen caci maki. Dia kemudian juga diciduk tentara dan diinterogasi.
Soal Pak Jenderal Gatot dan warganet yang gegabah saya cukupkan sampai di sini. Toh, sekarang sudah Oktober. Isu seputar komunisme dan PKI tidak lagi terlalu seksi.
Peristiwa kedua datang dari Las Vegas. Dibanding soal Komunis dan PKI yang masih sebatas berupa kisah horor yang belum kelihatan wujudnya, tohokan peristiwa di Las Vegas lebih dahsyat. Seorang bernama Stephen Paddock, 64 tahun, dari jendela kamar hotelnya di lantai 32, menembakkan peluru senjata otomatis ke kerumunan orang yang sedang menonton konser Route 91 Harvest Festival. Sebanyak 58 orang tewas dan 200 lainnya mengalami luka-luka.
Serangan ini tercatat sebagai serangan dengan senjata otomatis paling mematikan dalam sejarah Amerika Serikat. Namun peristiwa ini tak sampai menimbulkan ribut-ribut di Indonesia. Pasalnya serangan, setidaknya sampai sejauh ini, disebut tak berkaitpaut dengan terorisme sehingga dengan demikian tak akan bersinggungan dengan Islam.
Sampai berlalu lebih 48 jam, belum ada satu orang pun warganet Indonesia yang memasang bendera Amerika pada profilnya. Belum ada yang menuliskan tagar (#) Save Las Vegas. Tidak ada polemik apa-apa. Tidak ada pro dan kontra, tak ada debat, antara kaum bumi bulat dan bumi datar. Warganet Indonesia anteng saja, menonton dari jauh wajah Paman Donald yang makin muram dan cemberut penuh kerut.
Peristiwa ketiga adalah kabar membaiknya kondisi kesehatan Pak Setya Novanto (Setnov), politisi ulung kita. Pascadikabarkan mengalami penyumbatan pada jantung dan beberapa penyakit yang semuanya kedengaran mengerikan, Pak Setnov mengalami kemajuan kesehatan yang ekstrem. Dalam tempo hanya 2 x 24 jam sejak hakim memutuskan dia memenangkan gugatan praperadilan atas status tersangka yang ditetapkan KPK, Pak Setnov meninggalkan dari Rumah Sakit Premier Jatinegara.
Lucu sekaligus ironis. Siasat yang kelewat kampungan namun ternyata efektif. Untuk kali kesekian, Pak Setnov menunjukkan betapa dia sangat piawai berkelit. Namun reputasi ini pulalah yang justru membuat kesuksesan siasatnya tak menarik untuk dikupas. Setnov lolos dari jerat hukum itu berita biasa.
Karenanya, saya lebih tertarik pada apa yang sedang terjadi di Catalonia. Soal referendum? Itu garis besarnya. Catalonia menggelar referendum dan sebanyak 93 persen warganya sepakat merdeka atau memisahkan diri dari Spanyol untuk membentuk negara baru berbentuk republik.
Referendum merupakan politik tingkat tinggi yang efeknya bisa memukul sangat kuat. Bagi Spanyol, bahkan bisa berarti malapetaka. Catalonia bagi Spanyol tidak serupa Timor Timur (sekarang Timor Leste) bagi Indonesia. Lepasnya Timor Timur memberi dampak besar hanya pada bidang politik. Presiden Habibie jatuh antara lain karenanya. Namun bagi Spanyol, Catalonia ibarat separuh nyawa. Tanpanya perekonomian Spanyol akan ambruk. Maka dari itu Pemerintah Spanyol setengah mati berupaya mencegah Catalonia merdeka.
Namun ini perkara yang memusingkan dan kebetulan saya juga sedang malas memikirkan hal- hal yang memusingkan. Terlebih-lebih pusing untuk urusan negara orang. Wong menyangkut negara sendiri saja kadang-kadang saya selow, kok.
Lalu kenapa tadi saya bilang tertarik? Tiada lain dan tiada bukan lantaran Barcelona. Jika Catalonia merdeka, bagaimana nasib Barcelona? Apakah otoritas sepakbola Spanyol nantinya tetap mengizinkan Barcelona tetap berkompetisi di La Liga? Rasa-rasanya tidak. Jelas, Barcelona merupakan aset La Liga yang sangat berharga. Sumber duit yang luar biasa. La Liga meraup keuntungan sangat besar dari laga-laga Barcelona, terutama El Clasico kontra Real Madrid.
Akan tetapi kadangkala uang bisa dikalahkan oleh harga diri. Dan inilah yang mungkin akan terjadi. Demi harga diri, La Liga akan menolak Barcelona.
Pertanyaannya, jika demikian, ke mana Barcelona akan pergi? Apakah membuka kompetisi sendiri atau masuk ke kompetisi di negara lain? Klub Wales banyak berkompetisi di Liga Inggris. AS Monaco berkompetisi di Ligue 1. Namun siapa mau menerima Barcelona? Ke Perancis?
Organisasi Sepakbola Perancis mencatat nama Unio Esportiva Bossost (UEB). Ini klub sepakbola asal Catalonia. Persisnya dari Val d'Aran di Provinsi Lleida. Kota kecil tempat UEB bermarkas terletak di titik paling utara Spanyol. Di Banding ke Madrid, misalnya, Val d'Aran lebih dekat ke wilayah Perancis.
Atas pertimbangan letak geografis inilah EUB diterima di sepakbola Perancis. Akan tetapi, tetap saja, mereka tidak dapat disamakan dengan Barcelona. EUB hanya bermain di Ligue Haute Garonne Comminges, kompetisi amatir. Sedangkan kelas Barcelona jauh lebih tinggi dari itu. Kelas Barcelona bahkan berada di atas rata-rata klub Ligue 1. Mungkinkah Ligue 1 membuka pintu untuk mereka?
Jika tidak, dan Barcelona hanya tampil di liga domestik Catalonia, pertanyaan lebih lanjutnya adalah, bagaimana pemain-pemain bintang yang bukan merupakan orang Catalan? Apakah Lionel Messi, Luis Suarez, Ousmane Dembele, dan Marc-André ter Stegen akan bertahan?
Rasa-rasanya, kok, ya, mustahil. Messi, Suarez, Dembele, dan ter Stegen, jelas punya ambisi pribadi. Bermain di Piala Dunia, Piala Eropa, dan Liga Champions, misalnya. Mereka tentu tidak mau ikut terkucilkan bersama Barcelona di liga Catalonia.
Lalu ke mana para bintang ini akan berlabuh? Perkara ke mana, tidak terlalu sulit bagi mereka. Terutama Messi dan Suarez yang pasti diantre klub-klub besar. Tinggal menunggu kepastian nasib Barcelona. Setelah pasti ditendang dari La Liga, saat itu pula Messi, Suarez, dan bintang- bintang noncatalan lain akan segera mengepak koper.(t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/catalan3_20171003_171429.jpg)